Studi Kelayakan Usaha “Warung Tenda Saung Serabi”

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kota Tasikmalaya adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota Tasikmalaya merupakan kota terbesar Priangan Timur. Kota Tasikmalaya terletak di jalur utama selatan Pulau Jawa di wilayah provinsi Jawa Barat. Kota ini juga memiliki perkembangan yang lebih baik dibandingkan kota-kota besar lainnya yang cenderung stagnan atau jalan di tempat tanpa ada pembangunan yang berarti atau signifikan. Oleh karena itu, para investor baik itu investor lokal maupun asing yang akan menanamkan modalnya perlu melirik kota ini sebagai salah satu kota yang sangat potensial dan strategis untuk mengembangkan usaha. Bagi para investor lokal yang akan melakukan ekspansi atau perluasan cabang dapat menjadikan kota ini sebagai salah satu pilihan terbaik. Bagi investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia, kota ini dapat dijadikan basis usaha baru.
Di Indonesia, kawasan potensial saat ini harus dikembangkan ke daerah-daerah sehingga pembangunan dapat lebih merata, saat ini kawasan industri hanya terpusat di Jabodetabek, Surabaya, Semarang dan Bandung, hal ini dapat menyebabkan kawasan tersebut menjadi jenuh dan tidak terkendali. Oleh karena itu, Kota ini dengan tangan terbuka membuka kesempatan yang sangat besar bagi para investor untuk menanamkan modalnya di kota ini. Bidang-bidang yang sangat potensial di kota ini diantaranya adalah bidang perhotelan, perbankan, pusat perbelanjaan baru, pusat pendidikan, pusat wisata belanja dan pusat industri. Sebagai kota besar yang berkembang pesat dan kota yang memiliki segudang potensi alam, pusat belanja dan oleh-oleh, pusat budaya maupun seni, sebagai tempat perhelatan acara-acara akbar seperti festival, kejuaraan nasional, pusat kuliner, dan tujuan pendidikan utama. Di Tasikmalaya terdapat beberapa universitas diantaranya yaitu Universitas Siliwangi, PGSD UPI, POLTEKES DEPKES dan STIKES Cilolohan.
Sejak saat itu, aktivitas ekonomi rakyat yang berkenaan dengan kebutuhan mahasiswa pun menggeliat. Salah satunya yaitu usaha tempat makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan mahasiswa. Biasanya mereka lebih memilih untuk memesan makanan daripada membuatnya sendiri dengan alasan pertimbangan waktu dan tenaga walaupun memang sedikit mahal. Dari pemikiran inilah mempunyai ide untuk membuat usaha makanan yaitu serabi.
Serabi merupakan makanan ringan atau jajan pasar asli Indonesia. Terbuat dari tepung beras, tepung terigu, atau campuran keduanya dan santan. Makanan ini disajikan bersama kinca, yaitu gula jawa yang dicairkan bersama santan. Ada dua jenis serabi yang terkenal, yaitu serabi bandung yang terbuat dari tepung terigu
Selain serabi original (tanpa topping dan hanya disajikan dengan kinca) saat ini sudah banyak jenis serabi. Banyak variasi topping yang bisa dibuat dari makanan ini. Di antaranya menggunakan pisang, keju, meses cokelat, nangka, bahkan daging atau sosis.
Bahan utama yang digunakan untuk membuat serabi adalah tepung beras atau tepung terigu. Lebih baik menggunakan yang sudah teruji kualitasnya dan antan yang digunakan sebaiknya berasal dari kelapa yang tidak terlalu tua. Bahan lainnya adalah gula merah. Semua bahan dapat dibeli di pasar tradisional.

B. Tujuan
Tujuan pelaksanaan rencana bisnis ini adalah :
1. Meningkatkan kesejahteraan anggota usaha dengan menumbuhkan jiwa entrepreneurship.
2. Memanfaatkan peluang usaha yang ada untuk mendapatkan keuntungan.
3. Menciptakan lapangan kerja baru sebagai cara untuk mengurangi tingginya tingkat pengangguran.
4. Melestarikan salah satu makanan tradisional Indonesia

C. Manfaat
Manfaat didirikannya usaha:
1. Meningkatnya kesejahteraan anggota usaha dan terciptanya generasi muda yang mandiri dan mempunyai jiwa entrepreneourship
2. Mendapatkan keuntungan
3. Mengurangi pengangguran
4. Melestarikan makanan tradisional

BAB II
PROFIL USAHA

A. Identitas Perusahaan
Nama Perusahaan : Saung Serabi
Bidang Usaha : Makanan
Jenis Produk : Kue Serabi
Alamat Perusahaan : Daerah GOR Dadaha Tasikmalaya
Mulai berdiri : 2011B. Identitas Pengusaha
Nama : Resti Yudiarti
Tempat Tanggal Lahir : Tasikmalaya 11 Oktober 1989
Alamat Rumah : Jl. Kertawinangun 1 no 54 Ciamis
No Telepon : 08888888888
Alamat E-mail : rez_tee@rocketmail.com
C. Struktur Organisasi


BAB III
ANALISIS KELAYAKAN USAHA

A. Aspek Pasar dan Pemasaran
Pemasaran adalah sesuatu yang meliputi seluruh sistem yang berhubungan dengan tujuan unuk merencanakan dan menentukan harga sampai dengan mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang biasa memuaskan kebutuhan pembeli aktual mapun potensial. Sistem pemasaran merupakan hal vital yang mempengaruhi kegiatan usaha. Kegiatan pemasaran ini timbul karena meningkatnya persaingan kuliner di kota Tasikmalaya.
Pemasaran Saung Serabi dikelompokkan dalam beberapa kegiatan yang meliputi
1. Analisis Permintaan
Seperti kita ketahui suatu bisnis memiliki tujuan yang jelas dan tujuan utamanya adalah mendapat laba sebanyak-banyaknya tanpa mengesampingkan kepuasan konsumen. Sebagai warung tenda yang mengangkat tema tradisional diharapkan akan dapat menarik konsumen. Konsumen baru yang tertarik untuk mencicipi rasa makanan tradisional dengan kuliner khasnya yaitu serabi dan mempertahankan konsumen tetap dengan melihat keinginan dan permintaan pasar.
Saung Serabi juga menyajikan cita rasa yang berbeda dalam menghidangkan serabi. Banyak permintaan pasar yang menginginkan serabi yang enak, tempat yang nyaman, bersih dan membuat konsumen betah berlama-lama di dalamnya. Dengan tidak meninggalkan dan tetap mengusung tema tradisional untk membawa kekhasan sunda ke masa sekarang.
2. Analisis Pasar
Pasar yang menjadi target Saung Serabi adalah keluarga, mahasiswa, pegawai kantoran dan semua penikmat serabi.
3. Analisis Produk
Produk adalah segala sesuatu yang ditawarkan kepada suatu pasar untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan. Segala sesuatu yang termasuk ke dalamnya adalah barang berwujud, jasa, event, tempat, organisasi, ide atau kombinasi antara hal-hal tersebut. Produk yang dihasilkan suatu bisnis kafe dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu komponen produk nyata (tangible product) dan komponen produk tidak nyata (intangible product).
a. Tangible product
Tangible product adalah sesuatu yang dapat dilihat, diraba, disentuh, diukur dan dihitung. Produk makanan di Saung Serabi adalah beragam serabi dalam berbagai rasa.
b. Intangible product
Intangible product adalah semua produk yang ditawarkan yang hanya dapat dirasakan dan dialami sebagai suatu pengalaman. Saung Serabi berusaha menjaga hal tersebut seperti kebersihan, kenyamanan, servis dan keamanan.
Analisis kekuatan dan peluang (Strength and opportunities analysis)
a. Strength
– Menyediakan porsi yang lebih besar yang dapat disantap bersama
– Menu serabi dengan rasa yang sangat bervariasi dan harga yang terjangkau
– Tempat yang mudah dicapai, baik menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum
– Menawarkan pengalaman kuliner khas sunda tradisional
– Pegawai yang ramah dan tanggap
– Tempat yang bersih dan nyaman
b. Opprtunities
– Kota Tasikmalaya yang dikunjungi karena terdapat banyak pusat perbelanjaan dan banyak mahasiswa
– Banyak orang yang berada di kota Tasikmalaya yang ingin mencicipi serabi yang beragam
– Banyaknya permintaan konsumen yang menginginkan harga yang terjangkau yang berkualitas.
– Banyak anak muda khususnya di kota Tasikmalaya yang gemar nongkrong dalam waktu yang lama
B. Aspek Teknis Usaha
1. Perlengkapan Usaha dan Karyawan
Perlengkapan yang dibutuhkan untuk berjualan serabi antara lain etalase, tenda sederhana, serta bangku dan meja kayu secukupnya. Alat masak terdiri atas pemanggang yang terbuat dari alumunium atau besi dan tungku tanah liat berdiameter sekitar 20 cm. Perlengkapan lain adalah aneka wadah plastik untuk tempat topping atau kuah kinca, piring keramik ukuran sedang, gelas, serta sendok dan garpu ukuran kecil.
Usaha ini dapat dijalankan sendiri atau mempekerjakan karyawan. Ajari cara memanggang serabi seperti mengetahui tingkat kematangan dan cara mengangkat serabi yang telah matang dengan benar.
2. Promosi
Promosi perlu dilakukan untuk mengenalkan produk ke konsumen, Karena pada dasarnya produk yang sudah terencana dengan baik yang telah ditentukan harga jualnya, belum dapat menjamin keberhasilan pemasaran produk. Dengan pertimbangan usaha yang dilakukan relatif kecil dan dengan modal yang tidak besar maka promosi yang dilakukan hanya sebatas dari mulut ke mulutPromosi usaha serabi antara lain membuat spanduk dengan desain menarik di tempat usaha. Lengkapi spanduk dengan gambar serabi untuk menarik minat konsumen. Sebar juga brosur ke sekitar tempat usaha di awal usaha.
3. Penetapan Harga
Harga serabi tergantung jenisnya. Serabi original atau polos harganya sekitar Rp 2.000 per porsi, sedangkan serabi dengan topping bisa dijual Rp 3.000 – Rp 8.000 per porsi.

4. Tempat
Strategi tempat termasuk penentuan lokasi pasar serta kegiatan yang dilakukan perusahaan agar produk dapat diperoleh dan tersedia di pasar sasaran. Lokasi pasar yang dipilih adalah kota Tasikmalaya dan sekitarnya, lebih tepatnya di dekat GOR Dadaha. Penetapan lokasi berdasarkan tempatnya yang strategis, mudah dijangkau baik kendaraan pribadi ataupun umum dan biasanya ramai dikunjungi karena banyak tempat kuliner lainnya.
Sistem distribusi untuk usaha ini direncanakan dengan menggunakan sistem distribusi langsung Saluran distribusi langsung yaitu dari produsen langsung ke konsumen.

5. Target atau Segment yang Dituju
Sasaran yang dituju adalah semua kalangan masyarakat yang ada di Tasikmalaya dan sekitarnya.

C. Analisis Keuangan
Asumsi
• Masa pakai etalase 5 tahun.
• Masa pakai tenda sederhana 2 tahun.
• Masa pakai meja dan bangku kayu sederhana 3 tahun. 3. Masa pakai alat pemanggang 1 tahun.
• Masa pakai tungku tanah liat 6 bulan.
• Masa pakai peralatan lain-lain 3 tahun.

D. Analisis Resiko Usaha
Resiko yang mungkin terjadi dalam melaksanakan usaha ini, yaitu:
1. Bahan yang tidak tahan lama
2. Karena pengelolaan dipegang oleh mahasiswa yang utamanya kuliah maka dapat menimbulkan bentrok atau usaha menjadi terbengkalai karena kurangnya managemen waktu.
Tindakan antisipasi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya resiko usaha adalah :
1. Mencampur bahan ketika ada pesanan saja, jadi bahan dicampur mendadak sehingga tidak terbuang
2. Mengatur waktu dengan profesional dan bekerjasama dengan karyawan.

Makalah Pengelolaan Air Minum

BAB I
PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang
Air memegang peranan penting bagi kehidupan manusia, hewan, tumbuhan dan jasad-jasad lain. Air yang kita perlukan adalah air yang memenuhi persyaratan kesehatan baik persyaratan fisik, kimia, bakteriologis dan radioaktif. Air yang tidak tercemar, didefinisikan sebagai air yang tidak mengandung bahan-bahan asing tertentu dalam jumlah melebihi batas yang ditetapkan sehingga air tersebut dapat dipergunakan secara normal. Air yang memenuhi syarat, diharapkan dampak negatif penularan penyakit melalui air bisa diturunkan.

Pemenuhan kebutuhan air minum sendiri sangat tergantung pada faktor cakupan layanan air minum dan kondisi sanitasi pada masyarakat, baik pedesaan atau perkotaan. Standar kebutuhan air di Indonesia untuk masyarakat pedesaan adalah 60 lt/org/hr, sedangkan untuk masyarakat perkotaan 150 lt/org/hr. Sanitasi juga sangat berperan dalam proses pengelolaan, pendistribusian dan konsumsi air minum pada masyarakat.
Target pemenuhan Air Minum Indonesia pada tahun 2015 adalah 70% dan sanitasi sebesar 63,5%, sesuai dengan komitmen para Pemimpin Dunia di Johannesburg pada Summit 2002. Komitmen yang menghasilkan “Millenium Development Goals”(MDGs) ini menyatakan bahwa pada tahun 2015 separuh penduduk dunia yang saat ini belum mendapatkan akses terhadap air minum (Save Drinking Water) harus telah mendapatkannya. Sedang pada tahun 2015 seluruh penduduk dunia harus telah mendapatkan akses terhadap air minum (Rohim,2006).
Untuk mewujudkan harapan dan cita-cita dalam Summit 2002 tersebut tentunya tidak lepas dari upaya untuk meningkatkan kualitas air minum itu sendiri baik secara fisik, kimia, bakterilogis dan radioaktif. Kualitas yang bagus dalam pemenuhan kebutuhan air dan sanitasi terhadap berbagai kebutuhan manusia, derajat kesehatan dan kesejahteraan yang optimal bias diwujudkan. Harus diakui salah satu kebutuhan pokok yang menyangkut aspek kesehatan dan kehidupan sehari-hari adalah kebutuhan air minum (Rohim,2006).
Kualitas air didefinisikan sebagai kadar parameter air yang dianalisis secara teliti sehingga menunjukkan mutu dan karakteristik air. Mutu dan karakteristik air ditentukan oleh jenis dan sifat-sifat bahan yang terkandung didalamnya. Bahan-bahan tersebut baik yang padat, cair maupun gas, terlarut maupun yang tak terlarut secara alamiah mungkin sudah terdapat dalam air dan diperoleh selama air mengalami siklus hidrologi. Dengan demikian mutu dan karakteristik air ditentukan oleh kondisi lingkungan dimana air berada. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan sering juga menimbulkan bahan-bahan sisa atau bahan-bahan buangan yang mempunyai kecenderungan pada peningkatan jumlah dan kandungan bahan-bahan didalam air. Bahan-bahan ini apabila tidak ditangani secara baik dapat menimbulkan permasalahan pencemaran, lebih-lebih apabila lingkungan tidak mempunyai daya dukung yang cukup untuk menetralisir atau mengurangi bahan pencemar.
Standar baku kualitas air di Indonesia ditetapkan oleh sebuah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX1990 tertanggal 30 September 1990 yang berisi tentang syarat-syarat disesuaikan dengan standar yang ditetapkan WHO (Awaluddin, 2007).
BAB II
PEMBAHASAN
Peraturan Menteri Kesehatan R.I No : 416/MENKES/PER/IX/1990
Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air
  1. A. Daftar Persyaratan Kualitas Air Minum dan Air Bersih
  2. 1. Fisik

a) Suhu atau temperatur
Standar : 3o Celcius
Temperatur air mempengaruhi penerimaan masyarakat akan air dan dapat pula mempengaruhi reaksi kimia dalam pengolahannya terutama apabila temperatur sangat tinggi. Temperatur yang diinginkan adalah ± 30C suhu udara disekitarnya yang dapat memberikan rasa segar, tetapi iklim setempat atau jenis dari sumber-sumber air akan mempengaruhi temperatur air. Disamping itu, temperatur pada air mempengaruhi secara langsung toksisitas banyaknya bahan kimia pencemar, pertumbuhan mikroorganisme dan virus. Oleh karena itu, suhu menjadi salah satu standar kualitas air dengan tujuan untuk menjaga penerimaan masyarakat terhadap air minum yang dibutuhkannya, menjaga derajat toksisitas dan kelarutan bahan-bahan pencemar yang mungkin terdapat dalam air, serendah mungkin dan menjaga adanya temperatur air yang sedapat mungkin tidak menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme dan virus dalam air (Wulan, 2005).
Penyimpangan terhadap standar suhu ini, apabila suhu air minum lebih tinggi dari suhu udara, jelas akan mengakibatkan tidak tercapainya maksud-maksud tersebut diatas, yaitu akan menurunnya penerimaan masyarakat, meningkatkan toksisitas kelarutan bahan-bahan pencemar dan dapat manimbulkan suhu yang sesuai bagi kehidupan mikroorganisme dan virus tertentu dalam air. Temperatur atau suhu air diukur dengan menggunakan termometer air (Awaluddin, 2007).
Kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas biologi sehingga akan membentuk O2 lebih banyak lagi. Kenaikan suhu perairan secara alamiah biasanya disebabkan oleh aktivitas penebangan vegetasi di sekitar sumber air tersebut, sehingga menyebabkan banyaknya cahaya matahari yang masuk tersebut mempengaruhi akuifer yang ada secara langsung atau tidak langsung (Wulan, 2005).
Air yang secara mencolok mempunyai temperatur di atas atau di bawah temperatur udara berarti mengandung zat-zat tertentu (misalnya fenol yang terlarut di dalam air cukup banyak) atau sedang terjadi proses tertentu (proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme yang menghasilkan energi) yang mengeluarkan atau menyerap energi dalam air (Hartanto, 2007).

b) Rasa dan Bau
Standar : Tidak berasa dan tidak berbau
Bau dan rasa dapat dirasakan langsung oleh indera penciuman dan pengecap. Biasanya, bau dan rasa saling berhubungan.. Bau dan rasa biasanya terjadi secara bersamaan dan biasanya disebabkan oleh adanya bahan-bahan organik yang membusuk serta persenyawaan-persenyawaan kimia seperti fenol. Intensitas bau dan rasa dapat meningkat bila terhadap air dilakukan klorinasi.
Bau air memberikan gambaran tentang kondisi air tersebut. Air yang berbau busuk, kemungkinan disebabkan karena campuran dari nitrogen, sulfur dan pospor. Bau tersebut tercium disebabkan karena terbentuk asam sulfur (H2S) dan amoniak (NH4). Bau dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti bakteri oleh mikroorganisme air serta kemungkinan akibat tidak langsung dari pencemaran lingkungan, terutama sistem sanitasi (Matahelumual, 2008). Air yang berbau busuk memiliki rasa kurang (tidak) enak. Dilihat dari segi estetika, air berbau busuk tidak layak dikonsumsi.
Rasa dapat ditimbulkan karena adanya zat organik atau bakteri / unsur lain yang masuk ke badan air. Secara fisika, air bisa dirasakan oleh lidah. Air yang terasa asam, manis, pahit, atau asin menunjukkan bahwa kualitas air tersebut tidak baik. Rasa asin disebabkan adanya garam-garam tertentu yang larut dalam air, sedangkan rasa asam diakibatkan adanya asam organik maupun asam anorganik (Hartanto, 2007).
c) Warna

Standar : tidak berwarna; 15 TCU
Air yang berwarna akan mengurangi segi estetika dan tidak diterima oleh masyarakat. Air yang berwarna berarti mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya bagi kesehatan. Warna pada air dapat disebabkan oleh kontak antara air dengan zat organik yang sudah lapuk sehingga menghasilkan senyawa yang larut, unsur Fe dan Mn dengan kadar yang tinggi, senyawa-senyawa lainnya seperti zat warna yang digunakan dalam pencelupan, atau adanya tannin, lignin dan humus serta adanya bahan kimia atau mikroorganik (plankton) yang terlarut di dalam air. Warna yang disebabkan bahan-bahan kimia disebut apparent color yang berbahaya bagi tubuh manusia. Warna yang disebabkan oleh mikroorganisme disebut true color yang tidak berbahaya bagi kesehatan (Awaluddin, 2007).
Warna air adalah ciri yang dipakai untuk mengkaji kondisi umum dari air limbah. Warna pada air menunjukkan kekuatannya, semakin pekat warna air berarti semakin jelek pula kondisi airnya. Warna ini dipengaruhi oleh pembusukan limbah organik maupun anorganik. Air yang mengandung bahan-bahan pewarna alamiah yang berasal dari rawa dan hutan, dianggap tidak mempunyai sifat-sifat yang membahayakan atau toksis. Meskipun demikian, adanya bahan-bahan tersebut memberikan warna kuning-kecoklatan pada air, yang menjadikan air tersebut tidak disukai oleh sebagian konsumen air (Matahelumual, 2008).
d) Kekeruhan
Standar : 5 NTU (Nepelometric Turbidity Unit).

Kekeruhan (turbiditas) adalah ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan air. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan–bahan yang terdapat dalam air (Matahelumual, 2008). Kekeruhan terjadi disebabkan oleh adanya zat-zat koloid, yaitu zat yang terapung serta terurai secara halus sekali. Hal itu disebabkan oleh kehadiran zat organik, jasad renik, lumpur, tanah liat dan benda terapung yang tidak mengendap dengan segera. Semakin banyak kandungan koloid maka air semakin keruh. Sedang dari segi estetika kekeruhan air dihubungkan dengan kemungkinan hadirnya pencemaran melalui buangan dan warna air tergantung pada warna buangan yang memasuki badan air, menyulitkan dalam usaha penyaringan dan akan mengurangi efektivitas usaha desinfeksi. Tingkat kekeruhan air dapat diketahui melalui pemeriksaan laboratorium dengan metode Turbidimeter (Wulan, 2005).
e) TDS atau Jumlah Zat Padat Terlarut (total dissolved solids)
Standar : 1000 mg/l
TDS biasanya terdiri atas zat organik, garam anorganik dan gas terlarut. Bila TDS bertambah maka kesadahan akan naik. Efek TDS ataupun kesadahan terhadap kesehatan tergantung pada spesies kimia penyebab masalah tersebut (Hartanto, 2007). Air yang baik dan layak untuk diminum tidak mengandung padatan terapung dalam jumlah yang melebihi batas maksimal yang diperbolehkan yaitu 1000 mg/l. Padatan yang terlarut di dalam air berupa bahan-bahan kimia anorganik dan gas-gas yang terlarut. Air yang mengandung jumlah padatan melebihi batas menyebabkan rasa yang tidak enak, menyebabkan mual, rasa tidak enak pada lidah, penyebab serangan jantung (cardiacdisease) dan tixaemia pada wanita hamil (Awaluddin, 2007).
  1. 2. Radioaktivitas
a) Aktivitas Alpha (Gross Alpha Activity)
Standar : 0,1 Bq/l (Beguerel/liter)

Sinar ini merupakan sinar radioaktif yang tidak mempunyai daya tembus, efek yang terjadi lokal. Apabila terdapat sinar ini di lingkungan sekitar, maka dapat menimbulkan kontaminasi radioaktif pada lingkungan, yang dapat mengakibatkan rusaknya sel-sel tubuh manusia yang terkenanya.
Radiasi Alpha biasanya ada di mana-mana: dalam tanah, di udara, dan juga di air. Karena batuan dasar bumi mengandung jumlah bervariasi dari unsur radioaktif, jumlah radiasi alpha di dalam air juga bervariasi. Sebagai peluruhan unsur radioaktif, radiasi alpha terus dilepaskan ke air tanah. Air tanah merupakan sumber air minum umum. Radiasi alfa dalam air minum dapat berupa mineral terlarut atau dalam kasus radon, sebagai gas.
b) Aktivitas Beta (Gross Beta Activity)
Standar : 1,0 Bq/l
Sinar beta dapat menembus kulit, dalamnya tergantung pada aktifitasnya.  Kerusakan yang terjadi dapat lebih luas dan lebih mendalam daripada sinar alpha. Besar sinar ini paling tinggi di dalam air adalah sebesar 1,0 mg/L. Apabila melebihi kadar tersebut efeknya tidak berbeda dengan sinar alfa yaitu menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh. Jika tubuh banyak menerima sinar  beta maka akan menyebabkan luka bakar yang parah. Sinar beta juga menimbulkan kerusakan pada jaringan atau organ tubuh jika unsur yang memancarkan sinar beta berada dalam tubuh dalam waktu yang cukup lama.

  1. 3. Mikrobiologik
a) Koliform Tinja
Standar : Setiap 100 ml sampel air, koliform tinja harus nol
b) Total koliform
Standar

i.            Air Minum      : Setiap 100 ml sampel air, total koliform harus nol
Toleransi          : 95% dari sampel yang diperiksa selama setahun, kadang-kadang boleh ada 3 per 100 ml sampel, tetapi tidak berturut-turut.
ii.            Air Bersih        : Setiap 100 ml sampel air, total koliform harus nol
Bukan air pipaan

c) Koliform Tinja Belum Diperiksa
Standar :      Setiap 100 ml sampel air, total koliform harus nol
Bukan air pipaan
Sumber-sumber air di alam pada umumnya mengandung bakteri, baik air angkasa, air permukaan, maupun air tanah. Jumlah dan jenis bakteri berbeda sesuai dengan tempat dan kondisi yang mempengaruhinya. Penyakit yang ditransmisikan melalui faecal material dapat disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan metazoa. Oleh karena itu air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari harus bebas dari bakteri patogen. Bakteri golongan Coli (Coliform bakteri) tidak merupakan bakteri patogen, tetapi bakteri ini merupakan indikator dari pencemaran air oleh bakteri pathogen.
Air yang mengandung golongan Coli dianggap telah terkontaminasi (berhubungan) dengan kotoran manusia. Dengan demikian dalam pemeriksaan bakteriologik, tidak langsung diperiksa apakah air itu mengandung bakteri pathogen, tetapi diperiksa dengan indikator bakteri golongan Coli. Bakteri golongan Coli ini berasal dari usus besar dan tanah. Bakteri pathogen yang mungkin ada dalam air antara lain adalah : Bakteri typoid, Vibrio colerae, Bakteri dysentriae, Bakteri anteritis (penyakit perut).

  1. B. Daftar Persyaratan Kualitas Air Kolam Renang
No. Parameter Standar Alasan
Min Maks

  1. A. Fisik
1. Bau Bebas dari bau yang mengganggu Bau air memberikan gambaran tentang kondisi air tersebut. Air yang berbau busuk, kemungkinan disebabkan karena campuran dari nitrogen, sulfur dan pospor. Bau tersebut tercium disebabkan karena terbentuk asam sulfur (H2S) dan amoniak (NH4). Bau dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti bakteri oleh mikroorganisme air serta kemungkinan akibat tidak langsung dari pencemaran lingkungan, terutama sistem sanitasi (Matahelumual, 2008). Air yang berbau busuk memiliki rasa kurang (tidak) enak. Dilihat dari segi estetika, air berbau busuk tidak layak digunakan.
2. Benda Terapung Bebas dari benda terapung
3. Kejernihan Piringan sesuai yang diletakkan pada dasar kolam yang terdalam dapat dilihat dengan jelas dari tepi kolam pada jarak lurus 7m

  1. B. Kimiawi
1. Aluminium 0,2 mg/l Air yang mengandung banyak aluminium menyebabkan rasa yang tidak enak apabila dikonsumsi (Wulan, 2005). Aluminium merupakan unsur yang tidak berbahaya. Perairan alami biasanya memiliki kandungan aluminium kurang dari 1,0 mg/liter. Perairan asam memiliki kadar aluminium yang lebih tinggi. Kadar aluminium untuk keperluan air minum sekitar 0,2 mg/liter. Kelebihan aluminium pada batas yang telah ditetapkan dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti gangguan suara,kejang-kejang pada otot serta dapat mengubah rasa dan bau pada air minum. Sehingga hal tersebut dapat menurunkan kualitas pada air minum.
2. Kesadahan 50 mg/l 500 mg/l Air sadah (air yang mempunyai kadar kesadahan yang tinggi) tidak berpengaruh langsung terhadap kesehatan, tetapi apabila kesadahan melebihi 500 mg/L CaCO3 akan memboroskan pemakaian sabun cuci karena sulit berbusa. Selain itu, kesadahan yang tinggi dapat menyebabkan pembentukan kerak pada ketel uap dan pipa air panas; sebaliknya, air lunak (air yang mempunyai kadar kesadahan yang rendah) umumnya bersifat korosif, karena mempunyai pH yang rendah dan apabila dipakai untuk mencuci pakaian akan terasa licin, sehingga memerlukan banyak air untuk membilasnya, hal ini terjadi karena sabun tersebut diuraikan menjadi asam lemak (Matahelumual, 2008).
3. Oksigen terabsorbsi 0,1

Dalam waktu 4 jam pada suhu udara

4. pH 6,5 8,5 Air dengan nilai pH < 6,50 berasa asam di lidah dan dapat menyebabkan korosifitas pada pipa-pipa (logam) air dan melepaskan logam-logam seperti tembaga (Cu), timbal (Pb), seng (Zn) dan kadmium (Cd) yang bersifat racun dan mengganggu kesehatan. Sedangkan bila nilai pH > 8,50 atau bersifat basa  dan terasa pahit pada lidah, dapat membentuk kerak pada pipa dan ketel, menurunkan aktifitas germisida klorin dan meningkatkan senyawa trihalometan yang berbahaya (Matahelumual, 2008).
5. Sisa Chlor 0,2 mg/l 0,5 mg/l Desinfektan ini banyak digunakan dalam pengolahan air bersih dan air limbah sebagai oksidator dan desinfektan. Sebagai oksidator digunakan untuk menghilangkan bau, rasa, dan warna pada pengolahan air bersih. Dan untuk mengoksidasi Fe (II) dan Mn (II) yang banyak terkandung dalam air tanah menjadi Fe (III) dan Mn (III).
Disinfeksi air dengan cara memasukkan zat kimia berupa klorin (chlorine). Manfaat klorin ini adalah sebagai zat kimia yang dapat membunuh virus, bakteri dan jamur. Meskipun setelah melalui proses,penyaringan air kelihatan bersih, namun harus dicurigai masih adanya bakteri di dalam air tersebut. Kadar Klorin yang dianjurkan sebagai desinfektan untuk kolam renang mempunyai batas hingga 2,0 PPM (parts per million).
6. Tembaga sebagai Cu 1,5 mg/l Tembaga pada kadar lebih besar dari 1 mg/l akan menyebabkan rasa tidak enak pada lidah dan dapat menimbulkan kerusakan pada hati.  Kadar tembaga yang tinggi juga dapat mengakibatkan korosi pada besi dan aluminium.

  1. C. Mikrobiologi
1. Koliform total Setiap 100 ml sampel air, harus nol Jumlah dan jenis bakteri berbeda sesuai dengan tempat dan kondisi yang mempengaruhinya. Penyakit yang ditransmisikan melalui faecal material dapat disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan metazoa. Oleh karena itu air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari harus bebas dari bakteri patogen.
2. Jumlah kuman 200 koloni per 1 ml Penilaian mikrobiologis adalah tidak ada koliform per 100 ml  atau jumlah kuman ditoeransi antara 0-200 jumlah koloni per 1 ml. Apabila pH tidak memenuhi syarat dapat mengakibatkan iritasi pada mata serta proses koagulasi akan terganggu atau dapat berpengaruh pada daya pembersih air. Bila terdapat penyimpangan dari kriteria tersebut berarti terdapat kondisi tertentu yang dapat berpotensi mengganggu kesehatan Misalnya, bila air berbau menunjukkan adanya H2S dalam air berarti sedang terjadi proses pembusukan air tercemari oleh sumber kotoran.
  1. C. Daftar Persyaratan Kualitas Air Pemandian Umum

No. Parameter Standar Alasan
Min Maks

  1. D. Fisik
1. Bau Bebas dari bau yang mengganggu Bau air memberikan gambaran tentang kondisi air tersebut. Air yang berbau busuk, kemungkinan disebabkan karena campuran dari nitrogen, sulfur dan pospor. Bau tersebut tercium disebabkan karena terbentuk asam sulfur (H2S) dan amoniak (NH4). Bau dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti bakteri oleh mikroorganisme air serta kemungkinan akibat tidak langsung dari pencemaran lingkungan, terutama sistem sanitasi (Matahelumual, 2008). Air yang berbau busuk memiliki rasa kurang (tidak) enak. Dilihat dari segi estetika, air berbau busuk tidak layak digunakan.
2. Kejernihan Piringan sesuai yang diletakkan pada dasar kolam yang terdalam dapat dilihat dengan jelas dari tepi kolam pada jarak lurus 7m
3. Minyak Tidak berbau minyak dan tidak nampak lapisan minyak

  1. E. Kimiawi
1. Detergen 1,0 mg/l
2. Kebutuhan Oksigen biokimia (BOD) 5,0 mg/l Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB)
adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses
mikrobiologis yang benar-benar terjadi didalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat organis yang tersuspensi dalam air. Dengan kata lain BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri dalam menyeimbangkan zat-zat organik dalam yang dapat

dibusukkan dibawah keadaan aerobik atau banyaknya  oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme pada waktu dekomposisi bahan organik yang ada di perairan.
Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran dan untuk
mendesain sistem-sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar tersebut.
Penguraian zat organis adalah peristiwa alamiah. Kalau suatu bahan air dicemari oleh
zat organis, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses
oksidasi tersebut yang biasa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan dapat
menimbulkan bau busuk pada air tersebut. Penentuan BOD meliputi pengukuran

oksigen terlarut yang digunakan oleh  mikroorganisme dalam proses oksidasi biokimia dan bahan organik.

3. Oksigen terlarut 0,1 mg/l
Dalam waktu 4 jam pada suhu udara
DO (Dissolved Oxygen) menunjukkan oksigen yang terkandung dalam air

sebagai derajat pengotoran limbah yang ada. Semakin besar oksigen yang terlarut
menunjukkan derajat pengotoran yang lebih kecil.

4. pH 6,5 8,5 Air dengan nilai pH < 6,50 berasa asam di lidah dan dapat menyebabkan korosifitas pada pipa-pipa (logam) air dan melepaskan logam-logam seperti tembaga (Cu), timbal (Pb), seng (Zn) dan kadmium (Cd) yang bersifat racun dan mengganggu kesehatan. Sedangkan bila nilai pH > 8,50 atau bersifat basa  dan terasa pahit pada lidah, dapat membentuk kerak pada pipa dan ketel, menurunkan aktifitas germisida klorin dan meningkatkan senyawa trihalometan yang berbahaya (Matahelumual, 2008).

  1. F. Mikrobiologi
1. Koliform total Setiap 100 ml sampel air, harus nol Jumlah dan jenis bakteri berbeda sesuai dengan tempat dan kondisi yang mempengaruhinya. Penyakit yang ditransmisikan melalui faecal material dapat disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan metazoa. Oleh karena itu air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari harus bebas dari bakteri patogen.

  1. G. Radioaktivitas
1. Aktivitas Alpha 0,1 bq/l Sinar ini merupakan sinar radioaktif yang tidak mempunyai daya tembus, efek yang terjadi lokal. Apabila terdapat sinar ini di lingkungan sekitar, maka dapat menimbulkan kontaminasi radioaktif pada lingkungan, yang dapat mengakibatkan rusaknya sel-sel tubuh manusia yang terkenanya.
2. Aktivitas beta 1,0 bq/l Sinar beta dapat menembus kulit, dalamnya tergantung pada aktifitasnya.  Kerusakan yang terjadi dapat lebih luas dan lebih mendalam daripada sinar alpha. Besar sinar ini paling tinggi di dalam air adalah sebesar 1,0 mg/L. Apabila melebihi kadar tersebut efeknya tidak berbeda dengan sinar alfa yaitu menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh. Jika tubuh banyak menerima sinar  beta maka akan menyebabkan luka bakar yang parah. Sinar beta juga menimbulkan kerusakan pada jaringan atau organ tubuh jika unsur yang memancarkan sinar beta berada dalam tubuh dalam waktu yang cukup lama.
No. Parameter Standar Alasan

  1. A. Kimia Anorganik
1. Air Raksa 0,001 mg/l Raksa (Hg) meracuni sel-sel tubuh, merusak ginjal, hati dan syaraf, serta menyebabkan keterbelakangan mental dan cerebral palsy pada bayi (Matahelumual, 2008). Penyakit karena kercunan merkuri (Hg) dinamakan penyakit Itai-itai yang berarti sakit-sakit, atau sering disebut juga dengan penyakit Minamata (Minamata disease).
2. Aluminium Air minum
0,2 mg/l
Air yang mengandung banyak aluminium menyebabkan rasa yang tidak enak apabila dikonsumsi (Wulan, 2005). Aluminium merupakan unsur yang tidak berbahaya. Perairan alami biasanya memiliki kandungan aluminium kurang dari 1,0 mg/liter. Perairan asam memiliki kadar aluminium yang lebih tinggi. Kadar aluminium untuk keperluan air minum sekitar 0,2 mg/liter. Kelebihan aluminium pada batas yang telah ditetapkan dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti gangguan suara,kejang-kejang pada otot serta dapat mengubah rasa dan bau pada air minum. Sehingga hal tersebut dapat menurunkan kualitas pada air minum.
3. Arsen 0,05 mg/l Iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel. Keracunan akut mengakibatkan gejala diare disertai darah, disusul dengan koma bila dibiarkan menyebabkan kematian. Secara kronis menimbulkan anorexia, kolk, nual, diare atau konstipasi, pendarahan pada ginjal, kanker kulit (UNSU,2011),
4. Barium Air minum
1,0 mg/l
Menghentikan otot-otot jantung dalam satu jam, menyebabkan kelumpuhan urat syaraf (UNSU,2011)
5. Besi 0,3 mg/l Menimbulkan warna kuning, menimbulkan rasa, merusak dinding usus (UNSU,2011). Dalam jumlah kecil diperlukan untuk pertumbuhan sel-sel darah merah, tetapi jika konsentrasinya melebihi 1,0 mg/L dapat menyebabkan warna air kuning kemerah-merahan, rasa tidak enak pada minuman (pahit dan kesat), membentuk endapan pada pipa-pipa logam dan warna kuning pada cucian (pakaian) (Matahelumual, 2008).
6. Flourida 1,5 mg/l Keracunan kronis menyebabkan orang menjadi kurus, pertumbuhan tubuh terganggu, terjadi fluorosis gigi serta kerangka, gangguan pencernaan disertai dehidrasi.Keracunan berat menyebabkan cacat tulang, kelumpuhan dan kematian. menyebabkan penurunan kadar hemoglobin dalam darah, deformities atau kelainan tulang kaki, sakit kepala, bercak-bercak pada kulit dan penyakit syaraf (UNSU,2011)
7. Kadmium 0,005 mg/l Keracunan akut akan menyebabkan gejala gastrointestial, dan penyakit ginjal. ditemukan pelunakan dan fraktur (patah) tulang punggung. Di Jepang sakit pinggang ini dikenal sebagai penyakit “Itai-Itai Byo”gejalanya adalah sakit pinggang, patah tulang, tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, gejala seperti influenza, dan sterilitas pada laki-laki (UNSU,2011)
8. Kesadahan 500 mg/l Kesadahan adalah sifat kimia air yang disebabkan oleh ion kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+). Kesadahan air di tiap tempat mungkin berbeda, tergantung dari kondisi geologinya, yaitu kontak antara air dengan batuan sekitarnya. Pada umumnya air permukaan lebih lunak daripada air tanah.
Penyebab kesadahan dalam air tanah ialah ion-ion Ca2+, Mg2+,Mn2+,Sr2+,Fe2+, yang akan berikatan dengan anion-anion Cl-, SO4 2-, HCO3 -, NO3 -,SiO3 2-.
Air sadah (air yang mempunyai kadar kesadahan yang tinggi) tidak berpengaruh langsung terhadap kesehatan, tetapi apabila kesadahan melebihi 500 mg/L CaCO3 akan memboroskan pemakaian sabun cuci karena sulit berbusa. Selain itu, kesadahan yang tinggi dapat menyebabkan pembentukan kerak pada ketel uap dan pipa air panas; sebaliknya, air lunak (air yang mempunyai kadar kesadahan yang rendah) umumnya bersifat korosif, karena mempunyai pH yang rendah dan apabila dipakai untuk mencuci pakaian akan terasa licin, sehingga memerlukan banyak air untuk membilasnya, hal ini terjadi karena sabun tersebut diuraikan menjadi asam lemak (Matahelumual, 2008).
9. Klorida Air minum
250 mg/l
Air bersih
600 mg/l
Menimbulkan rasa asin (UNSU,2011).  Kandungan kadar klorida pada perairan alami berkisar 2 – 20 mg/L; sedangkan air yang berasal dari daerah pertambangan mengandung klorida sekitar 1.700 mg/L., padahal dalam kondisi kadar klorida hanya 250 mg/L sudah dapat mengakibatkan air menjadi asin. Kadar klorida yang tinggi, misalnya pada air laut sebesar 19.300 mg/L, yang diikiuti oleh kadar kalsium dan magnesium yang tinggi pula dapat meningkatkan sifat korosifitas air. Perairan yang demikian mudah mengakibatkan terjadinya pengkaratan peralatan yang terbuat dari logam. Klorida tidak bersifat toksik bagi makhluk hidup, bahkan berperan dalam pengaturan tekanan osmotik sel (Matahelumual, 2008).
10. Kromium, valensi 6 0,05 mg/l Karsinogenik pada pernafasan, menimbulkan ulcus yang dalam pada kulit dan selaput lendir. Menimbulkan kerusakan pada tulang hidung dan pada paru-paru menyebabkan kanker (UNSU,2011)
11. Mangan Air Bersih 0,5 mg/l
Air minum 0,1 mg/l
Kelebihan logam ini dalam tubuh dapat menimbulkan efek-efek kesehatan seperti serangan jantung, gangguan pembuluh darah bahkan kanker hati. Nilai estetika juga dapat dirusak oleh keberadaan logam-logam ini karena dapat menimbulkan bercak-bercak hitam pada pakaian. Air yang tercemar oleh logam-logam ini biasanya nampak pada intensitas warna yang tinggi pada air, berwarna kuning bahkan berwarna merah kecoklatan dan terasa pahit atau masam.
12. Natrium Air minum
200 mg/l
Ion natrium dalam jumlah besar bila berikatan dengan ion sulfat (SO4) akan membentuk garam natrium sulfat, sedangkan ion sulfat berikatan dengan magnesium dalam air akan membentuk garam magnesium sulfat. Keduanya akan menyebabkan rasa mual (Matahelumual, 2008).
13. Nitrit, sebagai N 1,0 mg/l Nitrit dalam jumlah tertentu dapat membahayakan kesehatan karena dapat bereaksi dengan haemoglobin dalam darah, hingga darah tidak dapat mengangkut oksigen lagi.  Selain itu, NO2- juga dapat menimbulkan nitrosamin yang dapat menyebabkan kanker (Matahelumual, 2008).
14. Nitrat, sebagai N 10 mg/l Zat kimia ini dapat meracuni tubuh, dalam jumlah dan konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan methaemoglobinamein yaitu perubahan Hb darah sehingga terjadi pengurangan oksigen dalam darah dan menimbulkan gangguan pernafasan bahkan gagal
jantung. Selain itu, zat ini juga bersifat mutagen dan karsinogen dalam tubuh karena bersifat sebagai penghambat enzim
15. Perak Air minum
0,05 mg/l
Menimbulkan pigmentasi kelabu disebut argyria
16. Selenium 0,01 mg/l Dosis besar menyebabkan gejala gastrointestinal seperti muntah dan diare. Bila pemaparan berlanjut, akan menjadi gejala gangguan susunan urat saraf seperti reflek-reflek, iritasi cerebral, konpulsi dan menyebabkan kematian
17. Seng Air Bersih 15 mg/l

Air minum 5 mg/l

Kelebihan kadar Zn (seng) > 5 mg/l dalam air minum menyebabkan rasa pahit dan rasa mual (Matahelumual, 2008)
18. Sulfat 400 mg/l Sulfat tersebar di alam dan mungkin terdapat dalam air dalam konsentrasi rendah atau mungkin juga dalam konsentrasi tinggi, misalnya pada air yang telah tercemar oleh buangan industri tambang. Sulfat berasal dari oksidasi pirit dan dapat menimbulkan efek yang kurang baik pada air, diantaranya berbau busuk dan bersifat racun. Kondisi tersebut terjadi karena SO4 2- tereduksi menjadi H2S pada kondisi aerob. Konsentrasi sulfat yang tinggi mengakibatkan pencemaran, kerusakan pada pipa dan dapat menurunkan nilai oksigen terlarut (Matahelumual, 2008).
19. Sulfida,sebagai H2S Air minum
0,05 mg/l
H2S merupakan gas yang sangat beracun dan berbau busuk, selain itu dapat memperbesar keasaman air sehingga dapat menyebabkan korosi pada pipa-pipa logam, karena sifat dan pengaruh zat ini, maka dalam standar air minum ditetapkan air minum tidak boleh mengandung H2S.
20. Tembaga Air minum
1,0 mg/l
Tembaga pada kadar lebih besar dari 1 mg/l akan menyebabkan rasa tidak enak pada lidah dan dapat menimbulkan kerusakan pada hati.  Kadar tembaga yang tinggi juga dapat mengakibatkan korosi pada besi dan aluminium.
21. Timbal 0,05 mg/l Timbal (Pb) dapat berakumulai dalam jaringan tubuh manusia dan meracuni jaringan syaraf, dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan syaraf otak, anemia dan lumpuh (pada anak-anak) (Matahelumual, 2008).
22. pH Air bersih
0,05 mg/l
23. Sianida 0,1 mg/l Menyebabkan gangguan pada jaringan saraf, pencernaan, metabolism oksigen dan kanker

  1. B. Kimia Organik
1. Aldrin dan dieldrin 0,0007 mg/l Menimbulkan keracunan yang akut ataupun kronis. Aldrin juga merupakan suatu iritan, dapat menyebabkan konvulsi, depresi dan dapat

merusak hati dalam 1- 4 jam.

2. Benzene 0,01 mg/l Toxisitasnya dapat akut lokal, akut sistemik, maupun kronis. Benzene menyebabkan erythema, vesikel, dan udema. Pengaruhnya terhadap SSP (Susunan Saraf Pusat) bersifat narkotik dan anestetik. Pemaparan kronis menimbulkan hyplasia atau pun  hyperplasia sumsum tulang yang mengakibatkan anemia, leucopenia,
thrombocytopenia, dan sangat mungkin menyebabkan leukemia.
3. Benzo (a) pyrene 0,00001 mg/l
4. Chloroform (total isomer) Air minum
0,0003 mg/l

Air bersih
0,007 mg/l

Bioakumulasi dalam air,  Menyebakan kanker.  Chlordane mudah sekali diabsorbsi kulit, menimbulkan hyperexitasi, dan konvulsi.  Disebut pula sebagai penyebab kelainan darah, seperti thrombocytopenia (kekurangan thrombosit), agranulocytosis (tidak
terdapat granulocyt) dan anemia aplastik.
5. Chloroform 0,03 mg/l Bioakumulasi dalam air,  Potensial menyebabkan kanker.  Menimbulkan iritasi, dilatasi pupil, dan merusak hepar, jantung, dan ginjal. Keracunan chloroform dapat menimbulkan toxisitas akut dan sistemik, sedangkan
efek kronis belum diketahui dengan jelas.
6. 2,4-D 0,10 mg/l Kebutaan, Resiko kanker, mengakibatkan masalah reproduksi pria yaitu mematikan sperma.
7. DDT 0,03 mg/l Mudah menembus kulit, sulit diuraikan mikroorganisme, terakumulasi dalam sayuran yang akan dimasak. Penyebab kanker, masuk ke dalam jaring makanan (biomagnifikatif), keracunan akut pada manusia  (paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan dan muntah), Efek keracunan kronis (kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, system imunitas dan sistem reproduksi).
8. Detergen Air minum
0,05 mg/l
Air bersih
0,5 mg/l
Sulit diuraikan mikroorganisme, eutrofikasi (pesatnya pertumbuhan ganggang dan enceng gondok) sehingga dasar air tidak mampu ditembus oleh sinar matahari, kadar oksigen berkurang secara drastis, kehidupan biota air mengalami degradasi, dan unsur hara meningkat sangat pesat yang ahirnya ekosistem akan terganggu. Menimbulkan bau dan rasa tidak enak, berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik)
9. 1,2-Dicloroethene 0,01 mg/l Dampak langsung bagi kesehatan baik akut maupun kronis, bersifat karsinogen.
10. 1,1- Dicloroethene 0,0003 mg/l Dampak langsung bagi kesehatan baik akut maupun kronis, bersifat karsinogen
11. Heptachlor dan heptaclor epoxide 0,003 mg/l Menyebabkan gangguan pada sistem saraf
12. Hexachlorobenzene 0,00001 mg/l

  1. Bahan tersebut banyak digunakan sebagai bahan dari peptisida, yang kemudian tercampur oleh air bersih dan terminum oleh hewan ternak, lalu hewan tersebut termakan oleh manusia, sehingga dapat mencemari ASI ibu menyusui apabila ibu tersebut memakan daging dari hewan yang telah terkontaminasi oleh hexachlorobenzene.
  2. Digunakan standar demikian agar tidak mengkontaminasi air. Terutama orang2 yang menggunakan air dengan kandungan hexachlorobenzen tanpa dimasak terlebih dahulu.
  3. Mengingat bahwa berbagai penyakit dapat dibawa oleh air kepada manusia yang memanfaatkannya, maka tujuan utama penyediaan air bersih/air minum bagi masyarakat adalah untuk mencegah penyakit yang dibawah oleh air. Penyediaan air bersih selain kuantitas kualitasnya pun harus memenuhi standar yang berlaku. Air minum yang memenuhi baik kuantitas maupun kualitas sangat membantu menurunkan angka kesakitan penyakit perut terutama penyakit diare.
13. Gamma-HCL (lindane) 0,004 mg/l

  1. Lindane adalah sebuah organoklorin kimia varian hexachlorocyclohexane yang telah digunakan baik sebagai pertanian insektisida dan sebagai farmasi pengobatan untuk kutu dan kudis. Pada manusia, lindane mempengaruhi sistem saraf , hati dan ginjal , serta mungkin dapat menjadi karsinogen.
  2. Organisasi Kesehatan Dunia mengklasifikasikan lindane sebagai “Cukup Berbahaya,” dan dalam perdagangan internasional dibatasi dan diinformasikan  dalam Konvensi Rotterdam pada Sebelum. Pada tahun 2009 produksi dan penggunaan pertanian lindane dilarang di bawah Konvensi Stockholm tentang organik yang persisten polutan. Sebuah pengecualian khusus untuk melarang yang memungkinkan terus menggunakannya sebagai pengobatan kutu dan kudis.
14. Methoxychlor Air bersih 0,1 mg/l
Air minum 0.03 mg.l
  1. Methoxychlor digunakan untuk melindungi tanaman, tanaman hias, peternakan, dan hewan peliharaan terhadap kutu, nyamuk, kecoa, dan serangga lainnya. Penggunaan methoxychlor sebagai pestisida dilarang di Amerika Serikat pada tahun 2003 dan di Uni Eropa pada tahun 2002.
  2. Methoxychlor tidak dianggap karsinogenik atau teratogenik. EPA telah diberi label methoxychlor berada di Toksisitas Kelas IV yang berisi agen yang dianggap praktis tidak beracun dan tidak memerlukan kata sinyal. Karena itu tersedia sebagai General Gunakan Pestisida (gup). Untuk air minum , di Amerika Serikat Environmental Protection Agency (EPA) memberikan 40ppb sebagai Tingkat Pencemaran Maksimum (MCL).
15. Pentachlorophenol 0,01 mg/l

  1. Toksisitas baik akut maupun kronis menimbulkan local iritan dan sitemik. Pemaparan yang kronis menimbulkan kerusakan pada hepar (UNSU, 2011)
16. Pestisida total 0,10 mg/l

  1. Pestisida merupakan bidang perhatian untuk menjaga kualitas air karena penggunaan yang luas. Zat kimia ini digunakan di daerah perkotaan dan pengaturan pertanian.
  2. Dalam industri pertanian, pestisida adalah salah satu yang paling sering ditangani dengan zat dengan potensi efek yang merugikan pada manusia. Kesehatan efek pestisida tergantung pada karakteristik kimianya.
  3. Kejadian yang paling signifikan serta pencemaran air tanah telah dengan pestisida karbamat. Aldicarb – salah satu pestisida karbamat paling umum dan salah satu yang telah terdeteksi di banyak sumur – yang digunakan pada kentang.
17. 2,4,6 trichlorophenol 0,01 mg/l

  1. 2,4,6-TRIKLOROFENOL, juga dikenal sebagai TCP, phenaclor, Dowicide 2S, Dowcide 2S, omal, adalah fenol klor yang telah digunakan sebagai fungisida, herbisida, insektisida, antiseptik, zat kimia penggundul hutan, dan pengawet lem.
  2. 2,4,6-TRIKLOROFENOL adalah pencemar lingkungan yang telah ditemukan di danau air tawar seperti Great Lakes.
  3. 2,4,6 tricholorofhenol ini adalah golongan pencemaran air yang cara pemanfaatannya tidak dikelola terlebih dahulu. 2,4,6-TRIKLOROFENOL adalah karsinogenik pada hewan, menyebabkan limfoma , leukemia , dan kanker hati melalui paparan lisan.
18. Zat organik (KmnO4) 10 mg/l

  1. Kalium permanganat merupakan senyawa kimia anorganik dengan rumus KMnO 4. It is a salt consisting of K + and MnO 4 ions. Ini adalah garam yang terdiri dari K + dan MnO 4 ion.
  2. Kalium permanganat adalah oksidator kuat dan harus ditangani dengan hati-hati saat menyiapkan. Tidak ada produk sampingan yang dihasilkan dari membuat solusi. Namun, hal zat ini berwarna gelap ungu / hitam kristalin padat dapat menyebabkan cedera mata serius dan inhalasi adalah iritasi kulit dan dapat fatal jika tertelan
  3. Kalium permanganat digunakan secara luas dalam industri pengolahan air. Historis itu digunakan untuk disinfeksi air minum.
  4. Kalium permanganat, atau KMnO4, merupakan bahan kimia anorganik yang umum digunakan untuk mengolah air minum untuk besi, mangan dan bau belerang. Hal ini dapat digunakan sebagai disinfektan yang juga, menjaga air minum bebas dari bakteri berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA

Awaluddin. 2007. Teknologi Pengolahan Air Tanah sebagai Sumber Air Minum pada Skala Rumah Tangga. http://unlastnoel.files.wordpress.com/2009/04/awaluddin-in-teknologi-air-minum-pam-ftsp-uii1.pdf. Diakses tanggal 30 April 2011
Djunaidi,Muhammad. Kajian Pencemaran Air Sungai dan Analisis Risiko Terhadap Lingkungan Di Sekitarnya Akibat Penambangan Bijih Emas http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22094555.pdf Diakses Tanggal  2 Mei 2011
Hartanto,Sulih. 2007. Studi Kasus Kualitas aan Kuantitas Kelayakan Air Sumur Artetis sebagai Air Bersih untuk Kebutuhan Sehari-hari di Daerah Kelurahan Sukorejo Kecamatan Gunungpati Semarang Tahun 2007. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASHaacf.dir/doc.pdf. Diakses tanggal 30 April 2011

Matahelumual,Bethy. 2008. Mengenal Air di Sekitar. Warta Geologi. http://www.bgl.esdm.go.id/dmdocuments/warta200803.pdf. Diakses tanggal 30 April 2011
PT.Wahana Rezki Indonesia. 2011. TONSCO Water Treatment, Chemical Cleanner for Industry, Marine and Building Maintenance. www.tonscochemicals.com/msds/TP-SP.pdf Diakses Tanggal 2 Mei 2011
Purwo Hidayat,Agus. 2006.Gambaran Histopatologi Gaster Mencit Balb/C Pada Pemberian Arsen Trioksida Dosis Bertingkat Peroral http://eprints.undip.ac.id/21479/1/Agus.pdf Diakses Tanggal 2Mei 2011
Rohim, Miftahur. 2006. Analisis Penerapan Metode Kaporitisasi Sederhana Terhadap Kualitas Bakteriologis Air PAM. Tesis. Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/15727/1/Miftahur_Rohim.pdf. Diakses tanggal 30 April 2011.

Sukar.2003 Sumber Terjadinya Arsen Di Lingkungan (Review). http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/Sukar2_2.pdf Diakses Tanggal 1 Mei 2011
Tugaswati,A.Tri. 1996. Kandungan Logam Berat (Hg,Cd, dan Pb) Dalam Air Tanah Pada Perumahan Tipe Kecil di JABOTABEK. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/244961824.pdf Diakses Tanggal 1 Mei 2011
Wulan,Anisa. 2005. Kualitas Air Bersih untuk Pemenuhan Kebutuhan Rumah tangga di Desa Pesarean kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH011c/deae6e75.dir/doc.pdf. Diakses tanggal 30 April 2011

Semut dan Rayap Serta Pengendaliannya

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semut adalah hama pemukiman yang sangat dominan di jumpai di seluruh dunia dan sangat erat hubungannya dengan keberadaan manusia. Semut merupakan serangga eusosial yang berasal dari keluarga Formisidae, dan semut termasuk dalam ordo Himenoptera bersama dengan lebah dan tawon. Semut terdapat hampir di segala penjuru daratan dunia, kecuali di perairan. Mereka mempunyai banyak jenis. Perilaku mereka terkadang sering dijadikan contoh kerukunan yang terjadi didunia serangga. Tubuhsemutterdiriatastigabagian, yaitu kepala, mesosoma (dada),danmetasoma(perut). Morfologisemutcukupjelasdibandingkandenganserangga lainyangjugamemiliki antena, kelenjarmetapleural, dan bagian perut keduayang berhubunganketangkaisemutmembentuk pinggang sempit (pedikel)diantara mesosoma(bagianronggadadadandaerahperut)danmetasoma(perutyangkurangabdominalsegmendalampetiole).Petioleyangdapatdibentukolehsatuatauduanode(hanyayangkedua,atauyangkeduadanketiga abdominalsegmeninibisaterwujud) (Putra N, 1994).
Pengganggu manusia selain semut adalah rayap. Rayap juga termasuk kelompok serangga sosial. Rayap adalah termasuk binatang Arthropoda, kelas Insekta dari ordo Isoptera.Rayap merupakan serangga kecil berwarna putih pemakan selulosa yang sangat berbahaya bagi bangunan yang dibangun dengan bahan-bahan yang mengandung selulosa seperti kayu dan produk turunan kayu (papan partikel, papan serat, plywood, blockboard dan laminated board)(Hasan, 1984).
Rayap adalah serangga-serangga sosial pemakan selulosa yang berukuran sedang, merupakan ordo isoptera, secara efektif kelompok kecil dari serangga yang terdiri kira-kira 1900 jenis di dunia. Mereka hidup dalam masyarakat dengan organisasi tinggi dan terpadu, atau koloni-koloni dengan individu yang secara morfologi dibedakan menjadi bentuk kasta, seperti kasta reproduktif, pekerja dan serdadu. Bagi masyarakat pengendali hama, pengenalan, biologi dan perilaku (etologi) rayapmerupakan pengetahuan essensial, sedangkan bagi masyarakat umum hal ini di samping bermanfaat sebagai penambah pengetahuan untuk menghindari kerugian ekonomis yang ditimbulkan oleh kerusakan terhadap bangunan habitat pemukimannya, karena dengan demikian dapat dilakukan tindakan atau perlakuan khusus untuk mengendalikan hama perusak kayu ini (Borror, 1996).
B. Tujuan
a) Mengetahui siklus hidup semut dan rayap.
b) Mengetahui kerugian yang ditimbulkan oleh semut dan rayap.
c) Mengetahui cara pengendalian semut dan rayap.
BAB II
ISI
A. Semut
1. Klasifikasi ilmiah
Klasifikasi semut menurut Latreille (1809), dalam wikipedia adalah :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Hymenoptera
Uporder : Apokrita
Superfamily : Vespoidea
Family : Formicidae
2. Jenis Semut
a. Semut api
Nama latin semut ini adalah Solenopsis spp (fire ants). Semut ini berwarna kuning pucat sampai kuning kemerahan (pekerja) dan berukuran 3,0-4,5 mm. Ciri utamanya adalah adanya petiol mempunyai dua node (tonjolan) dan antena 10 ruas dengan dua ruas terakhir membentuk club di ujungnya. Pada ujung abdomen terdapat alat penyengat yang dapat menyakiti orang yang kontak dengan semut ini, sengatannya sangat menyakitkan. Semut api melindungi dirinya dengan membuat gundukan biasanya di tempat yang terpapar sinar matahari. bentuk gundukan tidak teratur di atas tanah dengan banyak terowongan di bawahnya.
b. Semut Faraoh
Nama latin semut ini adalah Monomorium pharaonis. Semut ini berwarna kuning terang sampai coklat kemerahan, ukurannya 2,5-3 mm (pekerja). Ciri utama mempunyai dua node dan antena yang terdiri dari 12 ruas dengan tiga ruas ujung menggembung. Masa telur 7,5 hari, peroide larva 18,5 hari, periode prepupa 3 hari, periode pupa 9 hari. Periode telur sampai menjadi pekerja 38 hari. Pekerja dapat hidup 9-10 minggu, sedangkan ratu bisa hidup 39-56 minggu di laboratorium. Rata-rata selama hidupnya dapat bertelur 25-35 per hari. Semut ini dapat bersarang dimanapun,bersifat omnivor terutama yang manis dan mengandung protein.
c. Semut Bau (odorous house ant)
Nama latin semut ini adalah Tapinoma sessile (odorous house ant), berwarna hitam kecoklatan, berukuran 3,3 mm. Ciri utamanya adalah adanya petiol yang mempunyai satu node (tonjolan) dan antena 12 ruas tanpa club diujungnya. Semut ini disebut semut bau karena berbau saperti kelapa busuk ketika dihancurkan. Saat terganggu semut bau biasanya pekerja akan lari secara tidak menentu sambil mengangkat abdomennya. Semut bau bersarang di dalam dan.di luar rumah. Di luar rumah biasanya di bawah batu, tanah, jalan dan lain-lain, sedangkan di dalam rumah biasanya di dinding, lantai, dan dekat pipa air (Anonim, 2011)

3. Morfologi
Secara garis besar tubuh semut terdiri atas tiga bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Pada kepala terdapat bagian mata, mulut, dan sepasang antenna. Semut memiliki sepasang mata majemuk atau mata facet dan mata tunggal. Antenanya membentuk sudut atau menyiku. Hal ini merupakan salah satu ciri khas dari serangga ini. Fungsi dari antenna adalah sebagai organ peraba dan pencium. Semut memiliki sepasang rahang yang sangat kuat dan tajam. Bagian dada merupakan tempat terletaknya sayap dan 3 pasang kaki. Sayap tersebut hanya dimiliki oleh kasta reproduktif. Semut memiliki 2 pasang sayap, dimana sayap belakang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan sayap depan. Semut memiliki kaki yang sangat kuat dan mereka dapat berjalan dengan cepat. Tubuhnya mampu mengangkat beban hingga 20 kali berat bobot tubuhnya. Perut semut terdiri atas 2 bagian. Ciri khas dari serangga ini adalah terdapat bagian yang menyempit pada perutnya yang menghubungkan antara dada dengan perut yang disebut dengan petiole (Putra N, 1994).
Semut memiliki antena dua belas ruas dengan bagian ujung antena tidak berbentuk bonggol, seluruh tubuh berwarna hitam pekat. Seluruh permukaan tubuh, kepala dan pedicel kasar/kesat. Mandibula pendek, seperti segitiga. Abdomen bergaris memanjang dengan konstruksi antara segmen-segmen basal terlihat jelas, petiola satu ruas dengan bentuk pipih, ukuran tubuh semut pekerja 10-12mm (Borror, 1996).
4. Siklus Hidup
Semut mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari 4 fase, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa. Telur semut berbentuk oval, berwarna putih bening dan berukuran sangat kecil. Larva berwarna putih. Pada fase larva, semut tidak memiliki mata dan kaki. Larva tersebut tidak dapat bergerak. Selama fase tersebut, larva dipelihara dan diberi makan oleh semut pekerja. Sama halnya dengan larva, pada saat fase pupa pun tidak dapat bergerak. Pupa berwarna putih kekuningan. Pada fase ini bentuknya sudah tampak seperti serangga dewasa, namun tidak dapat bergerak, tidak berwarna dan masih lunak. Pada fase pupa, semut tidak melakukan aktifitas makan. Siklus hidupnya mulai dari telur hingga dewasa memakan waktu antara 6 minggu hingga 2 bulan (Fauzan, 2006).
5. Kebiasaan Semut
Menurut Ismantono (2005), Kebiasaan dan prilaku semut terdiri dari
a. Sistem kasta
Semut merupakan serangga sosial yang mengenal system kasta. Kasta pada semut terdiri atas 2 kasta yaitu kasta pekerja dan kasta reproduktif ( rat dan raja atau calon dari raja dan ratu). Semut pekerja bertugas sebagai pembuat sarang, memperbaiki sarang yang rusak, menjaga sarang dari musuh, mencari makan, memberi makan pada semut yang belum dewasa (larva) dan semut dewasa termasuk ratu. Semut pekerja merupakan betina steril yang tidak memiliki sayap.
b. Tugas setiap kasta
Tugas utama seekor ratu adalah bereproduksi. Akan tetapi, pada saat awal membentuk koloni yang baru ia harus merawat dan memberi makan (melalui kelenjar saliva) semut pekerja keturunan pertamanya. Pada kondisi normal, semut reproduktif memiliki 2 pasang sayap, namun setelah perkawinan terjadi maka sayap tersebut lepas dengan sendirinya. Seekor ratu dapat hidup hingga beberapa tahun dan jika ia mati maka akan digantikan oleh calon ratu lainnya yang masih satu koloni. Jumlah ratu dalam satu koloni bermacam-macam. Ada koloni yang hanya memiliki satu ekor ratu dan ada yang memiliki lebih dari satu ekor ratu. Hal ini tergantung dari spesies semut itu sendiri.
c. Prilaku makan
Dalam kesehariannya, semut pekerja beraktifitas untuk mencari makan. Mereka akan menyebar untuk mendapatkan sumber makanan. Semut yang telah menemukan sumber makanan akan kembali menuju sarang sambil menandai rute jalan menuju sumber makanan tersebut. Hal ini dilakukan untuk memberi tahu temannya rute jalan yang harus ditempuh. Sehingga aktifitas semut tersebut membentuk jalur yang menghubungkan antara sarang dengan sumber makanan. Makanan yang disukai oleh semut sangat beragam, hal ini tergantung pada spesies semut tersebut.
Semut di iklim kering atau semut honeypot Myrmecocystus harus menyimpan makanan untuk bertahan hidup lama dari kelangkaan, tubuh mereka membengkak karen cairan cadangan, dan dibawa ke sarang pasangan. Semut api menyukai madu, gula, protein, berbagai minyak, benih tanaman, tumbuhan dan serangga lainnya. Semut paraoh menyukai gula, protein, berbagai minyak, dan serangga. Crazy ant sangat menyukai gula, protein dan serangga. Sedangkan semut carpenter sangat suka dengan gula dan serangga.
Perilaku semut pekerja dalam pencarian makan dan pengangkutannya ke sarang berbeda-beda, tergantung spesies. Pada umumnya terdapat dua prilaku yaitu ada yang membentuk alur dalam pergerakannya dan ada pula yang tidak. Contoh semut yang pergerakannya membentuk alur adalah odorus ant, pharaoh ant, sedangkan contoh semut yang tidak membentuk alur adalah crazy ant.
6. Peranan dalam Kesehatan
Selain sebagai pengganggu di dalam dan sekitar gedung, semut juga berpotensi menularkan penyakit dan mengganggu kesehatan pada manusia dan hewan, karena sengatannya yang cukup menyakitkan dan sebagian orang yang mempunyai sifat alergi sengatan semut ini bisa menimbulkan gangguan kesehatan yang serius. Contoh semut yang sengatannya cukup menyakitkan adalah semut api Solenopsis germinata dan Solenopsis invicta (Banot, 2007).
B. Rayap
1. Klasifikasi ilmiah
Rayap yang merupakan serangga kecil ini hidup berkelompok dengan sistem kasta yang berkembang biak dengan sempurna. Serangga ini masuk dalam ordo isoptera (dari bahasa Yunani: iso = sama; ptera = sayap) (Susanta, 2007).
Menurut Nandika dkk (2003) klasifikasi rayap sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Isoptera
Famili :Mastotermitidae,Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae, Termitidae
2. Morfologi
Rayap yang ditemukan di daerah tropis jumlah telurnya dapat mencapai ± 36000 sehari bila koloninya sudah berumur ± 5 tahun. Bentuk telur rayap ada yang berupa butiran yang lepas dan ada pula yang berupa kelompok terdiri dari 16-24 butir telur yang melekat satu sama lain. Telur-telur ini berbentuk silinder dengan ukuran panjang yang bervariasi antara 1-1,5 mm (Hasan, 1986).
Nimfa muda akan mengalami pergantian kulit sebanyak 8 kali, sampai kemudian berkembang menjadi kasta pekerja, prajurit dan calon laron. Kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala bulat ukuran panjang sedikit lebih besar daripada lebarnya. Antena terdiri dari 15 segmen. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya, batas antara sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang mandibel tanpa kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm, panjang badan 5,5-6 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan (Nandika dkk, 2003).
3. Kasta Rayap
Rayap hidup berkoloni dan mempunyai sistem kasta dalam kehidupannya. Menurut (Nandika dkk, 2003), kasta dalam rayap terdiri dari 3 (tiga) kasta yaitu :
a. Kasta prajurit, mempunyai ciri-ciri kepala yang besar dan penebalan yang nyata. Kasta ini mempunyai peranan dalam koloni sebagai pelindung koloni terhadap gangguan dari luar. Kasta ini mempunyai mandible yang sangat besar yang digunakan sebagai senjata dalam mempertahankan koloni.
b. Kasta pekerja, mempunyai warna tubuh yang pucat dengan sedikit kutikula dan menyerupai nimfa. Kasta pekerja berjumlah 80-90% dari populasi dan koloni. Peranan kasta ini adalah bekerja sebagai pencari makan, mambuat sarang, memindahkan makanan saat sarang terancam serat, serta memberi makan, melindungi dan memelihara ratu.
c. Kasta reproduktif, merupakan individu individu seksual yang terdiri dari betina yang bertugas bertelur dan jantan yang bertugas membuahi betina. Ukuran tubuh ratu mencapai 5-9 cm atau lebih.
4. Struktur Sosial Rayap
Struktur sosial rayap adalah sebagai berikut :
a. Ratu, yaitu laron (rayap betina fertil). Tugasnya adalah bertelur.
b. Raja, yaitu laron (rayap jantan fertil). Tugasnya adalah melestarikan keturunan.
c. Pekerja, yaitu rayap yang bertugas untuk bekerja guna kepentingan seluruh masyarakat koloni. Memberi makan raja dan ratu, serta menjaga sarang dari kerusakan. Kasta pekerja merupakan koloni terbesar dan merupakan penyebab utama kerusakan. Tubuh rayap yang merupakan kasta pekerja berwarna krem transaparan, lunak dan bekerja di luar sarang. Kasta pekerja mencari makanan berupa serat dan selulosa. Tugas kasta pekerja adalah membangun terowongan, memperbaiki sarang.
d. Serdadu/prajurit, yaitu rayap yang bertugas melindungi masyarakat dan sarang koloni. Pada tiap lubang pintu sarang maupun terowongan, tempat kasta pekerja menjalankan kewajibannya, dijaga ketat oleh kasta serdadu. Tiap serangga asing yang berusaha memasuki tempat-tempat itu segera akan diserang (Hasan, 1984).
5. Jenis-jenis Rayap
Menurut Waryono (2004), berdasarkan lokasi sarang utama atau tempat tinggalnya, rayap perusak kayu dapat digolongkan dalam tipe-tipe berikut :
a. Rayap pohon, yaitu jenis rayap yang menyerang pohon yang masih hidup, bersarang dalam pohon, dan tidak berhubungan dengan tanah. Contoh rayap ini adalah Neotermes tectonae (famili Kalotermitidae) dan hama pohon jati (Tectona grandis).
b. Rayap kayu lembab, yaitu jenis rayap yang menyerang kayu mati dan lembab, bersarang dalam kayu, dan tidak berhubungan dengan tanah. Contoh rayap ini adalah rayap dari genus Glyptotermes (Glyptotermes spp., famili Kalotermitidae).
c. Rayap kayu kering, yaitu jenis rayap yang hidup di dalam kayu mati yang telah kering. Rayap ini umumnya terdapat di rumah-rumah dan perabot-perabot seperti meja, kursi, lemari dan barang lainnya yang terbuat dari kayu. Tanda serangannya adalah terdapatnya butir-butir ekskremen kecil berwarna kecoklatan yang sering berjatuhan di lantai atau di sekitar kayu yang diserang. Rayap ini juga tidak berhubungan dengan tanah, karena habitatnya kering. Contoh rayap ini adalah Cryptotermes spp (famili Kalotermitidae).
d. Rayap subteran, yaitu jenis rayap yang umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung banyak bahan kayu yang telah mati atau membusuk, seperti tunggak pohon baik yang telah mati maupun masih hidup. Perilaku rayap ini mirip rayap tanah, namun perbedaannya bersarang di dalam kayu yang diserangnya, walaupun tidak ada hubungan dengan tanah, tapi sarang tersebut lembap, misalnya tetesan air hujan dari atap bangunan yang bocor. Di Indonesia rayap subteran yang paling banyak merusak adalah jenis-jenis dari famili Rhinotermitidae. Terutama dari genus Coptotermes (Coptotermes spp.) dan Schedorhinotermes.
e. Rayap tanah. Mereka bersarang dalam tanah terutama dekat pada bahan organik yang mengandung selulosa seperti kayu, serasah dan humus. Jenis rayap ini sangat ganas, dapat menyerang obyek-obyek berjarak sampai 200 meter dari sarangnya. Untuk mencapai kayu sasarannya rayap ini bahkan dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa cm, dengan bantuan enzim yang dikeluarkan. Jenis rayap tanah di Indonesia adalah dari famili Termitidae. Contoh Termitidae yang paling umum menyerang bangunan adalah Macrotermes spp. (terutama M. gilvus) Odontotermes spp. dan Microtermes spp.
6. Siklus Hidup Rayap
Telur yang menetas yang menjadi nimfa akan mengalami 5-8 instar. Jumlah telur rayap bervariasi, tergantung kepada jenis dan umur. Saat pertama bertelur betina mengeluarkan 4-15 butir telur. Telur rayap berbentuk silindris, dengan bagian ujung yang membulat yang berwarna putih. Panjang telur bervariasi antara 1-1,5 mm. TelurC.curvignathus akan menetas setelah berumur 8-11 hari. Dalam perkembangan hidupnya berada dalam lingkugan yang sebagian besar diaturdalam koloni dan terisolir dari pengaruh nimfa sesuai dengan kebutuhan koloni. Nimfa-nimfa yang sedang tumbuh dapat diatur menjadi anggota kasta, yang diperlakukan bahwa nasib rayap dewasa an siap terbang dapat diatur (Borror, 1996).
Kasta pekerja jumlahnya jauh lebih besar dari seluruh kasta yang terdapat dalam koloni rayap. Nimfa yang menetas dari telur pertama dari seluruh koloni yang baru akan berkembang menjadi kasta pekerja. Waktu keseluruhan yang dibutuhkan dari keadaan telur sampai dapat bekerja secara efektif sebagai kasta pekerja pada umumnya adalah 6-7 bulan. Umur kasta pekerja dapat mencapai 19-24 bulan. Kasta pekerja berikutnya berbentuk dari nimfa-nimfa yang cukup besar dan mempunyai warna yang lebih gelap dibandingkan denan anggota perbentukan pertama. Kepala dilapisin dengan polisacharida yang disebut chitin dan menebal pada bagian rahangnya. Pada segmen terakhir dari pangkal sterink terdapat alat kelamin yang tidak berkembang dengan sempurna sehingga membuat kasta pekerja ini menjadi mandul (Hasan, 1986).
Nimfa muda akan mengalami pergantian kulit sebanyak 8 kali, sampai kemudian berkembang menjadi kasta pekerja, prajurit dan calon laron (Nandika, 2003).
7. Kebiasaan Rayap
Rayap membersihkan satu sama lain dengan bagian-bagian mulut mereka, sebagai satu akibat dari daya tarik sekresi yang biasanya dapat diperoleh pada tubuhnya. Makanan rayap terdiri dari kupasan kulit dan tinja individu-individu lain, individu-individu yang mati, bahan-bahan tumbuhan seperti kayu dan produk-produk kayu. Beberapa rayap hidup didalam habitat-habitat di bawah tanah yang lembab dan lain-lainnya hidup di habitat-habitat yang kering diatas tanah. Bentuk-bentuk dibawah tanah secara normal hidup di kayu bagian bawah atau kontak dengan tanah. Rayap dapat masuk ke dalam kayu yang jauh dari tanah, tetapi harus mengusahakan jalan lintas atau lorong-lorong penghubung kedalam tanah, dari tempat itu mereka memperoleh kelembaban.
Beberapa jenis rayap membuat tabung-tabung antara tanah dan kayu. Tabung-tabung ini dibuat dari tanah yang dicampur dengan sekresi dari satu lubang diatas bagian depan kepala (ubun-ubun:fontanel). Sarang-sarang berada di dalam tanah seluruhnya atau dapat pula menonjol ke permukaan. Rayap kayu kering yang hidup diatas tanah (tanpa kontak dengan tanah) hidup di patok-patok, potongan-potongan batang pohon, dan bangunan yang terbuat dari kayu. Sumber utama kelembaban adalah air metabolik (air berasal dari oksidasi makanan). Selulosa dalam makanan rayap dicerna oleh berbagai macam protista flagelata yang tidak terbilang jumlahnya dan hidup dalam saluran pencernaan rayap. Seekor rayap yang flagellata-flagellatanya diambil akan meneruskan makanan, tetapi rayap kemudian akan mati kelaparan karena makanan tidak dapat dicerna. Hubungan ini adalah satu contoh yang sangat bagus dari simbiosis mutualisme. Beberapa rayap mengandung bakteri dari flagelata. Rayap-rayap melakukan bentuk yang tak ada duanya dalam pertukaran cairan dubur, dengan cara inilah mikroorganisme usus ditularkan dari satu individu ke individu lainnya (Borror, 1996).
8. Peranan dalam Kesehatan
Diseluruh dunia jenis rayap yang telah dikenal ada sekitar 2000 spesies (sekitar 120 spesies merupakan ham) sedangkan lebih kurang dari 20 spesies yang diketahui berperan sebagai hama perusak kayu dan sebagai vektor penyakit pada manusia. Namun, tidak semua serangga bersifat sebagai hama dan perusak bengunan. Kebanyakan serangga seperti jenis rayap juga sangat diperlukan dan berguna bagi manusia. Rayap biasa berperan dalam menjaga daur hidup rantai dan jaring-jaring makanan di suatu ekosistem. Sebagai contoh apabila benthos (larva serangga yang hidup di perairan) jumlahnya sedikit, secara langsung akan mempengaruhi kehidupan ikan dan komunitas hidup organisme lainnya di suatu ekosistem sungai atau danau. Di bidang pertanian, apabila serangga penyerbuk tidak ditemukan maka keberhasilan proses penyerbukan akan terhambat (Tobing, 2007).
Selama ini bahaya serangan rayap selalu dihubungkan dengan kayu atau bahan sejenisnya yang mengandung selulosa dan tidak diawaetkan maupun yang bermutu rendah, sehingga bila diyakini konstruksi bangunan gedung telah terbuat dari bahan non kayu, diantaranya beton, baja, dan tembok maka dianggap terbebas dari peran rayap sebagai binatang pengganggu (Prayogo, 2007).
C. Perbedaan Semut dan Rayap
Perbedaan antara semut dan rayap secara umum menurut (Tarumingkeng, 2001)antara lain :
D. Kerugian Akibat Semut dan rayap
a. Kerugian Semut
Adanya infestasi semut menimbulkan beberapa kerugian, diantaranya :
a. Menimbulkan gangguan di area rumah, terutama dapur.
b. Kontaminasi terhadap makanan.
c. Menyebabkan kerusakan pada kemasan.
d. Menyebabkan alergi pada manusia yang diakibatkan oleh sengatannya.
b. Kerugian Rayap
Sejak lama rayap diidentikkan dengan kerusakan-kerusakan rumah, bangunan-bangunan lain, kayu-kayu papan, kertas, buku-buku, dan sebagainya, dan tahun-tahun belakangan ini mendapat perhatian sebagai penyebab kerusakan-kerusakan berbagai hasil pertanian. Hasil pertanian yang dapat dirusak oleh rayap diantaranya adalah pohon buah-buahan, kelapa, karet, cengkeh, sayuran seperti kobis, kacang, dan berbagai tanaman hias, antara lain mawar. Penyerangan dilakukan dalam semua tingkat pertumbuhan, dari masa pembibitan sampai masa dewasa (Hasan, 1984).
E. Pencegahan dan Pengendalian Semut dan Rayap
a. Pencegahan dan Pengendalian Semut
Pengendalian semut antara lain :
a) Pemasangan perangkap semut.
b) Pemberian bahan umpan feromon semut.
c) Spraying dengan bahan attractant.
Selain itu pengendalian semut dapat dilakukan dengan cara inspeksi semut. inspeksi merupakan hal yang sangat penting dalam keberhasilan suatu pengendalian. Berikut ini hal-hal atau tempat-tempat yang harus dperhatikan dalam menginspeksi semut antara lain infestasi semut hidup, adanya bangkai semut, adanya swarmer, celah atau retakan pada bangunan, contoh celah/ retakan pada dinding, celah pada saklar listrik, celah dari mesin AC, kayu-kayu yang telah rapuh pada struktur bangunan atau furniture, sumber makanan, seperti ceceran makanan yang ada di dapur, tempat sampah, tempat penyimpanan makanan, sarang atau tempat ini dapat diketahui dengan mengikuti alur aktifitas semut. Biasanya sarang tersebut berada pada tanah (taman), tumpukan kayu bekas, kayu rapuh pada struktur bangunan (Fauzan, 2006).
b. Pencegahan dan Pengendalian Rayap
Pengendalian rayap hingga saat ini masih mengandalkan penggunaan insektisida kimia (termisida), yang dapat diaplikasikan dalam beberapa cara yaitu melalui penyemprotan, atau pencampuran termisida dalam bentuk serbuk atau granula dengan tanah. Teknik penyuntikan pada bagian pohon atau sistem perakaran tanaman yang terserang atau dengan cara penyiraman disekitar tanaman (Nandika dalam Wulandari, 2009).
Racun akut yang kebanyakan dari kelompok fosfat-organik atau organofosfat dan karbamat kurang dapat mengendalikan populasi rayap karena sifatnya yang tidak tahan lama (non persistent) di lingkungan, walaupun kekuatannya luar biasa. Salah satu contoh fosfat organic yang sering digunakan untuk soil treatment terhadap rayap penyerang bangunan adalah chlorpytifos (Tarumingkeng dalam Wulandari 2009).
Nematoda Steinernema carpocapsae memiliki efektifitas cukup mengendalikan rayap. Umumnya nematoda Steinernema carpocapsae banyak ditemukan didalam tanah, sehingga diharapkan rayap C. curvignathus yang selalu berhubungan dengan tanah akan dapat dimanfaatkan sebagai agen hayati. Pemberian nematoda dengan jumlah terkecil menimbulkan 38,16% dan dengan jumlah tertinggi menimbulkan mortalitas 60,80%. Pengendalian hama terpadu (PHT) termasuk pengendalian rayap pada kelapa sawit berpedoman pada Undang- undang No.12 tahun 1992 tentang system Budidaya Tanaman, dan dalam sistem tersebut pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami hama seperti parasitoid, predator dan pathogen menjadi komponen utama, sedangkan secara kimiawi merupakan alternative terakhir (Purba dkk dalam Wulandari 2002).
Pengumpanan adalah salah satu teknik pengendalian yang ramah lingkungan. Dilakukan dengan menginduksi racun slow action kedalam kayu umpan, dengan air trofalaksinya kayu tersebut dimakan rayap pekerja dan di sebarkan kedalam koloninya. Teknik pengumpanan selain untuk mengendalikan juga dapat digunakan untuk mempelajari keragaman rayap tanah (Tarumingkeng dalam Wulandari 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Semut. http://www.wikipedia.org. Diakses pada tanggal 20 Mei 2011.
Banot, R. 2007. Ant Biology and Life Cycle. http://www.knoledge_gallery/article-112/ant-biology-and-life-cycle.htm. Diakses tanggal 23 Mei 2011.
Borror, D. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Yogyakarta, UGM Press.

Fauzan, U. (2006). Siklus Hidup Semut Dan Cara Pembrantasannya (Online). http://positivethink.in/positive-story/96-belajar-dari-filosofi-semut.html. Diakses 23 Mei 2011.

Hasan, T. 1984. Rayap dan Pemberantasannya. Yayasan Pembinaan Watak dan Bangsa, Jakarta.

________. 1986. Rayap dan Pemberantasannya (Penanggulangan dan pencegahan). Yasaguna, Jakarta.

Ismantono, R. (2005). Fisiologi Dan Kebiasaan Semut (Online). http://burungkicauan.net/news-siklus-hidup-semut. Diakses tanggal 23 Mei 2011.

Nandika, et al. 2003. Rayap : Biologi dan Pengendaliannya. Harun JP Ed. Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Prayogo, I. 2007. Beberapa Pengalaman Menghadapi Serangan Rayap dan paya Pencegahannya (Online). http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 21340/4/ Chapter%20II.pdf. Diakses tanggal 23 Mei 2011.

Putra, N. 1994. Serangga disekitar Kita. Kanisius, Yogyakarta.

Susanta, 2007. Cara Praktis Mencegah dan Membasmi Rayap. Jakarta : Penebar Swadaya.

Tarumingkeng, CR. 2001. Biologi dan Perilaku Rayap (Online). http://www.rudyct.com/biologi_dan_perilaku_rayap.htm. PSIH IPB, Bogor. Diakses tanggal 20 Mei 2011.

Tobing, D. 2007. Penggunaan berbagai Konsentrasi hitosan dan Fipronil terhadap Pengendalian Hama Rayap (Online). http://repository.usu.ac.id/ bitstream/1234 56789/7702/1/09E01568.pdf. Diakses tanggal 23 Mei 2011.

Waryono, T. 2004. Ekosistem Rayap dan Vektor Demam Berdarah di Lingkungan Permukiman. Dipaparkan pada Seminar sehari Penanggulangan Rayap dan Vektor Demam Berdarah Pada Bangunan dan Perumahan, Klub Pesona Khayangan Estat, Depok 2 September 2004. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008.
Wulandari, G. 2009. Bentar Uji Toksisitas Kitosan untuk Mengendalikan rayap (Online).http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7702/1/09E01568.pdf. Diakses tanggal 23 Mei 2011.

TOKSISITAS DAN FORMULASI PESTISIDA

BAB I
PENDAHULUAN

Pestisida ini telah digunakan dalam berbagai bidang kehidupan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu di bidang-bidang pertanian, kehutanan, perikanan, perindustrian, rumah tangga, gedung-gedung, transportasi, pariwisata, dokumentasi, kesehatan masyarakat dan lain-lain (Munaf, 1997). Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak terkendali seringkali memberikan risiko keracunan pestisida bagi penggunanya. Risiko keracunan pestisida ini terjadi karena penggunaan pestisida pada lahan pertanian. Penggunaan pestisida dengan dosis besar dan dilakukan secara terus-menerus akan menimbulkan beberapa kerugian, antara lain residu pestisida akan terakumulasi pada produk-produk pertanian, pencemaran pada lingkungan pertanian, penurunan produktivitas, keracunan pada hewan, keracunan pada manusia yang berdampak buruk terhadap kesehatan. Manusia akan mengalami keracunan baik akut maupun kronis yang berdampak pada kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 1-5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian dengan tingkat kematian mencapai 220.000 korban jiwa. Sekitar 80% keracunan dilaporkan terjadi di negara-negara sedang berkembang (Runia, 2008). Berbagai masalah yang timbul seperti keracunan dan pencemaran yang semkain meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan pestisida. Pemerintah telah berusaha mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mungkin timbul, yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida. Terdapat 500 formulasi pestisida yang telah didaftarkan dan mendapat izin dari Menteri Pertanian, 13 diantaranya tergolong dalam pestisida terbatas (relatif sangat berbahaya). Import pestisida mencapai 3.000 ton/tahun, sedangkan kapasitas produksi 16 formulator pestisida yang ada di Indonesia adalah 27.000 ton/tahun. Penggunaan pestisida terbesar adalah di sector pertanian, yakni 55% dari penyedian pestisida (Munaf, 1997).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Formulasi Pestisida
Menurut Butarbutar (2009), pestisida dalam bentuk teknis (technical grade) sebelum digunakan perlu diformulasikan dahulu. Formulasi pestisida merupakan pengolahan (processing) yang ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat yang berhubungan dengan keamanan, penyimpanan, penanganan (handling), penggunaan, dan keefektifan pestisida. Pestisida yang dijual telah diformulasikan sehingga untuk penggunaannya pemakai tinggal mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam manual. Menurut Munaf (1997), yang dimaksud dengan formulasi (formulated product), ialah komposisi dan bentuk pestisida yang dipasarkan. Pestisida yang terdapat dipasaran umumnya tidaklah merupakan bahan aktif 100%, karena selain zat pengisi atau bahan tambahan yang tidak aktif 100%, karena selain zat pengisi atau bahan tambahn yang tidak aktif (inert ingridient) juga da yang berisi campuran dari 2 atau lebih pestisida.
Menurut Djojosumarto dalam Runia (2008), produk jadi yang merupakan campuran fisik antara bahan aktif dan bahan tambahan yang tidak aktif dinamakan formulasi. Formulasi sangat menentukan bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi tertentu harus digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa frekuensi dan interval penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida dengan formulasi tersebut dapat digunakan secara efektif. Selain itu, formulasi pestisida juga menentukan aspek keamanan penggunaan pestisida dibuat dan diedarkan dalam banyak macam formulasi, sebagai berikut:
1. Formulasi Padat
a. Wettable Powder (WP), merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran partikel beberapa mikron) dengan kadar bahan aktif relatif tinggi (50-80%), yang jika dicampur dengan air akan membentuk suspensi. Pengaplikasian WP dengan cara disemprotkan. Contohnya: Basimen 235.

b. Soluble Powder (SP), merupakan formulasi berbentuk tepung yang jika dicampur air akan membentuk larutan homogen. Digunakan dengan cara disemprotkan. Contohnya Dowpon M.

c. Butiran atau Granule (G), umumnya merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi bahan aktif rendah (sekitar 2%). Ukuran butiran bervariasi antara 0,7-1 mm. Pestisida dicampur degan bahan pembawa, seperti tanah liat, pasir, tongkol jagung yang ditumbuk. Pestisida butiran umumnya digunakan dengan cara ditaburkan di lapangan (baik secara manual maupun dengan mesin penabur). Contoh: Lannate 2 D.

d. Water Dispersible Granule (WG atau WDG), berbentuk butiran tetapi penggunaannya sangat berbeda. Formulasi WDG harus diencerkan terlebih dahulu dengan air dan digunakan dengan cara disemprotkan.

e. Soluble Granule (SG), mirip dengan WDG yang juga harus diencerkan dalam air dan digunakan dengan cara disemprotkan. Bedanya, jika dicampur dengan air, SG akan membentuk larutan sempurna.

f. Tepung Hembus, merupakan sediaan siap pakai (tidak perlu dicampur dengan air) berbentuk tepung (ukuran partikel 10-30 mikron) dengan konsentrasi bahan aktif rendah (2%) digunakan dengan cara dihembuskan (dusting).
g. Pekatan debu atau Dust concentrate. Kadarnya biasnya antara 25-75%.

h. Umpan atau Bait (B). Bahan aktif pestisida dicampurkan dengan bahan pembawa. Biasa terdapat dalam bentuk bubuk, pasta, dan butiran. Penggunaannya dicampurkan dengan bahan makanan yang disukai hewan sasaran. Contoh: Zink Fosfit (umpan bubuk), Klerat RM.

i. Tablet, terdapat dalam 2 bentuk:
1) Tablet yang bila terkena udara akan menguap menjadi fumigant, yang umumnya digunakan untuk gudang-gundang atau perpustakaan. Contoh: Phostoxin tablet.
2) Tablet yang pada pengunaannya memerlukan pemanasan. Uap dari hasil pemanasan dapat membunuh atau mengusir hama (nyamuk). Contoh: Fumakkila.
j. Padat lingkar. Biasa digunakan dengan membakar. Contoh: obat nyamuk bakar Moon Deer 0,2 MC.
2. Formulasi Cair
a. Emulsifiable Concentrate atau Emulsible Concentrate (EC), merupakan sediaan berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan bahan aktif yang cukup tinggi. Oleh karena menggunakan solvent berbasis minyak, konsentrat ini jika dicampur dengan air akan membentuk emulsi (butiran benda cair yang melayang dalam media cair lainnya). Bersama formulasi WP, formulasi EC merupakan formulasi klasik yang paling banyak digunakan saat ini. Menurut Butarbutar (2009), EC (emulsible atau emulsifiable concentrates) adalah larutan pekat pestisida yang diberi emulsifier (bahan pengemulsi) untuk memudahkan penyampurannya yaitu agar terjadi suspensi dari butiran-butiran kecil minyak dalam air. Suspensi minyak dalam air ini merupakan emulsi. Bahan pengemulsi adalah sejenis detergen (sabun) yang menyebabkan penyebaran butir-butir kecil minyak secara menyeluruh dalam air pengencer. Secara tradisional insektisida digunakan dengan cara penyemprotan bahan racun yang diencerkan dalam air, minyak, suspensi air, dusting, dan butiran. Penyemprotan merupakan cara yang paling umum, mencakup 75% dari seluruh pemakaian insektisida, yang sebagian besar berasal dari formulasi Emulsible Concentrates. Bila partikel air diencerkan dalam minyak (kebalikan dari emulsi) maka hal ini disebut emulsi invert. EC yang telah diencerkan dan diaduk hendaknya tidak mengandung gumpalan atau endapan setelah 24 jam. Contoh: grothion 50 EC, Basudin 60 EC
b. Water Soluble Concentrate (WCS), merupakan formulasi yang mirip dengan EC, tetapi karena menggunakan sistem solvent berbasis air maka konsentrat ini jika dicampur air tidak membentuk emulsi, melainkan akan membentuk larutan homogen. Umumnya formulasi ini digunakan dengan cara disemprotkan. Contoh: Azidrin 15 WSC.

c. Aquaeous Solution (AS), merupakan pekatan yang bisa dilarutkan dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk AS umumnya yang dimorfulasikan dalam bentuk garam herbisida asam yang memiliki kelarutan tinggi dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk ini digunakan dengan cara disemprotkan. Contoh: 2-metil-4-klorofenoksiasetat (MCPA) dan 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D).

d. Soluble Liquid (SL), merupakan pekatan cair. Jika dicampur air, pekatan cair ini akan membentuk larutan. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprotkan.
e. Ultra Low Volume (ULV), merupakan sediaan khusus untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah, yaitu volume semprot antara 1-5 liter/hektar. Formulasi ULV umumnya berbasis minyak karena untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah digunakan butiran semprot yang sangat halus.

f. Pekatan dalam minyak (Oil concrentrat) adalah formulais cair yang berisi bahan aktif dalam kosentrasi tinggi yang dilarutkan dalam pelarut hidrokarbon aromatik seperti xilin atau nafta. Penggunaannya biasa diencerkan dengan pelarut hidrokarbon yang lebih murah (missal solar), baru disemprotakan atau dikabutkan (fogging). Contoh: Sevin 4 Oil.

g. Formulasi aerosol. Dalam hal ini pestisida dilarutkan dalam elarut organik, dalam kosentrasi rendah dimasukkan dalam kaleng berisi gas yang bertekanan, dikemas dalam bentuk aerosol siap pakai. Contoh: Flygon aerosol.
h. Bentuk cair yang mudah menguap (liquefied gases). Pestisida ini terdapat dalam bentuk gas yang dimanpatkan pada tekanan tertentu dalam suatu kemasan. Penggunaannya ialah dengan cara fumigasi ke dalam ruangan atau tumpukan bahan makanan atau penyuntikan ke dalam tanah. Contoh: Methyl bromide.
3. Kode Formulasi pada Nama Dagang
Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif pestisida dicantumkan di belakang nama dagangnya. Adapun prinsip pemberian nama dagang sebagai berikut:
a. Jika diformulasi dalam bentuk padat, angka di belakang nama dagang menunjukkan kandungan bahan aktif dalam persen. Sebagai contoh herbisida Karmex 80 WP mengandung 80% bahan aktif. Insektisida Furadan 3 G berarti mengandung bahan aktif 3%.
b. Jika diformulasi dalam bentuk cair, angka di belakang nama dagang menunjukkan jumlah gram atau mililiter (ml) bahan aktif untuk setiap liter produk. Sebagai contoh, fungisida Score 250 EC mengandung 250 ml bahan aktif dalam setiap liter produk Score 250 EC.
c. Jika produk tersebut mengandung lebih dari satu macam bahan aktif maka kandungan bahan-bahan aktifnya dicantumkan semua dan dipisahkan dengan garis miring. Sebagai contoh, fungisida Ridomil Gold MZ 4/64 WP mengandung bahan-bahan aktif metalaksil-M 4% dan mankozeb 64% dan diformulasi dalam bentuk WP.

B. Toksisitas Pestisida
1. Bahaya Pestisida
Walaupun pestisida ini mempunyai manfaat yang cukup besar pada masyarakat, namun dapat pula memberikan dampak negative pada manusia dan lingkungan. Pada manusia pestisida dapat menimbulkan keracunan yang dapat mengancam jiwa manusia atau menimbulkan penyakit atau cacat. Dapat dikatakan bahwa tidak satu pun zat kimia yang tanpa resiko, namun dapat digunakan dengan aman dan efektif bila cara memegang, menggunakan, menyimpan, transportasi sesuai dengan petunjuk atau aturan yang tertera pada label dalam wadah atau pembungkus dari pabrik yang memproduksinya.

Gambar 2.12. Mekanisme Keracunan Pestisida
2. Toksisitas Akut Pestisida
Besarnya daya racun suatu pestisida dinilai dari toksiksitasnya. Toksiksitas akut pestisida dapat dinyatakan dengan 2 simbol, yaitu: LD 50 (Lethal Dose 50) atau LC 50 (Lethal Concentration 50) ialah kadar atau kosentrasi pestisida yang diperkirakan dapat membunuh 50 persen binatang percobaan. Satuannya ialah mg bahan aktif suatu pestisida per kg berat badan binatang percobaan (mg/kg). Penentuaan toksiksitas akut pestisida dapat digunakan bintang percobaan: tikus putih, anjing, burung atau ikan. Dikatakan bahwa tikus secara biologis mempunyai sifat sama seperti manusia, sehingga dapat diasumsikan bahwa sensitivitas pada tikus relatif sama dengan manusia.
Toksiksitas pestisida sangat tergantung pada cara masuknya pestisida ke dalam tubuh. Pada penentuan toksiksitas pestisida per oral, pestisida diberikan melalui makanan dan diperoleh LD 50 oral, dan yang melalui kulit diperoleh LD 50 dermal, dan bila pemaparan melalui air atau udara (terhisap) ditentukan LC 50 selama 24 jam, 48 jam, 96 jam, dan seterusnya (lama waktu pemaparan). LC umumnya dinyatakan dalam ppm (part per million) atau ppb (part per bilion).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan toksiksitas suatu pestisida ialah:
a. Route pemakaian atau pemaparan per oral, dermal, inhalasi.
b. Untuk LC 50 perlu dinyatakan berapa lama waktu pemaparan, biasanya dipakai waktu 24 jam, 48 jam, atau 96 jam.
c. Pestisida umunya dinyatakan dalam bentuk bahan aktif tunggal, dan jarang sekali sebagai bahan formula.
d. Toksiksitas yang ditetapkan bersifat akut, bukan toksiksitas kronis.
e. Semakin kecil angka toksiksitas suatu pestisida semakin toksik (semkain kuat efek toksiknya).
f. Nilai LD 50 atau LC 50 akan berubah bila bercampur dengan bahan kimia yang tidak toksik, tetapi bersifat sinergis atau antagonis terhadap bahan aktif.
g. Pencampuran dengan bahan sinergis mengakibatkan pestisida tersebut semakin toksik (LD 50 semkin kecil), dan sebaliknya dengan bahan antagonis akan menurunkan toksiksitasnya.
3. Toksikologi Pestisida
a. Organofosfat
Contoh produk antara lain: diazinon, fention, dikholorfost, dimetoat, malation, TH. Biasanya digunakan sebagai insektisida untuk pembasmi hama tanaman. OP merupakan antikholinesterase menetap yang bekerja memfosforilasi enzim kolinesterase secara menetap, sehingga enzim ini tidak dapat aktif lagi. Enzim ini berfungsi menghidrolisis neurotrasmiter asetilkolin (ACh) menjadi kolin (tidak aktif) dan asam asetat. Pada keracunan, karena hamper semua enzim tersebut tidak aktif, terjadi penumpukan Ach dalam sinaps koliergik yang menimbulkan gejala perangsangan terus-menerus saraf muskarinik dan nikotinik. Semua jenis OP diabsorbsi dengan baik melalui oral, inhalasi, maupun kulit yang sehat. Gejala keracunan OP muncul dengan cepat (beberapa menit sampai beberapa jam) dan rangkaian gejala sangan progresif. Gejala permulaan berupa enek, muntah, rasa lemah, sakit kepala, dan gangguan penglihatan. Gejala SSP berupa ataksia, hilangnya refleks, bingung, sukar bicara, kejang disusul paralisis otot pernapasan sehingga dapat menimbulkan kematian.
b. Karbamat
Contoh dari karbamat yaitu: carbaryl, carbofuran, cartab. Karabamat digunakan sebagai insektisida. Seperti halnya dengan OP karbamat juga merupakan antikolinesterase, tetapi inaktivasi enzim kolinesterase oleh karbamat hanya bersifat sementara karena reaksinya reversible. Sebagian insektisida karbamat diserap dengan baik melalui oral, inhalsi, dan kulit yang sehat. Diantaranya juga banyak yang tidak diserap melaui kulit, tetapi peringatan yang sama tetap berlaku karena ada diantaranya yang toksiknya sama dengan insektisida OP yang paling toksik. Gejala keracunan sama dengan insektisida OP, tetapi gejala ini tidak berlangsung lama. Meskipun gejala keracunannya cepat menghilang, tetapi karena munculnya cepat dan menhebat dengan cepat, kematian tetap dapat terjadi, terutama karena depresi pernapasan yang tidak cepat mendapat pertolongan.
c. Organoklorin
Contoh dari organoklorin yaitu aldrin, chlordane, DDT. Semua OC diserap dengan baik melalui oral, inhalasi, dan kulit yang sehat. Pada para pekerja yang terpapar OC, keracunan yang terjadi biasanya akibat absorbs melalui kulit dan terakumulasi dalam tubuh. Gejala keracunan akut muncul 20 menit sampai 12 jam, dengan gejala sentral berupa kejang epileptiform yang kadang didahului malaise, sakit kepala, enek, muntah, termor, fasikulasi otot lengan dan tungkai, serta menurunya kesadaran. Gejala keracunan kronis biasanya terjadi pada para pekerja yang terpapar OC, berupa gejela-gejala aspesifik seperti sakit kepala, pusing, mengantuk, susah tidur, tidak dapat memusatkan pikiran dan kelemahan.
d. Rodentisida Antikoagulan (AC)
Produk komersial yang termasuk rodentisida AC diantaranya brodifakum, kumatetraril, difasinon. Penggunaan rodentisida antikoagulan sebagai rodentisida untuk membasmi tikus. Antikoagulam merupakan penghambat kompetitif vitamin K dalam sintesis faktor-faktor pembekuan darah (faktor II protrombin, faktor VII, XI dan X di dalam hati), sehingga terjadi penururnan kadar faktor-faktor tersebut dalam darah dan terjadi gangguan mekanisme koagulasi darah. Setelah beberapa waktu akan terjadi pengososngan faktor-faktor tersebut dalam sirkulasi darah yang berakibatterjadinya perdarahan. Dalam toksik AC menimbulkan perdarahan di dalam tubuh, dan inilah yang mendasari kerjanya sebagai rodentisida dan toksisitasnya pada manusia. Kerja ini dapat diantagonisir oleh vitamin K1. AC hanya menimbulkan keracunan bila tertelan, karena rodentisida hanya dapat diserap malalui saluran cerna. Gejala keracunan rodentisida segera setelah makan terjadi rasa tidak enak dan muntah, akan tetapi pada beberapa kasus gejala tidak terlihat dalam beberapa hari sebelum gejala keracunan sebenarnya terlihat. Gejala dan tanda yang khas terjadi akibat meningkatnya kecenderungan perdarahan yang dapatberupa perdarahan pada hidung, saluran cerna dan gusi, perdarahan pada air kemih dan tinja.
e. Rodentisida Seng Fosfid (ZP)
Penggunaan rodentisida seng fosfid ini adalah untuk racun tikus. ZP tersedia dalam bentuk bubuk berwarna hitam seperti bubuk arang. Efek toksik seng fosfid (ZP) didasarkan atas terbentuknya fosfin (hydrogen fosfid=PH3), suatu gas yang sangat toksik. Gas ini terbentuk bila ZP bereaksi dengan asam kuat, misalnya dengan asam lambung. Oleh karena itu ZP hanya menimbulkan keracunan bila ZP tertelan atau bila terinhalasi gas fosfin yang terbentuk dari ZP yang terkena atau tercampur dengan asam kuat. Bila ZP tertelan maka akan timbul gejala enek, muntah, sesak napas, dan dapat merusak pembuluh darah. Bila gas fofin terinhalasi timbul rasa nyeri di daerah diafragma, sesak napas, rasa lemah, tremor, kejang, dan udema paru yang dapat menyebabkan kematian.
f. Senyawa Piretroid
Contoh produk komersial piretroid antara lain Cypermethrin, Deltamethrin, dan Fenvalerate. Penggunaan senyawa piretroid adalah untuk insektisida. Tanda dan gejala keracunan akibat senyawa piretroid diantaranya iritasi mukosa saliva, rasa nyeri local pada muka, dan efek ini bersifat reversibel dan tidak memerlukan pengobatan khusus.
g. Senyawa Dinitrofenolik
Contoh produk dari senyawa ini antara lain DNOC (Dinitro-cresol), Binapacryl, dan Dinoseb. Cara kerja dinitrofenol ini akan mengganggu proses fosforilasi oksidatif dan keracunan terjadinya karena kecepatan metabolisme meningkat secara mendadak. Gejala keracunan dapat berupa tremor, pernapasan cepat, berkeringat, insomnia, gelisah, haus, suhu tubuh meningkat, takikardi dan kelemahan. Kulit yang menadi kuning dan adanya warna kuning pada sclera menunjukkan adanya pemaparan dengan dinitrofenol.

C. Penangana Pestisida
Usaha atau tindakan pencegahan yang perlu dilakukan dalam pemakaian pestisida adalah (Wikipedia, 2011):
1. Mengetahui dan memahami dengan yakin tentang kegunaan suatu pestisida. Jangan sampai salah berantas. Misalnya, herbisida jangan digunakan untuk membasmi serangga. Hasilnya, serangga yang dimaksud belum tentu mati, sedangkan tanah dan tanaman telah terlanjur tercemar.
2. Mengikuti petunjuk-petunjuk mengenai aturan pemakaian dan dosis yang dianjurkan pabrik atau petugas penyuluh.
3. Jangan terlalu tergesa-gesa menggunakan pestisida. Tanyakan terlebih dahulu pada penyuluh.
4. Jangan telat memberantas hama, bila penyuluh telah menganjurkan menggunakannya.
5. Jangan salah dalam memakai pestisida. Lihat faktor lainnya seperti jenis hama dan kadang-kadang usia tanaman juga diperhatikan.
6. Menggunakan tempat khusus untuk pelarutan pestisida dan jangan sampai tercecer.
7. Memahami dengan baik cara pemakaian pestisida.
Pengamanan pengelolaan pestisida adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mencegah dan menanggulangi keracunan dan pencemaran pestisida terhadap manusia dan lingkungannya. Perlengkapan pelindung pestisida terdiri dari (Prijanto, 2009):
1. Pelindung kepala (topi)
2. Pelindung mata (goggle)
3. Pelindung pernapasan (repirator)
4. Pelindung badan (baju overall/apron)
5. Pelindung tangan (glove)
6. Pelindung kaki (boot).
Persyaratan pembuangan dan pemusnahan limbah pestisida sebagai berikut:
1. Sampah pestisida sebelum dibuang harus dirusak/dihancurkan terlebih dahulu sehingga tidak dapat digunakan lagi.
2. Pembuangan sampah/limbah pestisida harus ditempat khusus dan bukan di tempat pembuangan sampah umum.
3. Lokasi tempat pembuangan dan pemusnahan limbah pestisida harus terletak pada jarak yang aman dari daerah pemukiman dan badan air.
4. Pembuangan dan pemusnahan limbah pestisida harus dilaksanakan melalui proses degradasi atau dekomposisi biologis termal dan atau kimiawi.
Menekan risiko dan menghidari dampak negatif penggunaan pestisida bagi pengguna, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Peraturan Perundangan
2. Pendidikan dan Latihan
3. Peringatan Bahaya
4. Penyimpanan Pestisida
5. Tempat Kerja
6. Kondisi Kesehatan Pengguna
7. Peralatan Pelindungan (Djojosumarto dalam Prijanto, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Butarbutar, J. 2009. Pestisida dan Pengendaliannya. Koperasi Serba Usaha “SUBUR” Provinsi Sumatera Utara. Medan. www.koperasisubur.com. Diakses 10 Mei 2011.

Munaf, Sjamsuir. 1997. Keracunan Akut Pestisida. Jakarta: Widya Medika.

Prijanto, Teguh Budi. 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat Pada Keluarga Petani Hortikultura Di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Tesis. Program Studi Kesehatan Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang. Dipublikasikan.

Runia, Y. A. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Tesis. Magister Kesehatan Lingkungan. Universitas Diponegoro. Dipublikasikan.

Wikipedia. 2011. Pestisida. www.wikipedia.org. Diakses 10 Mei 2011.

Pinjal dan Metode Pengendaliannya

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pinjal termasuk ordo Siphonaptera yang mulanya dikenal sebagai ordo Aphniptera. Terdapat sekitar 3000 spesies pinjal yang masuk ke dalam 200 genus. Sekarang ini baru 200 spesies pinjal yang telah diidentifikasi (Zentko, 1997).
Seringkali orang tidak dapat membedakan antara kutu dan pinjal. Pinjal juga merupakan serangga ektoparasit yang hidup pada permukaan tubuh inangnya. Inangnya terutama hewan peliharaan seperti kucing, dan anjing, juga hewan lainnya seperti tikus, unggas bahkan kelelawar dan hewan berkantung (Soviana dkk, 2003).
Secara morfologi perbedaan yang jelas anatara kutu dan pinjal yang sama-sama tidak bersayap adalah bahwa tubuh pinjal dewasa yang pipih bilateral., sedangkan kutu tubuhnya pipih dorsoventral. Dengan demikian bentuk pinjal secara utuh dapat dilihat dari pandangan samping. Bentuk tubuhnya yang unik ini ternyata amat sesuai dengan habitatnya diantara bulu atau rambut inangnya. Pengenalan pinjal secara mudah adalah apabila kita mengelus kucing, dan tiba-tiba secara sekelebat kita menemukan makhluk kecil yang melintas diantara bulu-bulu kucing dan kemudian menghilang (Soviana dkk, 2003).
Gigitan pinjal ini dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat kemudian berlanjut hingga menjadi radang kulit yang disebut flea bites dermatitis. Selain akibat gigitannya, kotoran dan saliva pinjal pun dapat berbahaya karena dapat menyebabkan radang kulit (Zentko, 1997).

.
B. Tujuan
1. Mengetahui morfologi pinjal.
2. Mengetahui peran pinjal terhadap kesehatan.
3. Mengetahui metode pengendalian pinjal.

BAB II
ISI

A. Klasifikasi Pinjal
Pinjal masuk ke dalam ordo Siphonaptera yang pada mulanya dikenal sebagai ordo Aphniptera. Ordo Siphonaptera terdiri atas tiga super famili yaitu Pulicoidea, Copysyllodea dan Ceratophylloidea. Ketiga super famili ini terbagi menjadi Sembilan famili yaitu Pulicidae, Rophalopsyllidae, Hystrichopsyllidae, Pyglopsyllidae, Stephanocircidae, Macropsyllidae, Ischnopsyllidae dan Ceratophillidae. Dari semua famili dalam ordo Siphonaptera paling penting dalam bidang kesehatan hewan adalah famili Pulicidae (Susanti,2001).

B. Morfologi Pinjal
Menurut Sen & Fetcher (1962) pinjal yang masuk ke dalam sub spesies C. felis formatipica memiliki dahi yang memanjang dan meruncing di ujung anterior. Pinjal betina tidak memiliki rambut pendek di belakang lekuk antenna. Kaki belakang dari sub spesies ini terdiri dari enam ruas dorsal dan manubriumnya tidak melebar di apical, sedangkan pinjal yang masuk ke dalam sun spesies C. felis formatipica memiliki dahi yang pendek dan melebar serta membulat di anterior. Pinjal pada sub spesies ini memiliki jajaran rambut satu sampai delapan yang pendek di belakang lekuk anten. Kaki belakang dari pinjal ini terdiri atas tujuh ruas dorsal dan manubrium melebar di apical.
Pinjal merupakan insekta yang tidak memiliki sayap dengan tubuh berbentuk pipih bilateral dengan panjang 1,5-4,0 mm, yang jantan biasanya lebih kecil dari yang betina. Kedua jenis kelamin yang dewasa menghisap darah. Pinjal mempunyai kritin yang tebal. Tiga segmen thoraks dikenal sebagai pronotum, mesonotum dan metanotum (metathoraks). Segmen yang terakhir tersebut berkembang, baik untuk menunjang kaki belakang yang mendorong pinjal tersebut saat meloncat. Di belakang pronotum pada beberapa jenis terdapat sebaris duri yang kuat berbentuk sisir, yaitu ktenedium pronotal. Sedangkan tepat diatas alat mulut pada beberapa jenis terdapat sebaris duri kuat berbentuk sisir lainnya, yaitu ktenedium genal. Duri-duri tersebut sangat berguna untuk membedakan jenis pinjal.
Pinjal betina mempunyai sebuah spermateka seperti kantung dekat ujung posterior abdomen sebagai tempat untuk menyimpan sperma, dan yang jantan mempunyai alat seperti per melengkung , yaitu aedagus atau penis berkitin di lokasi yang sama. Kedua jenis kelamin mmiliki struktur seperti jarum kasur yang terletak di sebelah dorsal , yaitu pigidium pada tergit yang kesembilan. Fungsinya tidak diketahui, tetapi barangkali sebagai alat sensorik.
Mulut pinjal bertipe penghisap dengan tiga silet penusuk (epifaring dan stilet maksila). Pinjal memiliki antenna yang pendek, terdiri atas tiga ruas yang tersembunyi ke dalam lekuk kepala (Susanti, 2001)

C. Daur Hidup Pinjal
Pinjal termasuk serangga Holometabolaus atau metamorphosis sempurna karena daur hidupnya melalui 4 stadium yaitu : telur-larva-pupa-dewasa. Pinjal betina bertelur diantara rambut inang. Jumlah telur yang dikeluarkan pinjal betina berkisar antara 3-18 butir. Pinjal betina dapat bertelur 2-6 kali sebanyak 400-500 butir selama hidupnya (Soviana dkk, 2003).

Telur berukuran panjang 0,5 mm, oval dan berwarna keputih-putihan. Perkembangan telur bervariasi tergantung suhu dan kelembaban. Telur menetas menjagi larva dalam waktu 2 hari atau lebih. Kerabang telur akan dipecahkan oleh semacam duri (spina) yang terdapat pada kepala larva instar pertama.
Larva yang muncul bentuknya memanjang, langsing seperti ulat, terdiri atas 3 ruas toraks dan 10 ruas abdomen yang masing-masing dilengkapi dengan beberapa bulu-bulu yang panjang. Ruas abdomen terakhir mempunyai dua tonjolan kait yang disebut anal struts, berfungsi untuk memegang pada substrata tau untuk lokomosi. Larva berwarna kuning krem dan sangat aktif, dan menghindari cahaya. Larva mempunyai mulut untuk menggigit dan mengunyah makanan yang bisan berupa darah kering, feses dan bahan organic lain yang jumlahnya cukup sedikit. Larva dapat ditemukan di celah dan retahkan lantai, dibawah karpet dan tempat-tempat serupa lainnya. Larva ini mengalami tiga kali pergantian kulit sebelum menjadi pupa. Periode larva berlangsung selama 7-10 hari atau lebih tergantung suhu dan kelembaban.
Larva dewasa panjangnya sekitar 6 mm. Larva ini akan menggulung hingga berukuran sekitar 4×2 mm dan berubah menjadi pupa. Stadium pupa berlangsung dalam waktu 10-17 hari pada suhu yang sesuai, tetapi bisa berbulan-bulan pada suhu yang kurang optimal, dan pada suhu yang rendah bisa menyebabkan pinjal tetap terbungkus di dalam kokon.
Stadium pupa mempunyai tahapan yang tidak aktif atau makan, dan berada dalam kokon yang tertutupi debris dan debu sekeliling. Stadium ini sensitive terhadap adanya perubahan konsentrasi CO2 di lingkungan sekitarnya juga terhadap getaran. Adanya perubahan yang signifikan terhadap kedua factor ini, menyebabkan keluarnya pinjal dewasa dari kepompong. Hudson dan Prince (1984) melaporkan pada suhu 26,6 °C, pinjal betina akan muncul dari kokon setelah 5-8 hari, sedangkan yang jantan setelah 7-10 hari.
Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit temporal, berada dalam tubuh saat membutuhkan makanan dan tidak permanen. Jangka hidup pinjal bervariasi pada spesies pinjal, tergantung dari makan atau tidaknya pinjal dan tergantung pada derajat kelembaban lingkungan sekitarnya. Pinjal tidak makan dan tidak dapat hidup lama di lingkungan kering tetapi di lingkungan lembab, bila terdapat reruntuhan yang bisa menjadi tempat persembunyian maka pinjal bisa hidup selama 1-4 bulan.
Pinjal tidak spesifik dalam memilih inangnya dan dapat makan pada inang lain. Pada saat tidak menemukan kehadiran inang yang sesungguhnya dan pinjal mau makan inang lain serta dapat bertahan hidup dalam periode lama (Soviana dkk, 2003).

D. Ekologi Pinjal
Menurut Susanti (2001), kehidupan pinjal dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :
1. Suhu dan Kelembaban
Perkembangan setiap jenis pinjal mempunyai variasi musiman yang berbeda-beda. Udara yang kering mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup pinjal. Suhu dalam sarang tikus lebuh tinggi selama musim dingin dan lebih tendah selama musim panas daripada suhu luar. Suhu didalm dan diluar sarang memperlihtkan bahwa suhu didalam sarang cncerung berbalik dengan suhu luar.
2. Cahaya
Beberapa jenis pinjal menghindri cahaya (fototaksis negatif). Pinjal jenis ini bisaanya tidak mempunyai mata. Pada sarang tikus yang kedalamannya dangkal populasi tidak akan ditemukan karena sinar matahari mampu menembus sampai dasar liang. Sedangkan pada sarang tikus yang kedalamannya lebih dalam dan mempunyai jalan yang berkelok, sinar matahari tidak dapat menembus sampai ke dasar liang. Sehingga pada sarang tikus ini banyak ditemukan pinjal.
3. Parasit
Bakteri Yersinia pestis di dalam tubuh pinjal merupakan parasit pinjal yang mempengaruhi umur pinjal. Pinjal yang mengandung bakteri pes pada suhu 10-150C hanya bertahan hidup selama 50 hari, sedangkan pada suhu 270C betahan hidup selama 23 hari. Pada kondisi normal, bakteri pes akan berkembang cepat, kemudian akan menyumbat alat mulut pinjal, sehingga pinjal tidak bisa menghisap darah dan akhirnya mati.
4. Predator
Predator pinjal alami merupakan faktor penting dalam menekan populasi pinjal di sarang tikus. Beberapa predator seperti semut dan kumbang kecil telah diketahui memakn pinjal pradewasa dan pinjal dewasa.

E. Makanan Pinjal
Pinjal pradewasa mempunyai struktur mulut, organ anatomi dan fisiologi yang berbeda dengan pinjal dewasa, sehingga jenis makanan yang dikonsumsi juga berbeda. Makanan larva pinjal terdiri dari bahan-bahan organic yang ada disekitarnya, seperti darah yang dikeluarkan melalui organ ekskresi pinjal (anus), bahan organic yang kaya akan protein dan vitamin B. Bila bahan-bahan makanan tersebut terpenuhi, maka larva pinjal akan tumbuh secara maksimum.
Pinjal, baik jantan maupun betina merupakan serangga penghisap darah. Bagi pinjal betina, darah diperlukan untuk perkembangan telur. Pinjal akan sering menghisap darah di musim panas daripada musim penghujan atau dingin, karena di musim panas pinjal cepat kehilangan air dari tubuhnya.

F. Jenis Pinjal
Insekta ini termasuk ordo Siphonaphtera. Nama tersebut berarti bahwa mereka makan dengan menyifon (yaitu menghisap) darah. Pinjal dibagi 6 genus yaitu :

1. Genus Ctenocephalides
Ctenocephalides adalah pinjal yang umum pada anjing dan kucing. Pinjal ini juga menggigit hewan lain termasuk sapi dan manusia sebagai induk semang antara cacing pita anjing (Dipylidum caninum) dan cacing filarial anjing (Dipetalonema reconditum).
Ctenocephalides felis yang makan pada inangnya dan bisa hidup selam 58 hari serta tanpa makan tetapi tinggal pada lingkungan yang lembab dan dapat hidup selama 234 hari (Soviana, ).
2. Genus Echidnophaga

Echidnophaga adalah pinjal lekat unggas. Pinjal ini dapat juga menyerang anjig, kuing, mamalia lain dan bahkan manusia. Pinjal ini berbeda dari kebanyakan pinjal lain karena pinjal ini akan melompat bila diganggu.
3. Genus Pulex

Pulex irritans adalah pinjal manusia. Pinjal ini umum terdapat di California dan kadang-kadang terdapat di kandang-kandang ayam. Pinjal tersebut dapat menyerang banyak hewan lain termasuk babi, anjing, kucing dan tikus. Pinjal ini membawa tifus endemic.
Pulex irritans yang makan pada inangnya bisa hidup selama 125 hari dan tanpa makan tetapi tinggal pada lingkungan yang lembab dan dapat hidup selama 513 hari (Soviana, ).
4. Genus Nosopsyllus fasciatus
Nosopsyllus fasciatus adalah pinjal tikus umum di daerah beriklim sedang. Pinjal tersebut menyerang banyak hewan lain tapi tidak slalu menggigit orang.

5. Genus Xenopsylla
Xenopsylla cheopis adalah pinjal tikus tropis. Pada tikus pinjal ini lebih umum daripada Nosopsyllus fasciatus di Negara tropis dan banyak menyerang orang. Pinjal ini sangat penting karena memerlukan pes (disebabkan kuman Pasteurella pestis) dari tikus kepada manusia. Bakteri tersebut berkembang biak di dalam proventikulus pinjal sampai dapat memenuhinya. Kemudian bila pinjal terinfeksi bakteri ini dan pinjal menggigit korban lain, pinjal tersebut tidak dapat menghisap darah tetapi memuntahkan bakteri ke dalam luka. Pinjal ini juga menularkan thyphus endemic (disebabkan oleh Rickettsia typhi) dari tikus kepada manusia. X. cheopis merupakan pinjal kosmopolitan atau synathropic murine rodent yang mempunyai ciri-ciri pedikel panjang, bulu antepidigidal panjang dan kaku. Receptakel seminalis besar dan berkitin dengan sudut ekor meruncig.
Xenopsylla cheopis yang makan pada inangnya bisa hidup selama 38 hari dan tanpa makan tetapi tinggal pada lingkungan yang lembab dan dapat hidup selama 100 hari (Soviana, ).
6. Genus Tungau
Tungau penetrans adalah pinjal pasir. Pinjal ini merupakan pinjal yang terdapat di Negara-negara tropic dan sub tropic, pinjal ini sering ditemukan pada orang-orang yang bekerja sebagai penjelajah di Negara-negara tropis terutama di dataran Asia.

G. Peran dalam Bidang Kesehatan
Pinjal dapat mengganggu manusia dan hewan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung biasanya berupa reaksi kegatalan pada kulit dan bentuk-bentuk kelainan kulit lainnya. Infestasi pinjal merupakan penyebab kelainan kulit atau dermatitis yang khas. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitifitas kulit terhadap komponen antigenik yang terdapat pada saliva pinjal. Dermatitis ini biasanya juga diperparah dengan infeksi sekunder sehingga dermatitis yang semula berupa dermatitis miliari, hiperpigmentasi dan hiperkeratinasi dapat berlanjut dengan alopesia difus (kegundulan) akibat penggarukan yang berlebihan.
Manusia sebagai inang asidental dapat menjadi sasaran gigitan pinjal. Dari beberapa kasus yang pernah ditemui gigitan pinjal ke manusia terjadi akibat manusia menempati rumah yang telah lama kosong, tidak terawat dan menjadi sarang kucing atau tempat kucing/ anjing beranak.
Pupa pinjal dapat bertahan di alam tanpa keberadaan inangnya, akan tetapi sangat sensitive terhadap perubahan kadar CO2 dan vibrasi. Sehingga begitu terdeteksi perubahan factor tersebut, pupa tahap akhir yang telah siap menjadi dewasa segera keluar dari kulit pelindungnya untuk mencari dan menghisap darah inangnya. Itulah sebabnya serangan pinjal terhadap manusia umumnya terjadi pada keadaan tersebut.
Selain gangguan langsung, pinjal juga berperan di dalam proses penularan beberapa penyakit yang berbahaya bagi manusia dan hewan. Contohnya adalah penyakit klasik Bubonic plaque atau pes yang disebabkan oleh Pasteurella pestis ditularkan oleh pinjal Xenopsylla cheopis. Jenis-jenis pinjal yang lain secara eksperimental dapat menularkan penyakit tetapi dianggap bukan vektor alami (Soviana dkk, 2003).

H. Interaksi Pinjal dengan Tikus
Tikus dan pinjal berinteraksi secara ektoparasit obligate sementara. Dalam interaksi ini pinjal dewasa selalu hidup menempel pada permukaan tubuh inang, sedangkan stadium pra dewasa tumbuh terlepas dari inangnya. Interaksi ini lebih bersifat leluasa, tidak seperti kutu (Anoplura) yang menetap selama hidupnya di tubuh tikus.
Istilah inang sejati (true host) sering digunakan untuk menandai suatu inang tunggal atau inang pilihan yang dianggap paling utama jika seandainya satu jenis pinjal menempati beberapa jenis inang. Inang utama yaitu inang yang cocok atau sesuai untuk kelanjutan reproduksi pinjal dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Istilah ini dipakai untuk mengungkapkan hubungan asal nenek moyang.
Pada umumnya pinjal menyukai mamalia yang hidup didalam sarang, lubang dan gua yang terinfeksi pinjal. Amalia yang membuat sarang terbuka atau tidak terlindung dan terkena sinar matahari tidak disukai oleh pinjal, namun beberapa jenis pinjal ditemukan hidup parasit pada enguin dan burung laut yang sarangnya berada di pantai atau di pulau-pulau terpencil tanpa pepohonan.
Pinjal umumnya ditemukan pada mamalia ordo Monotremata, Marsupialia, Insektivora, Chiroptera, Edentata, Pholidota, Lagomarpha, Rodentia, Carnivora, Hyracoidea dan Astiodaetyla, tetapi jarang ditemukan pada mamalia ordo Dermoptera, Primata, Tubii dentate, Proboscidia, atau Perissodactyla

I. Pengendalian Pinjal
Menurut Soviana dkk (2003)Pengendalian pinjal terbagi menjadi 2 cara yaitu :

1. Mekanik atau Fisik
Pengendalian pinjal secara mekanik atau fisik dilakukan dengan cara membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam rumah yang biasa disinggahi tikus atau hewan lain dengan menggunakan vaccum cleaner berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk membersihkan telur, larva dan pupa pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang dan lingkungan sekitar hewan piaraan, member nutrisi yang bergizi tinggi untuk meningkatkan daya tahan hewan juga perlindungan dari kontak hewan peliharaan dengan hewan liar atau tidak terawat lain di sekitarnya.
2. Kimia
Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida. Repelen seperti dietil toluamide (deet) atau benzilbenzoat bisa melindungi orang dari gigitan pinjal. Sejauh ini resistensi terhadap insektisida dari golongan organoklor, organofosfor, karbamat, piretrin, piretroid pada pinjal telah dilaporkan di berbagai belahan dunia. Namun demikian insektisida masih tetap menjadi alat utama dalam pengendalian pinjal, bahkan saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya penggunaan Insect Growth Regulator (IGR).
Secara umum untuk mengatasi pinjal, formulasi serbuk (dust) dapat diaplikasikan pada lantai rumah dan tempat jalan lari tikus. Insektisida ini dapat juga ditaburkan dalam lubang persembunyian tikus. Diberbagai tempat Xenopsylla cheopis dan Pulex irritans telah resisten terhadap DDT, HCH dan dieldrin. Bila demikian, insektisida organofosfor dan karbamat seperti diazinon 2 %, fention 2%, malation 2%, fenitrotion 2%, iodofenfos 5%, atau karbaril 3-5% dapat digunakan.
Insektisida fogs atau aerosol yang mengandung malation 2% atau fenklorfos 2% kadang-kadang juga digunakan untuk fumigasi rumah yang mengandung pinjal. Insektisida smoke bombs yang mengandung permetrin atau tirimifos metal dapat juga digunakan untuk desinfeksi rumah.
Pengendalian pinjal di dalam ruangan terutama ditujukan terhadap pinjal dewasa, baik pada inang maupun diluar inang. Keefektifan insektisida pada pinjal dewasa ternyata bervariasi tergantung jenis permukaan tempat aplikasi. Pada permukaan kain tenun dan karpet, insektisida organofosfat paling efektif, selanjutnya berturut-turut karbamat > pirethrin sinergis > pirethtroid. Penurunan pinjal dewasa dapat mencapai 98% selama 60 hari pada aplikasi semprot campuran 0,25% propetamfos dan 0,5% diazinon microencapsulated.
Upaya pengendalian pinjal di daerah urban pada saat meluasnya kejadian pes atau murinethyphus, diperlukan insektisida dan aplikasi yang terencana dengan baik agar operasi berjalan dengan memuaskan. Pada saat yang sama ketika insektisida diaplikasikan, rodentisida seperti antikoagulan, warfarin dan fumarin dapat digunakan untuk membunuh populasi tikus. Namun demikian, bila digunakan redentisida yang bekerja cepat dan dosis tunggal seperti zink fosfid, sodium fluoroasetat, atau striknin atau insektisida modern seperti bromadiolon dan klorofasinon, maka hal ini harus diaplikasikan beberapa hari setelah aplikasi insektisida. Jika tidak dilakukan maka tikus akan mati tetapi pinjal tetap hidup dan akan menggigit mamalia termasuk orang dan ini akan menongkatkan transmisi penyakit.
Sementara itu, berbagai formulasi insektisida untuk mengendalikan pinjal dewasa pada hewan piaraan telah banyak dipasarkan mulai dari shampoo, spray, bahan dipping (berendam), sabun foam untuk mandi, serbuk bedak, hinggga yang bekerja sistemik seperti spoton untuk aplikasi diteteskan/ tuang langsung ke tubuh hewan inang, collar (kerah/kalung anti pinjal), dan oral berupa tablet oral. Akan tetapi, pemilihan jenis dan formulasi insektisida harus memperhatikan jenis dan unur hewan inang, tingkat investasi C. felis yang terjadi, potensi reinfeksi, perlakuan pengendalian pinjal di lingkungan sekitar hewan juga tingkat resistensi populasi pinjal di sekitar.
Dengan semakin tingginya kesadaran untuk meminimalkan penggunaan insektisida kimia, perhatian pengendalian terutama ditujukan dengan memutus siklus hidup pinjal. Penggunaan bahan pengatur perkembangan serangga (IGR) memunculkan paradigm baru dalam pengendalian pinjal. Paradigm ini berfokus pada pengendalian stadium pra dewasa pinjal dengan aplikasi IGR, baik pada inang maupun lingkungan. Efek kerja IGR dapat berupa penghambatan pembentukan kitin (benzoylphenyl ureachitin siynthesis inhibitors), seperti alsistin, siromazine, diflubenzuron dan lufenuron, atau berupa peniru hormone juvenile (mimic insect juvenile hormone), seperti piriproksifen, fenoksikrb dan metophrene. Kedua jenis IGR tersebut diaplikasikan baik secara kontak maupun sebagai racun perut larva.
Kemampuan beberapa jenis IGR ternyata juga berbeda-beda tergantung pada tahap pra dewasa maupun umur setiap stadium. Metophrene sangat efektif terhadap telur pinjal berumur muda, sebaliknya tidak terhadap telur berumur 24-42 jam pada konsentrasi yang sama. Piriproksipen dan metophrene memiliki efek ovisidal terhadap pinjal dewasa yang kontak dengan hewan yang telah diaplikasikan kedua bahan ini, karena kedua bahan tersebut membunuh tahapan embrio pinjal dalam perut. Hewan yang dimandikan dengan 26 mg metophrene dapat mencegah menetasnya telur pinjal hingga 34 hari. Saai ini telah banyak beredar produk IGR di pasaran baik dalam bentuk shampo, spray maupun collar bahkan oral, yang berupa tablet yang diminumkan pada hewan piara yang bekerja secara sistemik pada darah. Tablet yang mengandung fenuron diberikan sekali sebulan dengan dosis 30 mg/kg berat badan. Maka pinjal betina yang menghisap darah dari kucing akan menghasilkan telur-telur steril selama 2 minggu.



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pinjal merupakan insekta yang tidak memiliki sayap dengan tubuh berbentuk pipih bilateral dengan panjang 1,5-4,0 mm dan yang jantan biasanya lebih kecil dari yang betina. Terdiri dari 3 segmen thoraks yang dikenal sebagai pronotum, mesonotum dan metanotum (metathoraks).
2. Pinjal dapat mengganggu manusia dan hewan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung biasanya berupa reaksi kegatalan pada kulit dan bentuk-bentuk kelainan kulit lainnya. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitifitas kulit terhadap komponen antigenik yang terdapat pada saliva pinjal. Dermatitis ini bisaanya juga diperparah dengan infeksi sekunder sehingga dermatitis yang semula berupa dermatitis miliari, hiperpigmentasi dan hiperkeratinasi dapat berlanjut dengan alopesia difus (kegundulan) akibat penggarukan yang berlebihan.
3. Pengendalian pinjal dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu pengendalian pinjal secara mekanik atau fisik dilakukan dengan cara membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam rumah yang biasa disinggahi tikus atau hewan lain dengan menggunakan vaccum cleaner berkekuatan penuh. Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida.

DAFTAR PUSTAKA

Soviana, Susi dan Upik Kesumawati Hadi. 2003. Hama Pemukiman Indonesia. IPB unit Kajian pengendalian hama pemukiman fakultas kedokteran hewan. Bogor.
Susanti, M. 2001. Infestasi Pinjal Ctenocephalides felis (Siphonaptera : Pulicidae) Pada Kucing Di Bogor. Bogor : IPB http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/21339/B01dms.pdf?sequence=2. Diakses pada tanggal 20 Mei 2011.
Zentko. 1997. Infestasi Pinjal. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/10/ jtptunimus-gdl-s1-2008-abdulmutho-483-3-bab2.pdf. Diakses pada tanggal 20 Mei 2011

Makalah Pengertian dan Penggolongan Pestisida

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pestisida (sida, cide = racun) sampai kini masih merupakan salah satu cara utama yang digunakan dalam pengendalian hama. Yang dimaksud hama di sini adalah sangat luas, yaitu serangga, tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran mikroskopis), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan (Diana, 2009).
Di Indonesia pestisida banyak digunakan baik dalam bidang pertanian maupun kesehatan. Di bidang pertanian pemakaian pestisida dimaksudkan untuk meningkatkan produksi pangan. Banyaknya frekuensi serta intensitas hama dan penyakit mendorong petani semakin tidak bisa menghindari pestisida. Di bidang kesehatan, penggunaan pestisida merupakan salah satu cara dalam pengendalian vektor penyakit. Pengguaan pestisida dalam pengendalian vektor penyakit sangat efektif diterapkan terutama jika populasi vektor penyakit sangat tinggi atau untuk menangani kasus yang sangat menghawatirkan penyebarannya (Munawir, 2005).
Pestisida merupakan racun yang mempunyai nilai ekonomis terutama bagi petani. Pestisida memiliki kemampuan membasmi organisme selektif (target organisme), tetatpi pada praktiknya pemakian pestisida dapat menimbulkan bahaya pada organisme non target. Dampak negatif terhadap organisme non target meliputi dampak terhadap lingkungan berupa pencemaran dan menimbulkan keracunan bahkan dapat menimbulkan kematian bagi manusia (Tarumingkeng, 2008).
Pernyataan serupa diungkapkan oleh Quijano at all (2001), penggunaan pestisida memang memberikan keuntungan secara ekonomis, namun juga memberikan kerugian diantaranya residu yang tertinggal tidak hanya pada tanaman, tapi juga air, tanah dan udara, Penggunaan terus-menerus akan mengakibatkan efek resistensi berbagai jenis hama.
Hal tersebut di atas dapat terjadi terutama jika pestisida digunakan secara tidak tepat baik pada cara, dosis maupun organisme sasarannya. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang pestisida.

B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pestisida
2. Mengetahui jenis-jenis atau penggolongan pestisida

BAB II
ISI

A. Pengertian Pestisida
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida yang berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama..Secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia (Sartono, 2001). USEPA dalam Soemirat (2005) menyatakan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman, dan mikroorganisme penggangu.
Pengertian pestisida menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 dalam Kementrian Pertanian (2011) dan Permenkes RI No.258/Menkes/Per/III/1992 adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan
3. Mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan atau ternak
5. Memberantas atau mencegah hama-hama air
6. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam bangunan rumah tangga alat angkutan, dan alat-alat pertanian
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan tanaman, tanah dan air.
Menurut PP RI No.6 tahun 1995 dalam Soemirat (2005), pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh dan perangsang tubuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman.
Sementara itu, The United States Environmental Control Act dalam Runia (2008) mendefinisikan pestisida sebagai berikut :
1. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, serta jasad renik yang dianggap hama; kecuali virus, bakteri, atau jasad renik lain yang terdapat pada hewan dan manusia.
2. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan atau mengeringkan tanaman.
Menurut Depkes (2004) dalam Rustia (2009), pestisida kesehatan masyarakat adalah pestisida yang digunakan untuk pemberantasan vektor penyakit menular (serangga, tikus) atau untuk pengendalian hama di rumah-rumah, pekarangan, tempat kerja, tempat umum lain, termasuk sarana nagkutan dan tempat penyimpanan/pergudangan. Pestisida terbatas adalah pestisida yang karena sifatnya (fisik dan kimia) dan atau karena daya racunnya, dinilai sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan lingkungan, oleh karenanya hanya diizinkan untuk diedarkan, disimpan dan digunakan secara terbatas.

B. Penggolongan Pestisida
Pestisida mempunyai sifat-sifat fisik, kimia dan daya kerja yang berbeda-beda, karena itu dikenal banyak macam pestisida. Pestisida dapat digolongkan menurut berbagai cara tergantung pada kepentingannya, antara lain: berdasarkan jasad sasaran yang akan dikendalikan, berdasarkan cara kerja, berdasarkan struktur kimianya, asal dan sifat kimia, berdasarkan bentuknya dan pengaruh fisiologisnya.

1. Jenis Pestisida Menurut Jasad Sasaran

Menurut Kementrian Pertanian (2011), ditinjau dari jenis jasad yang menjadi sasaran penggunaan pestisida dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain:
a. Akarisida, berasal dari kata akari, yang dalam bahasa Yunani berarti tungau atau kutu. Akarisida sering juga disebut Mitesida. Fungsinya untuk membunuh tungau atau kutu. Contohnya Kelthene MF dan Trithion 4 E.
b. Algasida, berasal dari kata alga, bahasa latinnya berarti ganggang laut, berfungsi untuk membunuh algae. Contohnya Dimanin.
c. Alvisida, berasal dari kata avis, bahasa latinnya berarti burung, fungsinya sebagai pembunuh atau penolak burung. Contohnya Avitrol untuk burung kakaktua.
d. Bakterisida, Berasal dari katya latin bacterium, atau kata Yunani bakron, berfungsi untuk membunuh bakteri. Contohnya Agrept, Agrimycin, Bacticin, Tetracyclin, Trichlorophenol Streptomycin.
e. Fungsida, berasal dari kata latin fungus, atau kata Yunani spongos yang artinya jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan. Dapat bersifat fungitoksik (membunuh cendawan) atau fungistatik (menekan pertumbuhan cendawan). Contohnya Benlate, Dithane M-45 80P, Antracol 70 WP, Cupravit OB 21, Delsene MX 200, Dimatan 50 WP.
f. Herbisida, berasal dari kata lain herba, artinya tanaman setahun, berfungsi untuk membunuh gulma. Contohnya Gramoxone, Basta 200 AS, Basfapon 85 SP, Esteron 45 P
g. Insektisida, berasal dari kata latin insectum, artinya potongan, keratan segmen tubuh, berfungsi untuk membunuh serangga. Contohnya Lebaycid, Lirocide 650 EC, Thiodan, Sevin, Sevidan 70 WP, Tamaron
h. Molluskisida, berasal dari kata Yunani molluscus, artinya berselubung tipis atau lembek, berfungsi untuk membunuh siput. Contohnya Morestan, PLP, Brestan 60.
i. Nematisida, berasal dari kata latin nematoda, atau bahasa Yunani nema berarti benang, berfungsi untuk membunuh nematoda. Contohnya Nemacur, Furadan, Basamid G, Temik 10 G, Vydate.
j. Ovisida, berasal dari kata latin ovum berarti telur, berfungsi untuk merusak telur.
k. Pedukulisida, berasal dari kata latin pedis, berarti kutu, tuma, berfungsi untuk membunuh kutu atau tuma.
l. Piscisida, berasal dari kata Yunani Piscis, berarti ikan, berfungsi untuk membunuh ikan. Contohnya Sqousin untuk Cypirinidae, Chemish 5 EC.
m. Predisida, berasal dari kata Yunani Praeda berarti pemangsa, berfungsi sebagai pembunuh predator.
n. Rodentisida, berasal dari kata Yunani rodere, berarti pengerat berfungsi untuk membunuh binatang pengerat. Contohnya Dipachin 110, Klerat RMB, Racumin, Ratikus RB, Ratilan, Ratak, Gisorin.
o. Termisida, berasal dari kata Yunani termes, artinya serangga pelubang kayu berfungsi untuk membunuh rayap. Contohnya Agrolene 26 WP, Chlordane 960 EC, Sevidol 20/20 WP, Lindamul 10 EC, Difusol CB.
p. Silvisida, berasal dari kata latin silva berarti hutan, berfungsi untuk membunuh pohon atau pembersih pohon.
q. Larvasida, berasal dari kata Yunani lar, berfungsi membunuh ulat (larva). Contohnya Fenthion, Dipel (Thuricide).

2. Pestisida berdasarkan cara kerjanya
Dilihat dari cara kerja pestisida tersebut dalam membunuh hama dapat dibedakan lagi menjadi tiga golongan, yaitu (Soemirat, 2005):
a. Racun perut
Berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran memakan pestisida. Pestisida yang termasuk golongan ini pada umumnya dipakai untuk membasmi serangga-serangga pengunyah, penjilat dan penggigit. Daya bunuhnya melalui perut. Contoh: Diazinon 60 EC.
b. Racun kontak
Berarti mempunyai daya bunuh setelah tubuh jasad terkena pestisida. Organisme tersebut terkena pestisida secara kontak langsung atau bersinggungan dengan residu yang terdapat di permukaan yang terkena pestisida. Contoh: Mipcin 50 WP.
c. Racun gas
Berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran terkena uap atau gas. Jenis racun yang disebut juga fumigant ini digunakan terbatas pada ruangan ruangan tertutup.

3. Pestisida Berdasarkan Struktur Kimia
Menurut Pohan (2004), jika dilihat dari segi struktur kimianya, pestisida dibagi atas:
a. Orgahochlorine
Pestisida jenis ini mengandung unsur-unsur Carbon, Hidrogen, dan Chlorine. Misal : DDT
b. Orgahoposphate
Pestisida yang mengandung unsur : P, C, H misal : tetra ethyl phyro posphate (TEPP )
c. Carbamate
Pestisida yang mengandung gugus Carbamate. Misal : Baygon, Sevin dan Isolan.
d. Lain-Lain
Diluar ketiga jenis diatas, pestisida ini mengandung senyawa organik, serychin, senyawa sulphur organik dan dinytrophenol.

Sedangkan menurut Dep.Kes RI Dirjen P2M dan PL 2000 dalam Diana (2009), berdasarkan struktur kimianya pestisida dapat digolongkan menjadi :
a. Golongan organochlorin
Pestisida organochlorin misalnya DDT, Dieldrin, Endrin dan lain-lain. Umumnya golongan ini mempunyai sifat: merupakan racun yang universal, degradasinya berlangsung sangat lambat larut dalam lemak.
b. Golongan organophosfat
Pestisida organophosfat misalnya diazonin dan basudin. Golongan ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : merupakan racun yang tidak selektif degradasinya berlangsung lebih cepat atau kurang persisten di lingkungan, menimbulkan resisten pada berbagai serangga dan memusnahkan populasi predator dan serangga parasit, lebih toksik terhadap manusia dari pada organokhlor.
c. Golongan carbamat termasuk baygon, bayrusil, dan lain-lain.
Golongan ini mempunyai sifat sebagai berikut : mirip dengan sifat pestisida organophosfat, tidak terakumulasi dalam sistem kehidupan, degradasi tetap cepat diturunkan dan dieliminasi namun pestisida ini aman untuk hewan, tetapi toksik yang kuat untuk tawon.
d. Senyawa dinitrofenol misalnya morocidho 40EC.
Salah satu pernafasan dalam sel hidup melalui proses pengubahan ADP (Adenesone-5-diphosphate) dengan bantuan energi sesuai dengankebutuhan dan diperoleh dari rangkaian pengaliran elektronik potensial tinggi ke yang lebih rendah sampai dengan reaksi proton dengan oksigen dalam sel. Berperan memacu proses pernafasan sehingga energi berlebihan dari yang diperlukan akibatnya menimbulkan proses kerusakan jaringan.
e. Pyretroid
Salah satu insektisida tertua di dunia, merupakan campuran dari beberapa ester yang disebut pyretrin yang diekstraksi dari bunga dari genus Chrysanthemum. Jenis pyretroid yang relatif stabil terhadap sinar matahari adalah : deltametrin, permetrin, fenvalerate. Sedangkan jenis pyretroid yang sintetis yang stabil terhadap sinar matahari dan sangat beracun bagi serangga adalah : difetrin, sipermetrin, fluvalinate, siflutrin, fenpropatrin, tralometrin, sihalometrin, flusitrinate.
f. Fumigant
Fumigant adalah senyawa atau campuran yang menghasilkan gas atau uap atau asap untuk membunuh serangga , cacing, bakteri, dan tikus. Biasanya fumigant merupakan cairan atau zat padat yang murah menguap atau menghasilkan gas yang mengandung halogen yang radikal (Cl, Br, F), misalnya chlorofikrin, ethylendibromide, naftalene, metylbromide, formaldehid, fostin.

g. Petroleum
Minyak bumi yang dipakai sebagai insektisida dan miksida. Minyak tanah yang juga digunakan sebagai herbisida.
h. Antibiotik
Misalnya senyawa kimia seperti penicillin yang dihasilkan dari mikroorganisme ini mempunyai efek sebagai bakterisida dan fungisida.

Sedangkan menurut Prijanto (2009), berdasarkan jenis bentuk kimianya dapat digolongkan menjadi :
a. Organofosfat
Pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain : Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon, Chlorpyrifos.
Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II. Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan komponen yang protein terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia seperti malathion, tetapi masih sangat toksik terhadap insekta.

Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila tertelan, meskipun hanya dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kematian pada manusia.
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis acetylcholine menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.

Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkholin persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal seperti salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare (SLUD) terjadi pada keracunan organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot polos.

b. Karbamat
Insektisida karbamat berkembang setelah organofosfat. Insektisida ini biasanya daya toksisitasnya rendah terhadap mamalia dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh insekta. Pestisida golongan karbamat ini menyebabkan karbamilasi dari enzim asetil kholinesterase jaringan dan menimbulkan akumulasi asetil kholin pada sambungan kholinergik neuroefektor dan pada sambungan acetal muscle myoneural dan dalam autonomic ganglion, racun ini juga mengganggu sistem saraf pusat.
Struktur Karbamat dapat dilihat di bawah ini :

Struktur karbamat seperti physostigmin, ditemukan secara alamiah dalam kacang Calabar (calabar bean). Bentuk carbaryl telah secara luas dipakai sebagai insektisida dengan komponen aktifnya adalah SevineR.
Mekanisme toksisitas dari karbamat adalah sama dengan organofosfat, dimana enzim achE dihambat dan mengalami karbamilasi.

c. Organoklorin
Organoklorin atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling populer dan pertama kali disinthesis adalah “Dichloro-diphenyl-trichloroethan” atau disebut DDT.

Mekanisme toksisitas dari DDT masih dalam perdebatan, walaupun komponen kimia ini sudah disintesis sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya pengaruh toksiknya terfokus pada neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik dan serabut saraf motorik serta kortek motorik adalah merupakan target toksisitas tersebut. Dilain pihak bila terjadi efek keracunan perubahan patologiknya tidaklah nyata. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat menyebabkan keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam. Perkiraan LD50 untuk manusia adalah 300-500 mg/Kg. DDT dihentikan penggunaannya sejak tahun 1972, tetapi penggunaannya masih berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, bahkan sampai sekarang residu DDT masih dapat terdeteksi. Gejala yang terlihat pada intoksikasi DDT adalah sebagai berikut: Nausea, vomitus, paresthesis pada lidah, bibir dan muka, iritabilitas, tremor, convulsi, koma, kegagalan pernafasan, kematian.

4. Pestisida berdasarkan asal dan sifat kimianya
Penggolongan pestisida menurut asal dan sifat kimia menurut Butarbutar (2009) adalah:
a. Hasil alam: Nikotinoida, Piretroida, Rotenoida dll.
b. Sintetik
1) Anorganik: garam-garam beracun seperti arsenat, flourida, tembaga sulfat dan garam merkuri.
2) Organik:
a) Organo khlorin: DDT, BHC, Chlordane, Endrin dll.
b) Heterosiklik: Kepone, mirex dll.
c) Organofosfat: malathion, biothion dll.
d) Karbamat: Furadan, Sevin dll.
e) Dinitrofenol: Dinex dll.
f) Thiosianat: lethane dll.
g) Sulfonat, sulfida, sulfon.
h) Lain-lain: methylbromida dll.

Sedangakn menurut Soemirat (2005) Klasifikasi pestisida menurut asal dan struktur atau golongan zat kimianya antara lain:
a. Pestisida alamiah:
1) Pyrethum: Pyrethrin, Cinerin
2) Derris: Rotenon
b. Pestisida sintetik:
1) Senyawa halogen organik: DDT, Lindan
2) Senyawa fosfatester organik: Dichlorvos, Malathion
3) Senyawa karbamat : Prpoxur, Dimetilan
4) Derivat kumarin : Cumachlor
5) Senyawa Dinitrofenol : Dinobuton
Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam empat golongan yaitu:
a. Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia, contoh: organoklorin, organofospat, dan karbamat.
b. Pestisida Nabati, yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, contoh: neem oil yang berasal dari pohon mimba.
c. Pestisida Biologi, yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia, contoh: jamur, bakteri atau virus.
d. Pestisida Alami, yaitu pestisida yang berasal dari bahan alami, contoh: bubur bordeaux.

5. Pestisida berdasarkan bentuknya
Dengan melihat bentuk fisiknya, pestisida digolongkan kedalam beberapa bentuk :
a. Tepung hembus
b. Tepung semprot ( Wetable Powder)
c. Minyak
d. Aerosol
e. Rook patroner
Sedangakan menurut Yuantari (2009) berdasarkan bentuk formulasi, pestisida dapat digolongkan dalam bentuk:
a. Butiran (Granule=G)
Berbentuk butiran yang cara penggunaanya dapat langsung disebarkan dengan tangan tanpa dilarutkan terlebih dahulu.
b. Tepung (Dust=D)
Merupakan tepung sangat halus dengan kandungan bahan aktif 1-2% yang penggunaanya dengan alat penghembus (duster).
c. Bubuk yang dapat dilarutkan (wettable powder=WP)
Berbentuk tepung yang dapat dilarutkan dalam air yang penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot atau untuk merendam benih. Contoh: Mipcin 50 WP.
d. Cairan yang dapat dilarutkan
Berbentuk cairan yang bahan aktifnya mengandung bahan pengemulsi yang dapat digunakan setelah dilarutkan dalam air. Larutannya berwarna putih susu tapi berwarna coklat jernih yang cara penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot.
e. Cairan yang dapat diemulsikan
Berbentuk cairan pekat yang bahan aktifnya mengandung bahan pengemulsi yang dapat digunakan setelah dilarutkan dalam air. Cara penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot atau di injeksikan pada bagian tanaman atau tanah. Contoh: Sherpa 5 EC.
f. Volume Ultra Rendah
Berbentuk cairan pekat yang dapat langsung disemprotkan tanpa dilarutkan lagi. Biasanya disemprotkan dengan pesawat terbang dengan penyemprot khusus yang disebut Micron Ultra Sprayer. Contoh: Diazinon 90 ULV.
g. Aerosol (A)
Aerosol merupakan formulasi yang terdiri dari campuran bahan aktif berkadar rendah dengan zat pelarut yang mudah menguap (minyak) kemudian dimasukkan ke dalam kaleng yang diberi tekanan gas propelan. Formulasi jenis ini banyak digunakan di rumah tangga, rumah kaca, atau perkarangan.
h. Umpan beracun (Poisonous Bait = B)
Umpan beracun merupakan formulasi yang terdiri dari bahan aktif pestisida digabungkan dengan bahan lainnya yang disukai oleh jasad pengganggu.

6. Pestisida berdasarkan pengaruh fisiologisnya
Menurut Yusniati (2008) dalam Diana (2009), pestisida juga diklasifikasikan berdasarkan pengaruh fisiologisnya, yang disebut farmakologis atau klinis, sebagai berikut:
a. Senyawa Organofospat
Racun ini merupakan penghambat yang kuat dari enzim cholinesterase pada syaraf. Asetyl cholin berakumulasi pada persimpangan-persimpangan syaraf (neural jungstion) yang disebabkan oleh aktivitas cholinesterase dan menghalangi penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan otot-otot. Golongan ini sangat toksik untuk hewan bertulang belakang.Organofosfat disintesis pertama kali di Jerman pada awal perang dunia ke-II.
Bahan tersebut digunakan untuk gas syaraf sesuai dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada awal sintesisinya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida tetapi juga toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang tersebut dan ditemukan komponen yang paten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia (misalnya : malathion).
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan beberapa milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu ± 2 minggu.

Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain
1) Asefat,
Diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng. LD50 (tikus) sekitar 1.030 – 1.147 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 10.000 mg/kg menyebabkan iritasi ringan pada kulit (kelinci).
2) Kadusafos
Merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus) sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan tidak menyebabkan iritasi pada mata.
3) Klorfenvinfos
Diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang. LD50 (tikus) sekitar 10 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 31 – 108 mg/kg.
4) Klorpirifos
Merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. LD50 oral (tikus) sebesar 135 – 163 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.
5) Kumafos
Ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat non-sistemik untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 – 41 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 860 mg/kg.
6) Diazinon
Pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan insektisida dan akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment). LD50 oral (tikus) sebesar 1.250 mg/kg.
7) Diklorvos (DDVP)
Dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida ini bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi. Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta insektisida rumah tangga.LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.
8) Malation
Diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pro-insektisida yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg; LD50 dermal (kelinci) 4.100 mg/kg.
9) Paration
Ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang disarankan oleh G. Schrader. Paration merupakan insektisida dan akarisida, memiliki mode of action sebagai racun saraf yang menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk insektisida yang sangat beracun, LD50 (tikus) sekitar 2 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.
10) Profenofos
Ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472 mg/kg.
11) Triazofos
Ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida, dan nematisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan tanaman (translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 57 – 59 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000 mg/kg.
b. Senyawa Organoklorin
Golongan ini paling jelas pengaruh fisiologisnya seperti yang ditunjukkan pada susunan syaraf pusat, senyawa ini berakumulasi pada jaringan lemak. Secara kimia tergolong insektisida yang toksisitas relatif rendah akan tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun ini bersifat mengganggu susunan syaraf dan larut dalam lemak. Contoh insektisida ini pada tahun 1874 ditemukan DDT (Dikloro Difenil Tri Kloroetana) oleh Zeidler seorang sarjana kimia dari Jerman. Pada tahun 1973 diketahui bahwa DDT ini ternyata sangat membahayakan bagi kehidupan maupun lingkungan, karena meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan. DDT sangat stabil baik di air, di tanah, dalam jaringan tanaman dan hewan.
c. Senyawa Arsenat
Pada keadaan keracunan akut ini menimbulkan gastroentritis dan diare yang menyebabkan kekejangan yang hebat sebelum menimbulkan kematian. Pada keadaan kronis menyebabkan pendarahan pada ginjal dan hati.
d. Senyawa Karbamat
Merupakan ester asam N-metilkarbamat atau turunan dari asam karbamik HO-CO-NH2. Pengaruh fisiologis yang primer dari racun golongan karbamat adalah menghambat aktifitas enzym cholinesterase darah dengan gejala-gejala seperti senyawa organofospat, tetapi pengaruhnya jauh lebih reversible dari pada efek senyawa organofosfat.
e. Piretroid
Piretroid merupakan senyawa kimia yang meniru struktur kimia (analog) dari piretrin. Piretrin sendiri merupakan zat kimia yang bersifat insektisida yang terdapat dalam piretrum, kumpulan senyawa yang di ekstrak dari bunga semacam krisan piretroid (bunga Chrysantheum cinerariaefolium) memiliki beberapa keunggulan, diantaranya diaplikasikan dengan takaran relatif sedikit, spektrum pengendaliannya luas, tidak persisiten, dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik. Namun karena sifatnya yang kurang atau tidak selektif, banyak piretroid yang tidak cocok untuk program pengendalian hama terpadu. Insektisida tanaman lain adalah nikotin yang sangat toksik secara akut dan bekerja pada susunan saraf. Piretrum mempunyai toksisitas rendah pada manusia tetapi menimbulkan alergi pada orang yang peka.

BAB III
PENUTUP

Pengertian pestisida dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973, PP RI No.6 tahun 1995, The United States Environmental Control Act, USEPA. Secara sederhana pestisida dapat diartikan sebagai pembunuh hama.
Pestisida dapat digolongkan menurut berbagai cara tergantung pada kepentingannya, antara lain: berdasarkan jasad sasaran yang akan dikendalikan, berdasarkan cara kerja, berdasarkan struktur kimianya, asal dan sifat kimia, berdasarkan bentuknya dan berdasarkan pengaruh fisiologisnya.
1. Jenis Pestisida Menurut Jasad Sasaran

a. Akarisida
b. Algasida
c. Alvisida
d. Bakterisida
e. Fungsida
f. Herbisida
g. Insektisida
h. Molluskisida
i. Nematisida
j. Ovisida
k. Pedukulisida
l. Piscisida
m. Predisida
n. Rodentisida
o. Termisida
p. Silvisida
q. Larvasida

2. Pestisida berdasarkan cara kerjanya
a. Racun perut
b. Racun kontak
c. Racun gas
d. Pestisida sistemik

3. Pestisida Berdasarkan Struktur Kimia
Berdasarkan struktur kimianya, pestisida dibagi atas Orgahochlorine, Orgahoposphate, Carbamat, Pyretroid dan pestisida yang mengandung senyawa organik, serychin, senyawa sulphur organik dan dinytrophenol.
4. Pestisida berdasarkan asal dan sifat kimianya
Penggolongan pestisida menurut asal dan sifat kimia adalah Hasil alam (alamiah) dan pestisida sintetik yang terdiri. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam empat golongan yaitu pestisida sintetik, nabati, biologi, dan pestisida alami.

5. Pestisida berdasarkan bentuknya
Berdasarkan bentuknya pestisida digolongkan dalam bentuk tepung, butiran, bubuk yang dapat dilarutkan, cairan yang dapat dilarutkan, cairan yang dapat diemulsikan, Volume Ultra Rendah, Aerosol, umpan beracun, dll.

6. Pestisida berdasarkan pengaruh fisiologisnya
Klasifikasi pestisida berdasarkan pengaruh fisiologisnya, yang disebut farmakologis atau klinis, sebagai berikut:
a. Senyawa Organofosfat
Merupakan penghambat yang dari enzim cholinesterase pada syaraf dan menghalangi penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan otot-otot. Merupakan insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain Asefat, Kadusafos, Klorfenvinfos, Klorpirifos, Kumafos, Diazinon, Diklorvos (DDVP), Malation, Paration, Profenofos, Triazofos
b. Senyawa Organoklorin
Pestisida golongan ini bersifat mengganggu susunan syaraf dan larut dalam lemak. Secara kimia tergolong insektisida yang toksisitas relatif rendah akan tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Contohnya DDT
c. Senyawa Arsenat
Keracunan akut ini menimbulkan gastroentritis dan diare. Pada keadaan kronis menyebabkan pendarahan pada ginjal dan hati.
d. Senyawa Karbamat
Pengaruh fisiologis yang primer dari racun golongan karbamat adalah menghambat aktifitas enzym cholinesterase darah dengan gejala-gejala seperti senyawa organofospat, tetapi pengaruhnya jauh lebih reversible dari pada efek senyawa organofosfat.
e. Piretroid
Piretrum mempunyai toksisitas rendah pada manusia tetapi menimbulkan alergi pada orang yang peka. Diekstrak dari bunga semacam krisan piretroid (bunga Chrysantheum cinerariaefolium) dengan keunggulan, diantaranya diaplikasikan dengan takaran relatif sedikit, spektrum pengendaliannya luas, tidak persisiten, dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik. Insektisida tanaman lain adalah nikotin yang sangat toksik secara akut dan bekerja pada susunan saraf.

Daftar Pustaka

Butarbutar, J. 2009. Pestisida dan Pengendaliannya. Koperasi Serba Usaha “SUBUR” Provinsi Sumatera Utara. Medan. www.koperasisubur.com. Diakses 22 Mei 2011.
Diana, Wulan. 2009. Dampak Negatif Penggunaan Pestisida di Lingkungan http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1106/1/fp-diana.pdf. Diakses tanggal 19 mei 2011
Kementrian Pertanian.2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Jakarta: Direktorat Jenderal Prasaranan dan Sarana Kementrian Pertania.
Munawir, Khozanah. 2005. Pemantauan Kadar Pestisida Organoklorin Di Beberapa Muara Sungai Di Perairan Teluk Jakarta. Jurnal Oseanologidan Limnologi di Indonesia 2005 No. 37 : 15 – 25 ISSN 0125 – 9830
Pohan, Nurhasmawati. 2004. Pestisida dan Pencemarannya. Universitas Sumatra Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 1367/1/tkimia-nurhasmawaty7.pdf. Diakses 20 Mei 2011
Quijano;Sarojeni V. Rengam.2001. Pestisida Berbahaya Bagi Kesehatan. Solo: Yayasan Duta Awam Pesticide Action Network Asia and the Pacific
Runia, Yodenca. 2008. Tesis: Faktor-fakor yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat dan Kejadian Anemia pada Petani Holtikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Universitas Diponegoro. Semarang. Dipublikasikan (112 Hal). Diakses 18 Mei 2011
Rustia, Hana. 2009. Skipsi: Pengaruh pajanan pestisida terhadap Petani di Tangerang. Universitas Indonesia. Depok. Dipublikasikan (98 hal). Diakses 20 Mei 2011
Sartono. 2001. Racun dan Keracunan. Widya Medika. Jakarta.
Soemirat, J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Tarumingkeng. 2008. Pestisida dan Penggunaannya. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Prijanto, T.B. 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat pada Keluarga Petani Hortikultura Di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. (Tesis). Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Yuantari, Maria. 2009. Tesis: Studi Ekonomi Lingkungan Penggunaan Pestisida dan Dampaknya pada Kesehatan Petani Di Area Pertanian Hortikultura Desa Sumber Rejo Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Universitas Diponegoro. Semarang. Dipublikasikan (142 Hal). Diakses 28 Mei 2011

Makalah Toxoplasmosis

BAB I
PENDAHULUAN

Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Parasit ini ditransmisikan kemanusia melalui makan makanan daging kurang matang, terutama daging babi atau domba yang terkontaminasi dengan parasit. Kucing merupakan host alami dari parasit ini, dan dapat ditularkan untuk orang melalui kontak dengan tinja kucing. Infeksi tokso paling sering menyebabkan penyakit pada otak dan sumsum tulang belakang, meskipun bagian lain tubuh, termasuk mata, jantung, paru-paru, kulit, hati, dan saluran gastrointestinal (GI) juga dapat terinfeksi. Individu yang memperoleh
infeksi toxoplasma dapat memperlihatkan gejala yang tidak signifikan atau self-limiting, ringan sampai moderat (Knapen, 2008).
Infeksi toxoplasma yang diperoleh oleh seorang ibu selama kehamilan, memiliki risiko yang signifikan yang merugikan janin. Risiko penularan dari ibu ke janin rendah bila infeksi diperoleh ibu pada tahap awal kehamilan namun hasil dari beberapa kasus menunjukan dapat mengancam hidup janin. Sebaliknya, infeksi diperoleh ibu ketika kehamilan mengakibatkan risiko yang lebih tinggi terhadap penularan janin, hasil klignis khas kurang parah, atau anak bahkan mungkin lahir asimptomatik. Infeksi yang diperoleh 2-3 bulan sebelum konsepsi sangat jarang menimbulkan risiko kerusakan pada janin (Knapen, 2008).
Di Amerika Utara, toksoplasmosis pada orang HIV positif biasanya sebuah pengaktifan dari infeksi lama yang awalnya tidak menyebabkan penyakit. Ketika seseorang pertama kali terinfeksi dengan parasit, biasanya tidak ada gejala, dan sistem kekebalan tubuh mampu mengontrol infeksi. Seiring waktu, HIV positif orang kehilangan lebih banyak limfosit CD4+, yaitu sel-sel sistem kekebalan yang membantu untuk mengontrol infeksi. Ketika sel-sel ini hilang, tokso dapat muncul dan menyebabkan penyakit. Orang-orang dengan HIV positif yang telah terkena parasit dan yang jumlah CD4 di bawah 100 beresiko berkembangnya toxoplasmosis (Knapen, 2008).

BAB II
PERMASALAHAN

Tahun 1998 di Guyana Prancis, terdapat 2 kasus toksoplasmosis primer parah yang telah dilaporkan. Namun, selama kurun waktu tahun 1998 sampai 2006, terdapat 44 kasus. Semua pasien imunokompeten (tidak Terinfeksi HIV) orang dewasa yang telah dirawat di rumah sakit. Kebanyakan pasien dilaporkan yang berkaitan dengan kegiatan seperti menelan air permukaan, dan mengonsumsi daging yang kurang matang. Dari 44 pasien, 1 meninggal, dan yang lain pulih setelah mendapat pengobatan yang sesuai dengan standar (Carme, 2004).
Laporan kasus penyakit toxoplasmosis kongenital di Alabama dan New York kira-kira 10 per 10,000 lahir hidup. Pada tahun1986-1992 di New England dilaporkan 1 per 10.000 lahir hidup. Sumber lain menyebutkan rata-rata 1 per 4.000 lahir hidup. Infeksi terjadi melalui plasenta selama trimester kedua dan ketiga, tetapi sering terjadi pada trimester pertama. Pada suatu studi 13% dari infeksi kongenital pada infants terinfeksi selama trimester pertama dan 80% menjadi suatu penyakit, sebanyak 29% terinfeksi pada trimester kedua dan 30% dari infant memiliki penyakit. Separuh dari infant terinfeksi selama trimeter ke tiga dan 70-90% memiliki infeksi subklinis. Infeksi juga dapat ditemukan pada seseorang dengan immunocompromise. Pada suatu studi, Toxoplasma encephalitis terjadi pada 25% pasien AIDS dan 84% berakibat fatal (Institute for International Cooperation in Animal, 2005).
Tahun 2003 tepatnya pada akhir Desember 2003 terjadi wabah toksoplasmosis sampai pertengahan Januari 2004 yang melibatkan 11 kasus di antara 38 penduduk desa di Suriname dekat perbatasan Guyana Perancis. Dari 11 pasien: 2 kasus bawaan dan mematikan, 9 kasus terjadi pada orang dewasa imunokompeten (Carme, 2004).
Tahun 2002 sampai 2004, akumulasi kejadian toksoplasmosis kongenital untuk Inggris dan Wales diperkirakan 3,4/100.000 kelahiran hidup, dengan gejala yang paling umum di antara kelahiran hidup menjadi retinochoroiditis dan / atau
kelainan intracranial dengan atau tanpa gangguan perkembangan. Berdasarkan berbagai studi yang dilaporkan, risiko rata-rata transmisi pada trimester pertama diperkirakan 10-15%, meningkat menjadi 70-80% pada trimester ketiga (Standards Unit, Department for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections, 2010).
Survey serologi menunjukan bahwa 3-80% pada orang dewasa sehat telah terpapar Toxoplasma gondii. Infeksi tersebut berupa asimtomatik sebesar 80-90% pada wanita tidak hamil dan seseorang dengan immunocompetent. Kasus paling banyak adalah sporadik tetapi kejadian podemiknya, biasanya berhubungan dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi dan pada seseorang dengan immunosuppresan (Standards Unit, Department for Evaluations, Standards and Training Centre for Infections, 2010).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanda dan Gejala
Pada individu imunokompeten yang tidak hamil, infeksi toxoplasma gondii biasanya tanpa gejala. Sekitar 10-20% pasien mengembangkan limfadenitis atau sindrom, seperti flu ringan ditandai dengan demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit tenggorokan, limfadenopati dan ruam. Dalam beberapa kasus, penyakit ini bisa meniru mononukleosis menular. Gejala biasanya dapat hilang tanpa pengobatan dalam beberapa minggu ke bulan, meskipun beberapa kasus dapat memakan waktu hingga satu tahun. Gejala berat, termasuk myositis, miokarditis, pneumonitis dan tanda-tanda neurologis termasuk kelumpuhan wajah, perubahan refleks parah, hemiplegia dan koma, tapi jarang. Ensefalitis, dengan gejala sakit kepala, disorientasi, mengantuk, hemiparesis, perubahan refleks dan kejang, dapat menyebabkan koma dan kematian. Nekrosis perbanyakan parasit dapat menyebabkan beberapa abses dalam jaringan saraf dengan gejala lesi. Chorioretinitis, miokarditis, dan pneumonitis juga terjadi. Penularan Toksoplasmosis tidak secara langsung ditularkan dari orang ke orang kecuali dalam rahim (Institute for International Cooperation in Animal Biologics, 2005).
Tanda-tanda yang terkait dengan toksoplasmosis yaitu (Medows, 2005):
1) Toxoplasma pada orang yang imunokompeten
Hanya 10-20% dari infeksi toksoplasma pada orang imunokompeten dikaitkan dengan tanda-tanda penyakit. Biasanya, pembengkakan kelenjar getah bening (sering di leher). Gejala lain bisa termasuk demam, malaise, keringat malam, nyeri otot, ruam makulopapular dan sakit tenggorokan.
2) Toxoplasmosis pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah
Toxoplasmosis pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah misalnya, pasien dengan AIDS dan kanker. Pada pasien ini, infeksi mungkin melibatkan otak dan sistem syaraf, menyebabkan ensefalitis dengan gejala termasuk demam, sakit kepala, kejang-kejang dan masalah penglihatan, ucapan, gerakan atau pemikiran. manifestasi lain dari penyakit ini termasuk penyakit paru-paru, menyebabkan demam, batuk atau sesak nafas dan miokarditis dapat menyebabkan gejala penyakit jantung, dan aritmia.
3) Toxoplasma Okular
Toksoplasmosis okular oleh uveitis, sering unilateral, dapat dilihat pada remaja dan dewasa muda, sindrom ini sering merupakan akibat dari infeksi kongenital tanpa gejala atau menunda hasil infeksi postnatal. Infeksi diperoleh pada saat atau sebelum kehamilan sehingga menyebabkan bayi toksoplasmosis bawaan. Banyak bayi yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala saat lahir, namun sebagian besar akan mengembangkan pembelajaran dan visual cacat atau bahkan yang parah, infeksi yang mengancam jiwa di masa depan, jika tidak ditangani.
4) Toksoplasmosis pada wanita hamil
Kebanyakan wanita yang terinfeksi selama kehamilan tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit. Hanya wanita tanpa infeksi sebelumnya dapat menularkan infeksi ke janin. Kemungkinan penyakit toksoplasmosis bawaan terjadi ketika bayi baru lahir, tergantung pada tahap kehamilan saat infeksi ibu terjadi. Pada kondisi tertentu, infeksi pada wanita selama kehamilan menyebabkan abortus spontan, lahir mati, dan kelahiran prematur. Aborsi dan stillbirths juga dapat dipertimbangkan, terutama bila infeksi terjadi pada trimester pertama. Tanda dan gejalanya yaitu penglihatan kabur, rasa sakit, fotofobia, dan kehilangan sebagian atau seluruh keseimbangan tubuh.
5) Toxoplasmosis kongenital
Bayi yang terinfeksi selama kehamilan trimester pertama atau kedua yang paling mungkin untuk menunjukkan gejala parah setelah lahir. Tanda-tandanya yaitu demam, pembengkakan kelenjar getah bening, sakit kuning (menguningnya kulit dan mata), sebuah kepala yang sangat besar atau bahkan sangat kecil, ruam, memar, pendarahan, anemia, dan pembesaran hati atau limpa. Mereka yang terinfeksi selama trimester terakhir biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi pada kelahiran, tetapi mungkin menunjukkan tanda-tanda toksoplasmosis okular atau penundaan perkembangan di kemudian hari.

B. Diagnosa
Meskipun insiden infeksi toksoplasmosis tinggi, diagnosis klinis jarang dilakukan karena tanda klinis dari toxoplasmosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya. Uji laboratorium biasanya digunakan untuk diagnosis. Hanya mendeteksi antibodi yang spesifik saja tidak cukup karena banyak manusia dan binatang memiliki titer antibodi. Sebuah infeksi baru dapat menjadi pembeda dengan deteksi peningkatan jumlah antibodi (seroconversion) dari isotypes yang berbeda (IgG, IgM, IgA) atau dari sirkulasi. Deteksi parasit yang bebas (takizoit) pada kombinasi dengan gejala klinis dapat mengkonfirmasikan suatu infeksi, sebagai contoh pada biopsi atau abortion material. Deteksi kista jaringan (hanya seperti antibodi saja) tidak mengkonfirmasi infeksi aktif.
Identifikasi Toxoplasma gondii dalam darah atau cairan tubuh (Medows, 2005)
1. Isolasi T. gondii dalam darah atau cairan tubuh (misalnya, CSF, cairan ketuban) dengan inokulasi kultur jaringan.
2. Fluorescent antibodi atau tachyzooites pewarnaan immunoperoxidase.
3. Reaksi berantai polimerase (PCR) untuk deteksi T. gondii DNA.
4. Serologi
a) ELISA untuk mendeteksi IgG, IgM, IgA atau antibodi IgE
b) IFA deteksi IgG atau IgM.
IgM spesifik tes yang dilakukan bila diperlukan untuk menentukan waktu infeksi, misalnya dalam sebuah pregnansi. Sebuah tes negatif yang kuat IgM menunjukkan bahwa infeksi ini tidak baru, tetapi tes IgM positif sulit untuk menginterpretasikan. IgM spesifik toksoplasma dapat ditemukan hingga 18 bulan setelah infeksi akut dan positif palsu yang umum.
c) Uji aviditas imunoglobulin G.
d) Immunosorbant aglutinasi untuk IgM atau IgA.
e) Uji Sabin-Feldman dye, hemaglutinasi tidak langsung, aglutinasi lateks, aglutinasi dimodifikasi dan fiksasi komplemen.
5. Pencitraan Radiologi
a) Computed Tomography (CT) atau radiologi dapat menunjukkan toksoplasmosis otak, USG dapat digunakan pada janin dan kalsifikasi atau ventrikel membesar dalam otak bayi baru lahir.
b) CT atau MRI dapat menunjukkan beberapa kontras, bilateral meningkat (“cincin-lesi”) dalam otak.

C. Etiologi
Toksoplasmosis disebabkan oleh agen infeksi Toxoplasma gondii suatu protozoa intraseluler coccidian pada kucing, masuk dalam famili Sarcocystidae dan kelas sporozoa. Parasit ini terdiri dari empat bentuk yaitu Oocycts yang terdiri sporozoid dan terdapat di tinja, Takizoid yang secara cepat memperbanyak diri pada jaringan organisme, Brandizoit yang memperbanyak diri secara lambat pada jaringan, dan kista jaringan yang ditemukan pada otot dan sistem saraf pusat yang terdiri dari barandizoit yang tidak aktif (Knapen, 2008).

Hospes definitif dari T. Gondii adalah kucing dan jenis felines. Hanya felines yang mengandung parasit pada jalur intestinal, dimana fase seksual dari siklus hidup sangat berpengaruh, yang menghasilkan ekskresi dari oocysts pada feces untuk 10-20 hari atau bisa lebih lama. Hospes intermediet dari T. gondii adalah domba, kambing, tikus, babi, lembu, ayam, dan birung; semua dapat membawa fase infektif (cystozoite atau brandyzoite) dari T. gondii adalah kista pada jaringan, terutama otot dan otak. Cysts jaringan menunjukkan keadaan lamanya periode, kemungkinan selama kehidupan binatang (Knapen, 2008).

T. gondii mengalami siklus reproduksi aseksual disemua spesies. Kista jaringan atau oocyst larut selama digesti, mengahasilkan bradizoit atau sporozoit, yang masuk ke lamina propria pada usus kecil dan mulai untuk memperbanyak diri sebagai takizoid. Takizoid dapat menyebar pada jarinngan eksternal dengan waktu singkat melalui limfa dan darah. Mereka dapat masuk pada beberapa sel dan memperbanyak diri. Sel dari host akhirnya pecah dan menghasilkan takizoid masuk ke sel yang baru. Ketika host berkembang menjadi resisten, kira-kira 3 minggu setelah infeksi, takizoid mulai menghilang dari dalam jaringan dan menjadi bentuk resting brandizoid dalam kista jaringan (Knapen, 2008).
Kista paling sering ditemukan pada otot skeletal, otak, dan miocardium. Mereka umumnya tidak menyebabkan reaksi pada host dan dapat bertahan hidup. Pada Felidae sebagai host devinitif, parasit secara serempak mengalami siklus replikasi seksual. Setelah ingesti, beberapa brandizoit memperbanyak diri dengan sel epitel pada usus kecil. Setelah beberapa siklus replikasi aseksual, brandizoit mulai siklus seksual (gametogoni), yang menghasilkan bentuk unsporulated oocyst. Oocyst dihasilkan pada feces and sporulat pada lingkungan. Sporulasi terjadi kira-kira 1 sampai 5 hari pada kondisi yang ideal, tapi dapat terjadi pada beberapa minggu. Setelah sporulasi, oocyst terdiri dari dua sporocysts dengan empat sporozoites. Kucing biasanya menghasilkan oocyts pada satu sampai dua minggu (Knapen, 2008).

Oocysts memiliki daya tahan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan dan dapat tetap infeksius selama 18 bulan pada air, cuaca panas, dan tanah yang basah. Mereka tidak dapat bertahan dengan baik pada tanah yang gersang dan iklim dingin. Kista jaringan dapat infeksius selama berminggu-minggu pada darah di suhu kamar, dan pada daging selama daging tersebut dapat dimakan dan kurang matang. Takizoid lebih rentan dan dapat bertahan pada tubuh selama berhari-hari dan di seluruh aliran darah selama 50 hari pada suhu 4oC. Pada manusia, periode inkubasi terjadi selama 10 sampai 23 hari setelah menkonsumsi daging yang terkontaminasi dan 5 sampai 20 hari setelah terpapar kucing yang terinfeksi (Knapen, 2008).
Infeksi transplasenta pada manusia terjadi ketika wanita hamil yang dengan cepat mengedarkan takizoit dalam sirkulasi darah. Biasanya infeksi primer. Anak-anak dapat terinfeksi oleh ingesti infeksi oocysts dari tempat makan yang kotor, tempat bermain dan halaman tempat kucing defekasi. Infeksi dapat didapat dari makan makanan mentah, atau kurang matang yang terinfeksi (daging babi atau domba,dan lebih jarang pada daging sapi) yang terdapat di kista jaringan, atau ingesti dari infeksi oocysts pada makanan atau minuman yang terkontaminasi feces kucing. Infeksi dapat terjadi pada tranfusi darah atau transplantasi organ dari pendonor yang terinfeksi.
Selama invasi akut parasit Toxoplasma (proliferatif fase, takizoit), ada kerusakan ringan jaringan utama (Nekrosis). Histologi menunjukkan infiltrasi inflammatori terdiri sel bulat dengan parasit bebas dan pembentukan kista di perbatasan. Mungkin karena kombinasi dari respon kekebalan seluler dan humoral, parasit dipaksa menjadi tahap beristirahat (kista jaringan). Toksoplasmosis laten ini yang ditandai oleh kista kurang lebih bulat dengan dinding yang tegas (Knapen, 2008).
Sejak parasit toxoplasma tidak menunjukkan preferensi jenis sel, tanda-tanda klinisnya adalah variabel. Orang dewasa punya cukup kekebalan untuk melawan infeksi dan infeksi yang paling jauh melanjutkan tanpa gejala klinis. Kadang-kadang parasitemia adalah terlihat ketika kronis (laten) infeksi yang diaktifkan kembali. Perhatian khusus harus diberikan ketika infeksi laten muncul lagi karena imunosupresi. Hal ini dapat merupakan hasil dari lain infeksi (virus), atau dari pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid atau cytostatics. Ketika gejala-gejala klinis terjadi setelah akut, mengakuisisi infeksi toksoplasmosis, sebagian besar tanda-tanda jelas adalah limfadenitis, demam dan malaise. Dalam kasus yang jarang terjadi hepatitis yang parah, splenitis, pneumonia, polymyositis atau bahkan meningoensefalitis dapat terjadi (Knapen, 2008).

D. Pencegahan
Terdapat beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari penyakit toksoplasmosis, antara lain (Chin, 2000):
1. Mendidik ibu hamil tentang langkah-langkah pencegahan:
a. Gunakan iradiasi daging atau memasak daging pada suhu 1500F (660C) sebelum dimakan. Pembekuan daging tidak efektif untuk menghilangkan Toxoplasma gondii.
b. Ibu hamil sebaiknya menghindari pembersihan sampah panci dan kontak dengan kucing. Memakai sarung tangan saat berkebun dan mencuci tangan setelah kerja dan sebelum makan.
2. Makanan kucing sebaiknya kering, kalengan atau rebus dan mencegah kucing tersebut berburu (menjaga mereka sebagai hewan peliharaan dalam ruangan)
3. Menghilangkan feses kucing (sebelum sporocyst menjadi infektif). Feses kucing dapat dibakar atau dikubur. Mencuci tangan dengan bersih setelah memegang material yang berpotensial terdapat Toxoplasma gondii.
4. Cuci tangan sebelum makan dan setelah menangani daging mentah atau setelah kontak dengan tanah yang mungkin terkontaminasi kotoran kucing.
5. Control kucing liar dan mencegah mereka kontak dengan pasir yan digunakan anak-anak untuk bermain.
6. Penderita AIDS yang telah toxoplasmosis dengan gejala yang parah harus menerima pengobatan profilaksis sepanjang hidup dengan pirimetamin, sulfadiazine dan asam folinic.
E. Pengobatan
Wanita yang memiliki toxoplasmosis selama hamil adalah pengobatan secara rutin. Miskipun efikasinya msih menjadi perdebatan, pengobatan dini dapat menghambat kecepatan prosesinfeksi dan perkembangnya pada anak (Gnansia, 2003).
a. Sebelum 30 minggu, jika toxoplasma tidak terdeteksi dengan cairan amniotik dan jika test ultra soun normal, maka menggunakan spiramycin dengan 9 juta UI per hari sampai persalinan. Jika toxoplasma terdeteksi pada cairan amniotik fluid dan jika test ultrasound normal, maka menggunakan pyrimethamine dan sulfonamides, bersama dengan folic acid. Pada kasus cerebral microcalcifications atau hydrocephaly didiagnosis dengan ultrasound, seebuah penghentian kehamilan dapat diajukan ke orangtua (Gnansia, 2003).
b. Setelah 30 minggu, resiko transmisi transplasenta tinggi, maka pengobatan menggunakan pyrimethamine dan sulfonamides (Gnansia, 2003).
c. Ketika lahir, meskipun tidak ada bukti transmisi toxoplasma melalui through the placenta, infeksi congenital tidak dapat dihilangkan. Hal tersebut kemudian dipastikan untuk menguji kelahiran baru dengan transfontanellar ultrasonography dan ophthalmologic surveillance. Jika uji klinik dan serologi negatif, tidak ada pengobatan. Infeksi pada anak harus diobati dengan pyrimethamine and sulfonamides selama 12 bulan (Gnansia, 2003).

F. Prognosis
Suatu bentuk khusus dari toksoplasmosis adalah toksoplasmosis bawaan. Jika seorang wanita terkena toksoplasma saat hamil, uterus dan janin yang belum lahir dapat menjadi terinfeksi. Pada kehamilan awal ini dapat menyebabkan cacat parah dari janin yang mengarah ke aborsi atau malformasi yang tidak kompatibel dengan kehidupan segera setelah lahir. Sebuah mayoritas infeksi bawaan namun tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun setelah lahir, sebelum gejala klinis yang terkait dengan bawaan toksoplasmosis ditemukan (keterbelakangan mental, cacat mata) (Knapen, 2003). Penyakit ini dapat menimbulkan kematian walaupun kasusnya sangat jarang ditemukan. Jika dilakukan pengobatan yang adekuat maka, penyakit ini dapat sembuh (Carme, 2004).

BAB IV
PENUTUP

1. Toksoplasmosis disebabkan oleh agen infeksi Toxoplasma gondii suatu protozoa intraseluler coccidian pada kucing, masuk dalam famili Sarcocystidae dan kelas sporozoa.
2. Tanda-tanda yang terkait dengan toksoplasmosis tanpa gejala. pasien mengembangkan limfadenitis atau sindrom, seperti flu ringan ditandai dengan demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit tenggorokan, limfadenopati dan ruam. myositis, miokarditis, pneumonitis dan tanda-tanda neurologis termasuk kelumpuhan wajah, perubahan refleks parah, hemiplegi, koma, dan ensefalitis.
3. Diagnosis dapat dilakukan dengan cara Isolasi, pewarnaan immunoperoxidase, PCR, serologi, dan pencitraan radiologi.
4. Pencegahan dapat dilakukan dengan pendidikn pada ibu hamil, memperhatikan makanan kucing, menghilangkan feses kucing, PHBS, kontrol kucing liar, dan pengobatan profilaksis pada penderita AIDS.
5. Pengobatan dapat dilakukan dengan memberi Pyrimethamine (Daraprim) Sulfadiazine dan asam folinik.
6. Prognosis Toxoplasmosis adalah dapat menimbulkan cacat dan kematian, namun dapat disembuhkan dengan pengobatan yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

Carme, B. et all. 2004. Severe Acquired Toxoplasmosis Caused by Wild Cycle of
Toxoplasma gondii, French Guiana.http://www.cdc.gov/eid/conteent/15/4/
pdfs/656.pdf. Diakses pada tanggal 9 Mei 2011.

Chin, James. 2000. Control of Communicable Diseases Manual. An Official
Report of The American Public Health Association.

Gnansia, Robert. 2003. Congenital Toksoplasmosis. Orphanet Encyclopedia
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-toxo. Diakses pada tanggal 9 Mei
2011.

Institute for International Cooperation in Animal Biologics. 2005.Toxoplasmosis.
www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/toxoplasmosis.pdf. Diakses tanggal
9 Mei 2011.

Medows, RM. 2005. Toxoplasmosis Fact Sheet. Georgia Departement Of Community Health. http://www.health.state.ga.us/pdfs/epi/zvbd /Toxoplasmosis%20FS.pdf. Diakses tanggal 9 Mei 2011.

Standards unit, department for evaluations, standards and training centre for
infections.2010. Investigation of Toxoplasma Infection in Pregnancy.
http://www.hpa-standardmethods.org.uk/documents/qsop/pdf/qsop59
.pdf. Diakses tanggal 9 Mei 2011.

Knapen, Van; Overgaauw, P.A.M. 2008. Toxoplasmosis. http://www.fecava.
org/files/EJCAP%2018-3%20p242-245%20Toxoplasmosis.pdf. Diakses
tanggal 9 Mei 2011.

Jones, Effrey; Lopez, Adriana; Wilson, Marianna. 2003. Congenital
Toxoplasmosis. http://www.maternofetal.net/PDF/TOXOcongenita.pdf. Diakses tanggal 9 Mei 2011.

Makalah Trikomoniasis (Trichomoniasis)

BAB I
PENDAHULUAN

Trikomoniasis (biasanya disebut sebagai “trich”) adalah penyakit menular seksual yang paling umum dapat disembuhkan di dunia. Penyakit ini juga merupakan salah satu dari tiga infeksi vagina yang paling umum pada wanita. Trikomoniasis disebabkan oleh parasit Trichomonas vaginalis atau tricomonad. T. vaginalis adalah organisme berbentuk buah pir yang mendorong dirinya dengan empat flagel seperti cambuk yang menonjol dari ujung depannya. Sebuah flagel kelima, melekat ke membran bergelombang, memanjang ke belakang. Sebuah ekor berduri yang disebut axostyle merupakan ujung dari T. vaginalis. Hal ini dipercaya bahwa T. vaginalis menempelkan diri ke jaringan dengan axostyle mereka yang menyebabkan beberapa iritasi dan peradangan yang berhubungan dengan infeksi trikomoniasis. T. vaginalis memiliki ukuran yang bervariasi antara 5-20 µm. Dalam sediaan basah cairan vagina, organisme hidup dapat dikenali dengan gerakkannya, yang telah digambarkan seperti menyentak, berayun atau berjatuhan. T. vaginalis adalah anaerobik dan tumbuh baik tanpa oksigen, di lingkungan dengan keasaman rendah. Pertumbuhan maksimum dan fungsi mentabolik dicapai pada pH 6,0. Reproduksi T. vaginalis dengan pembelahan biner, tidak seperti kebanyakan protozoa patogen, kista T.vaginalis tidak terbentuk (Center for Disease Control, 2011).
Trichomonas vaginalis merupakan protozoa patogen dengan derajat tertentu yang sebagian besar menyerang wanita pada traktus urogenitalis bagian bawah. Infeksi ini mungkin bergejala atau mungkin tidak bergejala dan merupakan infeksi menular seksual. Ada dua jenis spesies lainnya yang dapat ditemukan pada manusia, yaitu T. tenax yang hidup di rongga mulut dan Pentatrichomonas hominis yang hidup dalam kolon, yang keduanya terbukti tidak menimbulkan penyakit. Pertama kali divisualisasikan oleh Donne pada tahun 1836, T. vaginitis pertama kali ditunjukkan pada awal abad ke-20, sebagai akibat dari studi inokulasi yang merupakan protozoa patogenik (Cook, 2009).

BAB II
PERMASALAHAN

Menurut perkiraan tahunan WHO, ada 7,4 juta kasus trikomoniasis diperkiraan setiap tahun di Amerika Serikat, dengan lebih dari 180 juta kasus yang dilaporkan di seluruh dunia. Jumlah sebenarnya orang yang terinfeksi trikomoniasis mungkin jauh lebih tinggi dari itu. Menurut CDC (Center for Disease Control), uji diagnostik yang paling umum digunakan hanya memiliki sensitivitas sebesar 60%-70% (Center for Disease Control, 2011).
Berikut adalah diagram yang menggambarkan prevalensi dari penyakit Trikomoniasis di dunia:

Grafik tersebut menunjukkan prevalensi Trikomoniasis di berbagai populasi. Tingkat Prevalensi adalah 4,8% wanita di klinik perguruan tinggi, 13,8% wanita remaja, 18,5% wanita di klinik STD, dan 13,1 persen pria di klinik STD (Center for Disease Control, 2011).
Pada akhir 2007, peneliti dari CDC melaporkan bahwa prevalensi infeksi T. vaginalis sebesar 3,1% pada sampel penelitian dari 3.754 wanita usia 14-49 tahun. Prevalensi trikomoniasis pada wanita sangat bervariasi tergantung pada populasi yang diteliti. Sebuah studi melaporkan bahwa wanita yang rutin ke pelayanan reproduksi di klinik perguruan tinggi terdapat prevalensi trikomoniasis sebesar 4,8%. Beberapa studi telah menunjukkan prevalensi yang jauh lebih tinggi dengan infeksi (10-18,5%) di antara wanita muda yang tinggal di daerah perkotaan dan prevalensi di klinik STD di kota biasanya hampir 25% (Center for Disease Control, 2011).
Pria yang terdiagnosis trikomoniasis lebih sedikit daripada wanita. Dua alasan utama untuk hal ini adalah bahwa gejala infeksi Trichomonas kurang jelas pada pria dan detekti infeksi yang lebih sulit (kompleks). Studi pada populasi pasien pria di klinik STD telah melaporkan bahwa prevalensi trikomoniasis pada pria antara 11% dan 17%. Prevalensi trikomoniasis diantara pasangan seksual pria yang menginfeksi wanita lebih dari 73%. Studi CDC tersebut menunjukkan perbedaan ras pada wanita yang terinfeksi dengan T. vaginalis. Prevalensi trikomoniasis kalangan wanita kulit hitam non-Hispanik adalah 10,3 kali lebih tinggi daripada wanita kulit putih non-Hispanik atau wanita Meksiko Amerika (13,3% dibanding 1,3% dan 1,8% masing-masing) (Center for Disease Control, 2011).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Keluhan dan Gejala Penyakit
Gejala pada wanita biasanya muncul antara 5 sampai 28 hari setelah terpapar, akan tetapi gejala tersebut dapat juga muncul dalam waktu beberapa bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Infeksi dapat ditularkan kepada orang lain meskipun mereka tidak mengalami gejala apapun. Gejala yang ditimbulkan oleh trikomoniasis ini antara lain:
a. Peradangan
Pada wanita, trikomoniasis dapat menyebabkan vaginitis (peradangan pada vagina), sedangkan pada pria dapat menyebabkan urethritis (peradangan pada saluran kencing) di dalam penis.
b. Keluarnya nanah berwarna kuning kehijau-hijauan atau abu-abu dari vagina (bahkan terkadang berbusa).
c. Bau yang kuat dan rasa sakit pada saat kencing ataupun berhubungan seksual.
d. Iritasi atau gatal-gatal di sekitar vagina.
e. Sakit perut bagian bawah (jarang ditemukan).
f. Pada pria biasanya keluar nanah dari penis.
(Krieger et al.,1993 dan Robert, 2000 dalam Egbere et al. (2009))

Meskipun trikomoniasis telah lama dianggap sebagai infeksi menular seksual yang kurang penting, tetapi bukti baru-baru ini menyatakan bahwa implikasi dari akumulasi Tricomonas vaginalis dapat mengkontribusi terjadinya hal-hal yang merugikan baik bagi wanita maupun pria. Dampak trikomoniasis bagi kesehatan wanita antara lain:
a. Faktor risiko HIV
T. vaginalis dapat memperkuat transmisi infeksi HIV. Penanganan wanita yang terinfeksi T. vaginalis menyebabkan penurunan 4,2 kali lipat jumlah infeksi HIV-1 pada sektret vagina.
b. Terkait dengan Herpes Simplex Virus-2 (HSV-2)
Insiden trikomoniasis merupakan prediktor independen dari insiden herpes simplex virus-2, wanita dengan trikomoniasis memiliki risiko empat kali terkena infeksi HSV-2.
c. Kontributor infertilitas pada wanita
T. vaginalis dapat berfungsi sebagi pembawa penyebaran organisme lain dengan membawa patogen-patogen ke tuba falopi. Beberapa penelitian menunjukkan T. vaginalis menjadi risiko infertilitas tuba.
d. Penyakit radang panggul (PID)
Peningkatan yang signifikan dari penyakit radang panggul pada wanita dengan infeksi trikomoniasis dibandingkan wanita yang tidak terinfeksi trikomoniasis. Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita yang terinfeksi Clamydia dan Trichomonas memiliki kemungkinan terkena penyakit traktus bagian atas yang simtomatik.
e. Neoplasia serviks
Infeksi T. vaginalis berhubungan dengan peningkatan risiko dua kali lipat neoplasia serviks, meskipun setelah mengontrol infeksi human papillomavirus (HPV)
f. Kelahiran prematur
Komplikasi kehamilan seperti persalinan prematur dan bayi berat lahir rendah berhubungan dengan infeksi T. vaginalis pada beberapa penelitian. Penanganan trikomoniasis asimtomatik pada kehamilan merupakan suatu kontroversi.
(Center for Disease Control, 2011)

Sedangkan dampak trikomoniasis pada kesehatan pria antara lain:
a. Faktor risiko HIV
Terjadi peningkatan enam kali lipat konsentrasi HIV di air mani pada pria yang terinfeksi HIV positif dengan trikomoniasis dibandingkan dengan pria yang tidak terinfeksi Trichomonas.
b. Kontributor infertilitas pada pria
Diantara pria yang terkena trikomoniasis, terjadi penurunan yang signifikan pada motilitas sperma dan viabilitas sperma. Penanganan trikomoniasis menunjukkan perbaikan yang signifikan para motilitas sperma, viabilitas, dan viskositas sperma.
c. Nongonococcal Uretritis (NGU)
Trikomoniasis mungkin merupakan penyebab penting uretritis nongonococcal. Sebuah penelitian menemukan bahwa pada pria dengan NGU, terdapat 19,9% yang terinfeksi Trichomonas.
d. Prostatitis kronis
Suatu penelitian yang melibatkan pria dengan prostatitis kronis ditemukan bahwa 71% penyebab terjadinya prostatitis adalah infeksi Trichomonas dengan infeksi spesifik 19%dari pria.
(Center for Disease Control, 2011)

2. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Trikomoniasis sering kali tidak terdiagnosis. Tes diagnostik yang paling umum digunakan adalah yang terbaik 60-70% sensitif menurut Center for Disease Control. Baik wanita dan pria, penyedia pelayanan kesehatan harus melakukan pemeriksaan fisik dan uji laboratorium untuk mendiagnosis trikomoniasis, antara lain sebagai berikut:
a. Wet Mount
Wet mount adalah metode yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis trikomoniasis. Metode ini menujukkan sensitivitas sebesar 60%. Untuk metode ini, spesimen ditempatkan dalam medium kultur selama 2-7 hari sebelum diperiksa. Jika trichomonads hadir dalam spesimen asli, mereka akan berkembang biak dan lebih mudah untuk dideteksi. Hal ini baik sangat sensitif dan sangat spesifik.
b. VPIII Tes Identifikasi Mikroba (BD)
VPIII Tes Identifikasi mikroba (BD) adalah uji yang mengidentifikasi DNA mikroba yang ada pada kompleks penyakit vaginitis. Identifikasi spesies Candida, Gardnerella vaginalis, dan Trichomonas vaginalis dapat ditemukan dari sampel vagina tunggal. Sensitivitas tes untuk mendeteksi T. vaginalis tinggi, dan dapat memberikan hasil hanya dalam 45 menit.
c. Trichomonas Rapid Test
Trichomonas Rapid Test adalah tes diagnostik yang mendeteksi antigen untuk trikomoniasis. Dengan memasukkan sampel usap vagina ke dalam tabung reaksi dengan 0,5 ml buffer khusus dengan beberapa perlakuan dan kemudian hasilnya dapat dibaca dalam waktu 10 menit. Uji ini lebih sensitif dibandingkan uji wet mount.
d. Polymerase Chain Reaction
Dalam Polymerase Chain Reaction (PCR), sampel diperlakukan dengan enzim yang memperkuat daerah tertentu dari DNA T. vaginalis. PCR telah terbukti sebagai metode diagnostik yang paling akurat dalam studi baru-baru ini. Namun, PCR saat ini hanya digunakan dalam penelitian, bukan pengaturan klinis.
e. Kalium Hidroksida (KOH) “Test Whiff”
Uji ini adalah teknik dasar yang dapat digunakan sebagai bagian dari diagnosis klinis. Pengujian dilakukan dengan mencampurkan usapan cairan vagina dengan larutan kalium hidroksida 10%, kemudian menciumnya. Bau amina (amis) yang kuat bisa menjadi indikasi trikomoniasis atau vaginosis bakteri.
f. Test pH vagina
Trichomonads tumbuh terbaik di lingkungan asam kurang, dan pH vagina meningkat mungkin merupakan indikasi trikomoniasis. Sebuah penyedia layanan kesehatan melakukan tes dengan menyentuhkan kertas pH pada dinding vagina atau spesimen usap vagina, kemudian membandingkannya dengan skala warna untuk menentukan pH.
g. Pap Smear
Uji Pap Smear adalah pemeriksaan mikroskopis dari spesimen. Hal ini terutama digunakan sebagai tes diagnostik untuk screening berbagai kelainan serviks dan infeksi kelamin. Meskipun kadang-kadang dapat mendeteksi trichomonads, uji diagnosa ini memiliki tingkat kesalahan tinggi dan tidak cocok untuk screening kecuali digunakan bersamaan dengan tes yang lebih sensitif.

3. Etiologi
Etiologi dari penyakit trikomoniasis ini adalah Trichomonas vaginalis. Trichomonas vaginalis ini termasuk dalam domain Eukarya, kingdom Protista, filum Metamonada yang termasuk dalam protozoa yaitu flagellata, Kelas Parabasilia, ordo Trichomonadida, genus Trichomonas dan spesies Trichomonas vaginalis (Strous, 2008).

Sejumlah faktor telah dikaitkan dengan peningkatan risiko terlular trikomoniasis, antara lain:
a. Multiple Sex Partners (pasangan seks lebih dari satu)
b. Merupakan keturunaan Afrika
c. Sebelumnya atau sedang terinfeksi PMS lain
d. Bakterial vaginosis
e. (derajat keasaman) pH vagina yang tinggi
(Center for Disease Control, 2011)
Parasit Trichomonas vaginalis tersebar melalui hubungan seksual yaitu hubungan penis dengan vagina atau vulva dengan vulva (daerah kelamin luar vagina) jika kontak dengan pasangan yang terinfeksi. Wanita dapat terkena penyakit ini dari infeksi pria atau wanita, tetapi pria biasanya hanya mendapatkan dari wanita yang terinfeksi. Suatu salah pengertian yang umum adalah infeksi ini dapat ditularkan melalui toilet duduk, handuk basah atau kolam air panas. Hal ini tidak mungkin karena parasit tidak bisa hidup lama di benda dan permukaannya (Center for Disease Control, 2011).
Sejak ditemukannya trikomoniasis sebagai penyakit menular seksual, mereka yang kemungkinan besar menyebarkan trikomoniasis adalah orang yang meningkatkan aktivitas seksual dan memiliki lebih dari pasangan. Trikomoniasis kadang-kadang disebut “penyakit ping-pong” karena pasangan seksual sering menyebarkan kembali. Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat kesembuhan akan meningkat dan tingkat kambuh turun ketika pengobatan dilakukan pada pasangan seksual dalam waktu yang sama (Center for Disease Control, 2011).
Organisme T. vaginalis ada di dalam epitel skuamosa dan sangat sedikit yang berasal dari endoserviks, sedangkan T. vaginalis yang terdapat di dalam uretra ditemukan 90% dari kasus Trikomoniasis. Dan sangat sedikit pula ditemukan pada epididimis dan prostat pada pria. Infeksi T. vaginalis disertai oleh sejumlah besar polymorphonuclear neutrofil (PMNs) yaitu mekanisme pertahanan diri tubuh yang bersama-sama dengan makrofag, membunuh organisme tersebut yang disertai atau ditunjukkan dengan keluarnya cairan dari vagina. Organisme T. vaginalis tidak invasif, ada yang hidup bebas di dalam rongga vagina atau di dalam epitelnya. Sekitar 50% kasus trikomoniasis terjadi perdarahan mikroskopis (menggunakan teknik yang sesuai). IgA lokal biasanya terdeteksi, tetapi konsentrasi serum antibodi tersebut masih rendah (Cook, 2009).

4. Cara Pencegahan
a. Melakukan ANC selama masa kehamilan utuk skrining IMS (Infeksi Menular Seksual)
b. Meningkatkan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan
c. Seks yang aman dan dengan satu pasangan
d. Peningkatan status sosial ekonomi
(Jatau et al., 2006)

5. Cara Pengobatan
Telah ditemukan bahwa metronidazol berhasil membunuh T. vaginalis, akan tetapi penggunaannya selama kehamilan menjadi kontroversi karena dapat menyebabkan mutagenesis dan bersifat karsinogen pada model yang digunakan dalam uji laboratorium. Burtin dkk melaporkan meta analisis dari tujuh studi yang menunjukkan bahwa metronidazol tidak meningkatkan risiko lahir cacat pada janin selama trimester pertama, sehingga metronidazol disarankan untuk digunakan hanya selama trimester kedua dan trimester ketiga. Pengobatan selama kehamilan pada wanita dan pasangan seksnya berpotensi untuk mencegah komplikasi kelahiran prematur serta infeksi pada keturunannya, karena apabila pasangan seks tidak mendapatkan pengobatan, maka wanita dapat terkena trichomoniasis kembali (Smith et al., 2002).
Tinidazole (2 gr dosis oral tunggal) merupakan terapi minimal yang memiliki keunggulan lebih daripada metronidazole untuk pengobatan trikomoniasis. Pada resistensi metronidazole, tinidazole (dalam berbagai dosis) telah mencapai tingkat kesembuhan 90% dan lebih tinggi. Perbedaan yang paling penting antara kedua obat ini yaitu tinidazole yang lebih toleransi dan kurang toksik dibandingkan metronidazole, bahkan pada dosis yang tinggi (Center for Disease Control, 2011).
6. Prognosis
Pada wanita terjadi penyembuhan spontan kira-kira sebesar 20-25% setelah 6 minggu pengobatan. Pemberian antibiotik dapat mengobati 95% wanita yang terinfeksi setelah 6 minggu pengobatan (NHS, 2010).

BAB IV
PENUTUP

1. Trikomoniasis (biasanya disebut sebagai “trich”) adalah penyakit menular seksual yang paling umum dapat disembuhkan di dunia. Penyakit ini juga merupakan salah satu dari tiga infeksi vagina yang paling umum pada wanita. Trikomoniasis disebabkan oleh parasit Trichomonas vaginalis atau tricomonad yang dapat menginfeksi wanita maupun pria.
2. Menurut perkiraan tahunan WHO, ada 7,4 juta kasus trikomoniasis diperkiraan setiap tahun di Amerika Serikat, dengan lebih dari 180 juta kasus yang dilaporkan di seluruh dunia.
3. Gejala pada wanita biasanya muncul antara 5 sampai 28 hari setelah terpapar, akan tetapi gejala tersebut dapat juga muncul dalam waktu beberapa bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Infeksi dapat ditularkan kepada orang lain meskipun mereka tidak mengalami gejala apapun. Pada wanita, trikomoniasis dapat menyebabkan vaginitis (peradangan pada vagina), sedangkan pada pria dapat menyebabkan urethritis (peradangan pada saluran kencing) di dalam penis. Keluhan dan gejala lainnya: keluarnya nanah berwarna kuning kehijau-hijauan atau abu-abu dari vagina (bahkan terkadang berbusa), Bau yang kuat dan rasa sakit pada saat kencing ataupun berhubungan seksual, iritasi atau gatal-gatal di sekitar vagina, sakit perut bagian bawah (jarang ditemukan), pada pria biasanya keluar nanah dari penis.
4. Pemeriksaan penunjang diagnostik trikomoniasis antara lain: Wet Mount, VPIII Tes Identifikasi Mikroba (BD), Trichomonas Rapid Test, Polymerase Chain Reaction, Kalium Hidroksida (KOH) “Test Whiff”, Test pH vagina, dan Pap Smear
5. Etiologi dari penyakit trikomoniasis ini adalah Trichomonas vaginalis.
7. Cara pencegahan trikomoniasis yaitu: melakukan ANC selama masa kehamilan utuk skrining IMS (Infeksi Menular Seksual), meningkatkan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan, seks yang aman dan dengan satu pasangan, peningkatan status sosial ekonomi.
6. Cara pengobatan trikomoniasis yaitu dengan metronidazole dan tinidazole.
7. Prognosis penyakit trikomoniasis

DAFTAR PUSTAKA

Cook, G. 2009. Trichomonal Infection. Saunders Elsevier, Amsterdam.
Egbere, J, et al. 2009. Trichomonas vaginalis and Human Immunodeficiency Virus (HIV) in Women Attending Gynaecology Clinic at Plateau State Specialist Hospital, Jos, Nigeria. Nigerian Journal of Microbiology, Vol. 23 (1);1864–1868. http://nsmjournal.org/ overall/journal/pdf/ TRICHOMONAS/ VAGINALIS/19.pdf. Diakses tanggal 5 Mei 2011.

Jatau, D., et al. 2006. Prevalence of Trichomonas Infection among Women Attending Antenatal Clinics in Zaria, Nigeria. Annals of African Medicine Vol. 5, No. 4; 2006: 178 – 181. http://bioline.org.br/pdf. Diakses tanggal 5 Mei 2011.

NHS. 2010. Trichomoniasis. http://cks.nhs.uk/clinical_knowledge/ clinical_topics/ previous_version/trichomoniasis.pdf. Diakses tanggal 7 Mei 2011.

Smith, MD., et al. 2002. Trichomonas vaginalis Infection in a Premature Newborn. http://nature.com/jp/journal/v22/n6/full/7210714a.pdf. Diakses tanggal 5 Mei 2011.

Makalah Kanker ( Gizi Diit )

BAB I
PENDAHULUAN
Kanker adalah salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang. Gumawan Achmad seorang ginekolog (Kompas, 2001) menyatakan bahwa dua pertiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu, Siti Fadilah Supari (2005), menyatakan bahwa kanker telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Begitu pula dalam sambutannya ketika membuka Temu Ilmiah Dokter Bedah Onkologi Indonesia ke-1 (1stInternational Scientific Meeting di Indonesi Society of SurgicalOncologyst/ISSO), beliau menyatakan bahwa jumlah pasien kanker di Indonesia mencapai 6% dari 200 juta lebih penduduk Indonesia (Media Indonesia, 2005). Bahkan telah diperkirakan bahwa menjelang permulaan abad ke-21, peta penyakit di Indonesia akan mendekati peta penyakit di negara maju dimana penyakit kanker berada padaurutan ketiga penyebab terjadinya kematian setelah penyakitkardiovaskuler dan kecelakaan (Tambunan, 1995 dalam Lumungga 2009).
Di Amerika Serikat, lebih dari 450.000 orang meninggal dunia setiap tahun karena penyakit kanker. Sekitar 70-90% dari penyakit kanker tersebut berkaitan dengan lingkungan dan gaya hidup (life style). Kurang Iebih 30% dari kematian tersebut karena rokok. Faktor-faktor keturunan (genetik), radiasi, polusi dan eksposur lainnya memberikan kontribusi 45.000-90.000 kematian. Dari seluruh penyakit kanker yang disebabkan faktor lingkungan, sekitar 40-60% berhubungan dengan faktor gizi. Dalam tahun 1984, 22% dari seluruh kematian di Amerika Serikat, disebabkan karena kanker. Dan 965.000 kasus baru yang didiagnosis menderita kanker, 483.000 di antaranya meninggal dunia. Diperkirakan 60-70% kanker disebabkan karena faktor lingkungan, terutama makanan dan rokok (Sudiman, 1991).
Oleh karena sangat pesatnya pertambahan penderita kanker, sangat penting bagi masyarakat untuk menghindari penyakit kanker dengan mengetahui faktor-faktor penyebabkanker dan melakukan tindakan pencegahan agar kanker tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya dengan salah satu caranya yaitu melakukan diit kanker.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kanker
Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel-sel kanker akan berkembang dengan cepat, tidak terkendali, dan terus membelah diri, selanjutnya menyusup ke jaringan di sekitarnya (invasive) dan terus menyebar melalui jaringan ikat, darah, dan menyerang organ-organ penting serta saraf tulang belakang. Dalam keadaan normal, sel hanya akan membelah diri jika ada penggantian sel-sel yang telah mati dan rusak. Sebaliknya, sel kanker akan membelah terus meskipun tubuh tidak memerlukannya, sehingga akan terjadi penumpukan sel baru. Penumpukan sel tersebut mendesak dan merusak jaringan normal, sehingga mengganggu organ yang ditempatinya (Mangan, 2009).
Kanker adalah suatu jenis penyakit berupa pertumbuhan jaringan yang tidak terkendali kerena hilangnya mekanisme kontrol sel sehingga pertumbuhan menjadi tidak normal. Penyakit ini dapat menyerang semua bagian organ tubuh. Baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Akan tetapi, lebih sering menyerang orang yang berusia 40 tahun (Uripi, 2002).
B. Penyebab Kanker
Dalam Lumungga (2009) ada empat faktor utama penyebab kanker seperti lingkungan, makanan, biologis dan psikologis. Berikut ini adalah penjelasan mengenai keempat faktor penyebab kanker tersebut, yaitu:
1. Lingkungan
a. Bahan kimia
Zat yang terdapat pada asap rokok yang dapat menyebabkankanker paru pada perokok aktif dan perokok pasif (orang yang bukanperokok atau tidak sengaja menghirup asap rokok orang lain) dalamjangka waktu yang lama. Bahan kimia untuk industri serta asap yangmengandung senyawa karbon dapat meningkatkan kemungkinanseorang pekerja industri menderita kanker (Family’s Doctor, 2006).
b. Penyinaran yang berlebihan
Sinar ultra violet yang berasal dari matahari dapat menimbulkan kanker kulit. Sinar radio aktif sinar X yang berlebihan atau radiasi dapat menimbulkan kanker kulit dan leukimia (Family’s Doctor, 2006).
c. Merokok
Perlu diketahui bahwa rokok putihbertanggung jawab 90% dari semua kasus kanker paru-paru yangmenjadi penyebab utama kematian baik dari wanita daripada pria.Setiap kali merokok maka akan menghirup sedikitnya 60 zatkarsinogen yang dapat menyebabkan kanker.
d. Polusi udara
Menurut Chen Zichou (www.antara.co.id) seorang ahli InstitutPenelitian Kanker mengatakan, penyebab utama meningkatnyajumlah kanker di China disebabkan polusi udara, lingkungan, kondisiair yang kian hari kian memburuk. Banyak perusahaan kimia danindustri yang membuang limbahnya kesungai dengan mudah. Hal inimenyebabkan air yang ada di sungai terkontaminasi oleh limbah yangberasal dari perusahaan-perusahaan yang ada disekitar sungai.Akibatnya air yang terkontaminasi tersebut secara langsung berakibatterhadap tumbuh-tumbuhan dan makanan.
2. Makanan
Para ilmuwan mendapatkan bahwa makanan-makanantertentu adalah sumber kanker. Makanan-makanan tersebut menjadisumber kanker oleh sebab adanya zat-zat kimia tertentu. Makananyang dapat menyebabkan kanker adalah:
a. Daging yang mengandung hormon sex buatan (DES orDiethylstilbestrol).
b. Bahanpemanis buatan seperti biang Gula dan saccharin.
c. Nitrosamines pada bahan-bahan pengawet buatan, dan bahanpewarna buatan, yang umumnya dipakai dalam produk daging,yang telah diproses dan juga banyak dalam produk makanankaleng.
d. Zat pewarna yang ada dalam makanan, minuman, kosmetik,maupun obat obatan.
e. Zat radioaktif yang sekarang ini terdapat hampir di seluruhbulatan bumi sebagai akibat dari percobaan bom atom sertapeledakan bom, yang masuk dalam tubuh manusia melaluimakanan, khususnya susu.
f. Kebanyakan makan garam.
g. Makanan yang sudah menjadi Tengik.
3. Biologi
a. Virus
Beberapa virus berhubungan erat dengan perubahan selnormal menjadi sel kanker (Family’s Doctor, 2006). Salah satu virusyang dapat menyebabkan kanker adalah virus HIV (humanimmunodefiency virus). Dimana virus HIV (human immunodefiencyvirus) ini dapat merusak sistem kekebalan tubuh. Akibatnya wanitayang terinfeksi virus HIV (human immunodefiency virus) akan rentanterhadap infeksi HPV (human papillomavirus). Hal ini dapat dilihatbahwa 90% kasus kanker serviks disebabkan karena adanya infeksiHPV (human papillomavirus) (Gale dan Cahrette, 1995). Jenis virusini disebut virus penyebab kanker atau virus onkogenik (Family’sDoctor, 2006).
b. Hormon
Hormon adalah zat yang dihasilkan kelenjar tubuh yang fungsinya adalah mengatur kegiatan alat-alat tubuh dan selaput tertentu. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian hormon tertentu secara berlebihan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan beberapa jenis kanker seperti kanker payudara, rahim, indung telur dan prostat (kelenjar kelamin pria) (Family’s Doctor,2006).
c. Keturunan
Sejumlah penelitian menemukan bahwa sekitar 5% dari kasus kanker diakibatkan oleh faktor keturunan. Sebab ada orang yangterlahir dengan DNA rusak yang diturunkan salah satu orang tuamereka sehingga mereka memiliki resiko yang tinggi untuk terkenakanker. Faktor keturunan ini memang susah untuk dihindari. Tetapisejauh apa peranan gen yang abnormal masih belum diketahui(Misky, 2005).
C. Gejala Kanker
Pada stadium dini, kanker biasanya belum menimbulkan keluhan atau rasa sakit. Biasanya penderita menyadari bahwa tubuhnya telah terserang kanker ketika sudah timbul rasa sakit, padahal saat ada keluhan tersebut kanker sudah memasuki stadium lebih lanjut. Pengenalan gejala kanker harus dilakukan sedini mungkin, meskipun tidak ada rasa gangguan atau rasa sakit. Dengan mengetahui serangan kanker yang masih dalam stadium dini angka kesembuhan semakin besar. Pengenalan gejala kanker dapat dilakukan sendiri dengan cara WASPADA yang merupakan kependekan dari istilah-istilah sebagai berikut:
W = Waktu buang air besar atau kecil ada perubahan kebiasaan atau terganggu.
A = Alat pencernaan terganggu dan susah menelan.
S = Suara serak dan batuk yang tidak kunjung sembuh.
P = Payudara atau ditempat lain ada benjolan.
A = Andeng-andeng atau tahi lalat berubah sifat, menjadi semakin besar dan gatal.
D = Darah atau lendir yang tidak normal keluar dari lubang-lubang tubuh.(Mangan, 2009).
D. Pencegahan Kanker
Kanker dapat dikatakan sebagai penyakit gaya hidup karena dapat dicegah dengan melakukan gaya hidup sehat dan menjauhi faktor risiko terserang kanker. Berikut beberapa cara pencegahan kanker secara dini :
1. Hindari makanan tinggi lemak, makanan instan yang mengandung bahan pewarna dan bahan pengawet, serta makanlah makanan dengan gizi seimbang.
2. Hindari hubungan seksual dengan pasangan yang bukan suami atau istri sendiri, atau berganti-ganti pasangan.
3. Hindari asap rokok atau berhentilah merokok.
4. Hindari stress dan konflik yang berkepanjangan.
5. Hindari terkena sinar matahari yang berlebihan.
6. Periksakan kesehatan secara berkala.
7. Minumlah air murni yang sudah melaui proses penyaringan misalnya proses penyaringan reverse osmosis (RO).
8. Hindari terapi hormon sintesis.
9. Hindari penggunaan hormone sintesis saat KB dalam jangka waktu lama.
10. Rutin mengonsumsi vitamin A, C, E, B kompleks, dan suplemen yang bersifat antioksidan, peningkat daya tahan tubuh, dan pembuang racun. Misalnya, rutin mengonsumsi klorofil (Mangan, 2009).
E. Pengobatan
Beberapa pengobatan atau terapi untuk pengidap kanker dapat diberikan sebagai berikut :
1. Pembedahan
Pembedahan telah lama menjadi pengobatan untuk kanker, dimana catatan pertama pengangkatan payudara karena kanker terjadi pada tahun 200 M. pembedahan memberikan peluang yang lebih baik bagi penyembuhan kanker apabila dilakukan pada tumor padat yang berbatas tegas. Tumor yang telah bermetastasis dapat diterapi dengan pembedahan untuk menghilangkan rasa nyeri pasien akibat tumor yang menekan saraf di sekitarnya. Pembedahan juga digunakan untuk mengeksis bagian mayor dari tumor, yang mengurangi beban tumor dan meningkatkan respons terhadap kemoterapi atau radioterapi (Corwin, 2008).
2. Terapi Radiasi
Terapi radiasi menggunakan ionisasi untuk membunuh sel tumor. Radiasi bekerja berdasarkan prinsip bahwa sel yang paling rentan terhadap efek perusak dari radiasi adalah sel-sel yang berada pada stadium S atau M siklus sel. Sel tumor paling cenderung ditemukan dalam setiap stadium tersebut. Sayangnya, setiap saat banyak sel normal juga berada pada stadium tersebut dan dapat terbunuh akibat terapi radiasi. Dahulu, radiasi dianggap dapat embunuh hanya sel kanker dengan secara langsung merusak DNA. Akan tetapi, pemahaman lebih baik mengenai gen penekan tumor telah merevisi konsensus tentang bagaimana radiasi membunuh sel. Tampak bahwa radiasi membunuh sel dengan mengubah DNA yang cukup mengerem siklus sel, terutama dengan mengaktifkan protein p53 dan protein ras yang menyebabkan sel bunuh diri sel. Sayangnya, sel kanker sering kali telah menginaktifkan gen pengerem normal sehingga sel tersebut tidak mengalami apoptosis ketika terjadi kerusakan DNA. Hal ini membatasi kegunaan terapi radiasi. Keterbatasan lain dari terapi ini adalah terbentuknya jaringan parut yang mengarah pada fibrosis dan penurunan fungsi organ. Bagi beberapa kanker, sebagai contoh, limfoma Hodgkin, radiasi dapat digunakan secara tunggal untuk tujuan paliatif. Radiasi seringkali digunakan sebagai tindakan tambahan pada pembedahan, atau untuk memperkecil ukuran tumor sehingga mengurangi beban tumor (Corwin, 2008).
3. Kemoterapi
Kemoterapi menggunakan obat-obatan dari berbagai kelas berbeda untuk menghancurkan sel-sel yang berada pada stadium S, M, atau G awal siklus sel. Tumor tumbuh secara cepat sehingga banyak memiliki sel yang sedang bereplikasi dan membelah dan karenanya paling rentan terhadap kemoterapi. Akan tetapi, sel sehat juga rentan terhadap efek merusak dari kemoterapi. Kemoterapi sering digunakan sebagai tambahan untuk pembedahan atau terapi radiasi, namun dapat pula digunakan secara tersendiri. Kemoterapi juga digunakan untuk tujuan paliatif. Kemoterapi biasanya menyebabkan penekanan atau supresi sumsum tulang, yang akhirnya menyebabkan keletihan, anemia, kecenderungan perdarahan, dan peningkatan risiko infeksi (Corwin, 2008).
4. Imunoterapi
Imunoterapi adalah bentuk terapi kanker yang baru diciptakan yang memanfaatkan dua sifat atau ciri utama dari sistem imun, spesifitas dan daya ingat. Imunoterapi dapat digunakan untuk mengidentifikasi tumor dan memungkinkan pendeteksian semua tempat metastasis yang tersembunyi. Imunoterapi dapat merangsang system kekebalan pejamu agar berespons secara lebih agresif terhadap tumor, atau sel-sel tumor dapat diserang oleh antibody yang dibuat di laboratorium (Corwin, 2008).
Selain pengobatan secara medis yang telah disebutkan diatas, ada juga pengobatan secara herbal untuk mengobati penyakit kanker. Obat herbal adalah obat-obatan yang dibuat dari bahan tumbuhan, baik itu tumbuhan yang sudah dibudidayakan maupun tumbuhan liar. Obat herbal merupakan salah satu bagian dari obat tradisional. Dalam obat tradisional mencakup juga obat yang dibuat dari bahan hewan, mineral, atau gabungan dari bahan hewan, mineral, dan tumbuhan (Mangan, 2009).
Beberapa jenis tanaman obat mempunyai peran tersendiri dalam penyembuhan kanker. Peran tersebut antara lain sebagai sitostatika, imunomodulator, antineoplastik, anti-inflamasi, hepatoprotektor, dan analgesic. Saat ini, beberapa tanaman telah diformulasikan menjadi obat paten sebagai obat kanker. Misalnya sambiloto, buah pala, bidara upas, dan bidara laut telah diformulasikan menjadi obat kanker Karsinoma-1 untuk mengobati kanker, terutama kanker yang telah mengalami metastasis (Mangan, 2009).
Penggunaan obat herbal untuk mengobati kanker diaplikasikan pada hal-hal sebagai barikut :
1. Kanker yang terdiagnosis sejak dini
2. Kanker yang telah mendapatkan pembedahan
3. Diberikan sebagai pendukung radioterapi
4. Diberikan bersamaan dengan kemoterapi untuk mendapatkan efek aditif dan otensial, serta sebagai adjuvant (penawar) untuk mengurangi efek samping obat.
5. Sebagai kemopreventif bagi mereka yang berisiko tinggi terkena kanker (Mangan, 2009).
Tujuan terapai herbal untuk pengobatan kanker :
1. Menciptakan lingkungan yang tidak cocok untuk pertumbuhan kanker. Lingkungan tersebut sebagai berikut:
• Lingkungan tanpa karsinogen
• Lingkungan banyak oksigen
• Lingkungan dengan banyak mineral dan vitamin
2. Menghambat pertumbuhan sel kanker, hingga tua dan mati.
3. Menghilangkan rasa nyeri dan keluhan akibat kanker dengan tanaman obat yang dapat digunakan sebagai terapi paliatif (Mangan, 2009).
F. Diit Kanker
Makanan mempunyai peran penting bagi penderita kanker, sejak diagnosis, pelaksanaan pengobatan, sampai penyembuhan penyakit. Makanan mengandung unsure zat gizi penghasil energi yaitu karbohidrat, lemak dan protein, zat pengatur seperti vitamin, mineral, serta air. Pada penderita kanker kebutuhan gizi meningkat akibat proses keganasan dilain pihak, pengobatan, dan pembedahan, penyinaran, kemoterapi, maupun imunoterapi akan lebih berhasil dan berdaya guna jika penderita dalam keadaan status gizi baik (Urip, 2002).
Umumnya, penderita kanker membutuhkan diet tinggi kalori dan protein (TKTP). Zeeman (1991), mengestimasi energi yang dibutuhkan itu sebesar 2000 kalori dan protein 90 – 100 g/hari kepada penderita dengan status gizi baik. Jumlah ini diperlukan untuk mempertahankan status gizinya. Pada keadaan gizi kurang untuk pemulihan dibutuhkan 4000 kalori dan protein 100 – 200 g/hari. Wilkes (2000), mengestimasikan jumlah energy yang dibutuhkan pada penderita kanker adalah 35-40 kalori/kg BB/hari dan protein 1,5 – 2,0 g/kg BB/hari menurut Pesagi (1999) pada diet TKTP diberikan protein 2 – 2,5 g/kg BB/hari (Urip, 2002).
• Contoh :
Berdasarkan estimasi Wilkes (2000), seorang penderita kanker dengan BB 50 kg dalam sehari membutuhkan :
Energi = 50 x 40 kalori = 2000 kalori
Protein = 50 x 20 g = 100 g
(Urip, 2002).
Selain kebutuhan gizi makro penghasilan energi, dibutuhkan juga zat gizi mikro berupa vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup agar metabolisme dalam tubuh berjalan dengan baik. Cairan yang cukup juga harus diberikan untuk mengurangi efek toksik obat-obatan, serta mempercepat pengeluaran hasil pemecahan sel (Urip, 2002).
Contoh bahan makanan yang dikonsumsi oleh penderita kanker menurut Urip, 2002 :
BAB III
STUDI KASUS
A. Identitas Penderita
Nama : D.H.
Alamat : JalanX
Umur : 43 Th
Pekerjaan : PNS
B. Riwayat Penyakit
Ibu D.H menderita penyakit kanker pada usus besar yang sudah diderita selama kurang lebih satu tahun ini, gejala awalnya ibu D.H selalu merasa kesakitan pada perutnya, kemudian disertai dengan adanya darah yang berwarna merah kehitaman dan terdapat lendir pada saat buang air besar. Setelah melakukan pemeriksaan medis dengan USG serta Endoscopi pada bagian perutnya ternyata terdapat tumor yang letaknya 10 cm diatas dubur dan tumor tersebut termasuk kanker karena merupakan tumor ganas yang sudah stadium IV. Ibu D.H tidak tahu apa yang menyebabkan dia menderita penyakit kanker usus besar tersebut, dalam mengonsumsi makanan sehari-hari normal dan cenderung ibu D.H sangat memperhatikan konsumsi makanannya.
Pengobatan yang dilakukan ibu D.H selama ini adalah pengobatan herbal oleh dokter herbal tepatnya di Yogyakarta, setiap sebulan sekali ibu D.H memeriksakan ke dokter herbal tersebut. Selain itu, ibu D.H juga melakukan pemeriksaan ke dokter medis dan ibu D.H dianjurkan untuk operasi. Ibu D.H tidak mau melakukan operasi karena apabila dioperasi maka saluran dubur akan ditutup sehingga ibu D.H tidak dapat buang air besar selayaknya, melainkan dokter akan membuat saluran pembuangan pada bagian perut dengan menggunakan selang. Hal itu lah yang membuat ibu D.H tidak mau menjalankan operasi, sehingga ibu D.H saat ini hanya fokus terhadap pengobatan herbalnya., Ibu D.Hdianjurkan melakukan diet khusus yaitu dilarang makan makanan yang dibakar, makanan instan serta makanan yang mengandung ragi seperti tape, tahu, tempe.Ibu D.H mengalami susah makan, karena merasa pada saat makan merasa tidak enak.
BAB IV
PEMBAHASAN
Kanker usus besar–dubur (kolon-rektal) adalah kanker yang menyerang daerah usus besar samapai dengan dubur. Perkembangan kanker ini sangat lambat, sehingga sering diabaikan oleh penderita. Pada stadium dini, sering kali tidak ada keluhan dan tidak ada rasa sakit yang berat. Biasanya, penderita datang ke dokter setelah timbul rasa sakit yang berlebihan seudah pada stadium lanjut, sehingga sulit diobati. Kemungkinan terkena kanker usus besar-dubur antara pria dan wanita adalah sama besar. Di Indonesia, orang yang sering terserang kanker ini adalah mereka yang berusia sekitar 30 tahun dan sekitar 60 tahun. Meskipun demikian, kanker usus besar-dubur bisa mulai menyerang orang pada usia muda sampai usia lanjut (Mangan, 2003).
Gejala yang timbul pada stadium berbeda-beda. Gejala-gejala tersebut sebagai berikut :
1. Gejala stadium dini di antaranya berak yang bercampur darah dan lender (bloody stool), serta kebiasaan buang air besar yang berubah-ubah, kadang-kadang tinja sangat encer dan kadang-kadang sulit buang air besar.
2. Gejala saat stadium lanjut sebagai berikut :
• Perut terasa nyeri, kembung dan tegang
• Kadang-kadang jika diraba terasa adanya tonjolan pada perut
• Nafsu makan menurun
• Keluar darah dari dubur
• Tanda-tanda adanya penyempitan dan penyumbatan dari usus besar-dubur, seperti susah buang air besar (Mangan, 2003)
Kanker dapat menyebabkan pasien sulit untuk makan atau mencerna makanan. Hal ini biasa terjadi pada orang dengan kanker sistem pencernaan, mulut, atau tenggorokan.Responden disarankan untuk diet yaitu dilarang mengkonsumsi makanan instan, makanan yang dibakar, dan makanan yang mengandung ragi. Larangan makan-makanan yang dibakar, makanan instan atau junkfood serta makanan yang mengandung ragi seperti tape karena makanan-makanan tersebut mengandung zat karsinogenik yang erat kaitanya dengan kanker karena zat tersebut dapat memicu timbul atau tumbuhnya sel kanker.
Junkfood adalah makanan yang mengandung banyak lemak, gula, dan berkalori tinggi dengan kandungan nutrisi rendah serta sedikit serat. Gabungan semua itu sangat ‘mematikan’, karena jika dikonsumsi berlebihan akan menyebabkan penyakit degeneratif seperti diabetes, sakit jantung, stroke, darah tinggi, kanker usus, kanker payudara, bahkan penuaan dini.Makanan berlemak dan makanan yang dibakar, kata dokter yang menjadi pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, akan mengeluarkan cairan empedu ehinEgam engiritasiusus, sehingga menyebabkan iritasi usus yang terus menerus dan membuat sel yang ada menjadi abnormal (Warta Kota, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. 2007. Buku saku Patofisiologi, Ed.3. EGC. Jakarta
Hartono, Andri. 2004. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit, Ed.2. EGC. Jakarta
Lumungga. 2009. Dukungan Sosial pada Pasien Kanker, Perlukah?. USU Press. Medan.
Mangan, Y. 2003. Cara Bijak Menaklukkan Kanker. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Mangan, Y. 2009. Solusi Sehat Mencegah dan Mengatasi Kanker. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sudiman, H. 1991. Faktor Gizi Pada Penyakit Kanker. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_FaktorGizipadaPenyakitKanker.pdf/08_FaktorGizipadaPenyakitKanker.pdf.Diakses tanggal 5 Maret 2011.
Uripi, V. 2002. Menu untuk Penderita Kanker. Puspa Swara. Jakarta.
Warta Kota. 2010. Sate dan Steak Pemicu Kanker Usus.http://www.roche.co.id/fmfiles/re7175008/Indonesian/media/liputan.media/farmasi/onkologi/11April2010_SatedanSteakPemicuKankerUsus_WartaKota.PDF. Diakses tanggal 5 Maret 2011.

Makalah DIET PENDERITA GINJAL KRONIK (PGK)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Penyakit dengan gagal ginjal dapat meningkatkan risiko kematian bagi penderitanya. Gagal ginjal kronik merupakan masalah medik, sosial dan ekonomik yang sangat besar bagi pasien dan keluarganya, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang (Raka, 2007). Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke-empat di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Saat ini, tidak banyak penelitian epidemiologi tentang prevalensi infeksi saluran kemih pada penyakit ginjal kronik di Indonesia. Menurut Rahardjo dalam Raka (2007), diperkirakan jumlah penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10 % setiap tahun. Di kotamadya Medan, angka penderita gagal ginjal yang menjalani dialisa diperkirakan sebanyak 100 kali pada tahun 1982, menjadi 1100 pada tahun 1990.
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal akibat berbagai penyakit ginjal yang kronik, yang berkembang secara progresif dan irreversible. Gagal ginjal kronik dinyatakan apabila nilai tes klirens kreatinin (TKK) sama atau kurang dari 25 ml/menit (Prodjosudjadi dalam Harahap, 2010). Menurut Price dalam Harahap (2010) gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun.
Selain itu, akibat penyakit yang menahun ini, menimbulkan gejala klinis yang merugikan pada keseluruhan sistem tubuh yang lain dan diantaranya adalah terkait penurunan fungsi imun tubuh. Sistem imunologi tubuh manusia berfungsi untuk mempertahankan tubuh dari serangan patogen (mikroorganisme penyebab penyakit seperti virus dan bakteri) dan kekurangan fungsi tersebut akibat kelainan pada proses metabolisme tubuh pada pasien penyakit ginjal kronik akan meningkatkan resiko terkenanya infeksi (Kato et al dalam Harahap, 2010). Keadaan PGK tentunya sangat mengkhawatirkan bila tidak di tangani, dalam hal ini di perlukan adanya ahli kesehatan yang menangani pengaturan masalah tersebut khususnya dalam hal pengaturan pola makan pada PGK.
Penelitian keadaan gizi pasien PGK dengan Tes Kliren Kreatinin (TKK) ≤ 25 ml/mt yang diberikan terapi konservatif, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status gizi kurang. Faktor penyebab gizi kurang pada PGK antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Oleh karena itu di perlukan adanya penatalaksanaan diet pada pasien PGK yang betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.

B. Tujuan
1. Mengetahui klasifikasi stadium pada ginjal kronik.
2. Mengetahui pengelolaan pada pasien yang terkena penyakit ginjal kronik.
3. Mengetahui jenis-jenis diet pada Penderita Ginjal Kronik (PGK)
4. Menentukan menu diet yang sesuai bagi penderita penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani terapi konservatif


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik
1. Definisi, Batasan dan Klasifikasi Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis dengan penyebab yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan kemudian berakhir pada gagal ginjal tahap akhir. Penyakit ginjal tahap akhir adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal kronik ireversibel yang sudah mencapai tahapan dimana penderita memerlukan terapi pengganti ginjal, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra dalam Harahap, 2010 ).
Menurut Prodjosudjadi dalam Harahap (2010) Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang bersifat tidak reversibel, dan terbagi dalam beberapa stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Gagal Ginjal Kronik (GGK) dapat terjadi apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit/1.73m2 luas permukaan tubuh, oleh karena dibawah kadar fungsi ginjal tersebut gangguan asidosis metabolik dan hiperparatiroidisme sekunder telah tampak nyata, pertumbuhan mulai terganggu, dan progresivitas penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut, seperti yang terlihat pada tabel 1.

Menurut Rindiastuti (2003) pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah, seperti terlihat pada tabel 2. klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal.

2. Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik
Rindiastuti (2003) menyatakan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dapat dikategorikan menurut etiologi dan kelainan patologik seperti terlihat pada tabel 3. untuk memastikan diagnosa tidak jarang diperlukan biopsi ginjal yang sangat jarang menimbulkan komplikasi. Biopsi ginjal hanya dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal yang akan mengubah pengobatan atau prognosis. Pada sebagian besar pasien, diagnosis ditegakkan berdasar pengkajian klinik yang lengkap dengan memperlihatkan faktor etiologi

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
1) Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2) Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3) Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4) Menentukan strategi terapi rasional
5) Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar dalam Rindiastuti, 2003).

1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
2) Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
b. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).
3) Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:

a. Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
b. Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

3. Pengelolaan Penyakit Ginjal Kronik
Pengkajian klinik menentukan jenis penyakit ginjal, adanya penyakit penyerta, derajat penurunan fungsi ginjal, komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal, faktor risiko untuk penurunan fungsi ginjal, dan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular. Pengelolaan meliputi:
a. terapi penyakit ginjal
b. pengobatan penyakit penyerta
c. penghambatan penurunan fungsi ginjal
d. pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular
e. pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal
f. terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi jika timbul gejala dan tanda uremia
Stadium dini penyakit ginjal kronik dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium. Pengukuran kadar kreatinin serum dilanjutkan dengan penghitungan laju filtrasi glomerulus dapat mengidentifikasi pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Pemeriksaan ekskresi albumin dalam urin dapat mengidentifikasi pada sebagian pasien adanya kerusakan ginjal. Sebagian besar individu dengan stadium dini penyakit ginjal kronik terutama di negara berkembang tidak terdiagnosis. Deteksi dini kerusakan ginjal sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan segera, sebelum terjadi kerusakan dan komplikasi lebih lanjut. Pemeriksaan skrinning pada individu asimtomatik yang menyandang faktor risiko dapat membantu deteksi dini penyakit ginjal kronik

B. Terapi Ginjal Kronik
Seperti yang sudah di jelaskan di atas salah satu pengelolaan untuk Ginjal Kronik adalah melalui terapi ginjal kronik,diantaranya:
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar dalam Rindiastuti, 2003).
a. Peranan diet
Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada dasarnya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Pencegahan dan pengobatan asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra dalam Rindiastuti, 2003).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar dalam Rindiastuti, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo dalam Rindiastuti, 2003).

b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar dalam Rindiastuti, 2003).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

BAB III
STUDI KASUS

1. Identitas Responden
• Nama : H.R.S
• Umur : 62 tahun
• Berat Badan : 66 kg
• Tinggi Badan : 173 cm
• Jenis kelamin : laki-laki

2. Subjektivitas
Responden pada usia 20 tahunan sudah terkena asam urat dan pada usia 32 tahun terkena kencing batu dan pada saat ini mengalami keluhan yaitu tidak bisa buang air kecil dan sakit pinggang sebelah kanan, keluhan ini berlangsung selama 3 hari. 2 hari sebelumnya responden tidak bisa buang air besar, kemudian responden menggunakan dulcolax suppositoria selama 2 hari berturut-turut kemudian baru dapat buang air besar.
Keluarga membawa responden ke rumah sakit, karena responden susah buang air kecil walaupun dengan mengejan. Sesampainya di RS, responden dipasang kateter baru dapat buang air kecil dengan lancar, urin yang keluar berwarna agak merah kemudian yang keluar berwarna agak coklat seperti air teh. Keadaan umum responden setelah dirawat yaitu agak lemah, tungkai bawah lemas, tidak bertenaga, kulit keriput tidak elastis, oedema pretibial dan tonus otot kurang. Tekanan darah 160/90 mmHg, Nadi 82 kali/ menit, suhu badan 36,2 °C, sclera tampak pucat dan nafas berbau ammonia.

3. Objektivitas
Berdasarkan hasil pemeriksaan USG adalah sebagai berikut:
Ginjal : Tampak kedua ginjal mengecil dengan echodifferensiasi tidak jelas
( ginjal kanan 5,9 x 3,1 cm; ginjal kiri 5,8 x 2,5 cm )
4. Assessment
Diagnosa yang didapat pada responden adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium.
2. Gangguan pemenuhan ADL berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Perubahan membrane mukosa oral berhubungan dengan iritasi kimia.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan aktivitas, gangguan status metabolik.

5. Pembahasan dan penatalaksanaan Diet
Pasien merupakan penderita penyakit ginjal kronik dimana sudah mencapai stadium empat. Anjuran terapi yang harus di jalani adalah terapi konservatif salahsatunya yaitu pasien harus menjalani diet untuk mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) :
1. Tujuan diet Penyakit Ginjal Kronik adalah untuk:
(1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja ginjal
(2) Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi (uremia)
(3) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
(4) Mencegah dan mengurangi progresivitas gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomelurus

2. Jenis diet dan indikasi pemberian
Menurut Almatsier (2007) ada tiga jenis diet yang diberikan menurut berat badan (BB) pasien, yaitu:
(1) Diet protein rendah I : 30 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan 50 kg
(2) Diet protein rendah II : 35 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan 60 kg
(3) Diet protein rendah III : 40 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan 65 kg
Penatalaksanaan Diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) pre-dialisis stadium IV dengan TKK < 25 ml/mt pada dasarnya mencoba memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dengan cara mengurang beban kerja nephron dan menurunkan kadar ureum darah. Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah sebagai berikut: 3. Syarat Dalam Menyusun Diet Energi 35 kkal/kg BB, dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
• Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
• Protein untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang rusak sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan energi tidak tercapai, protein dapat diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB. Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut Diet Rendah Protein. Pada waktu yang lalu, anjuran protein bernilai biologi tinggi/hewani hingga ≥ 60 %, akan tetapi pada saat ini anjuran cukup 50 %. Saat ini protein hewani dapat disubstitusi dengan protein nabati yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk variasi menu.
• Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak tidak jenuh.
• Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL ± 500 ml.
• Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan cairan dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara dengan 1000-3000 mg Na/hari.
• Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
• Fosfor yang dianjurkan ≤ 10 mg/kg BB/hari
• Kalsium 1400-1600 mg/hari
4. Pengaturan makan dalam sehari
Pasien menjalani terapi konservatif diberikan menu Diet Sehari protein rendah III (40 g protein )

Menurut Kresnawan (2007) bahan makan yang di anjurkan untuk pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium empat adalah:
a) Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagung, roti, kwethiau, kentang, tepung-tepungan, madu, sirup, permen, dan gula.
b) Sumber Protein Hewani: telur, susu, daging, ikan, ayam.
c) Bahan makanan pengganti protein hewani hasil olahan kacang kedele yaitu tempe, tahu, susu kacang kedele, dapat dipakai sebagai pengganti protein hewani untuk pasien yang menyukai sebagai variasi menu atau untuk pasien vegetarian asalkan kebutuhan protein tetap diperhitungkan. Beberapa kebaikan dan kelemahan sumber protein nabati untuk pasien penyakit ginjal kronik akan dibahas.
d) Sumber Lemak: minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedele, margarine rendah garam, mentega.
e) Sumber Vitamin dan Mineral
Semua sayur dan buah, kecuali jika pasien mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak menjadi stup buah/coktail buah
Sedangkan bahan makanan yang dihindari adalah hindari sayur dan buah tinggi kalium jika pasien mengalami hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium diantaranya adalah bayam, gambas, daun singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian, dan nangka. Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema dan asites. Bahan makanan tinggi natrium diantaranya adalah garam, vetsin, penyedap rasa/kaldu kering, makanan yang diawetkan, dikalengkan dan diasinkan.
Jumlah dan jenis protein yang diberikan pada pasien PGK pre- dialisis dalam bentuk diet rendah protein sangat penting untuk diperhatikan karena protein berguna untuk mengganti jaringan yang rusak, membuat zat antibodi, enzim dan hormon, menjaga keseimbangan asam basa, air, elektrolit, serta menyumbang sejumlah energi tubuh. Protein dibuat dari 20 asam amino penyusun protein, 11 diantaranya dapat disintesis oleh tubuh, dan 9 sisanya disebut asam amino esensial yang diperoleh dari bahan makanan, yaitu Leusin, Isoleusin, Valin, Triptofan, Fenilalanin, Metionin, Treonin, Lisin dan Histidin. Dari asam amino, 8 diantaranya dibutuhkan oleh orang dewasa, sedangkan Histidin dibutuhkan oleh anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bahan makanan yang mengandung semua asam amino disebut lengkap protein, seperti telur, daging, ikan, susu, unggas, keju. Oleh karena itu, protein hewani biasa disebut sebagai protein bernilai biologi tinggi. Bahan makanan nabati, misalnya beras dan kacang-kacangan, mengandung asam amino esensial yang terbatas atau tidak lengkap. Oleh karena itu, dikatakan mengandung protein bernilai biologi rendah (Kresnawan,2007).
Kedelai dan hasil olahannya, yaitu tempe, tahu dan susu kedelai, mengandung asam amino esensial walaupun ada 1 asam amino yang kurang, terbatas fungsinya hanya untuk pemeliharaan, tidak untuk pertumbuhan (Limiting Amino Acid) yaitu metionin. Demikian pula asam amino esensial lisin kurang pada beras dan triptopan kurang pada jagung, akan tetapi apabila bahan makanan yang mengandung asam amino terbatas dikonsumsi secara bersamaan dalam hidangan sehari-hari, dapat saling melengkapi kekurangan dalam asam amino esensial. Sebagai contoh, nasi yang terbatas lisin dimakan bersamaan dengan tempe yang terbatas pada metionin didapatkan campuran yang memungkinkan saling melengkapi dalam asam aminonya untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (Kresnawan,2007).

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
1. Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan menjadi 5 stadium yaitu Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal.
2. Pengelolaan penyakit ginjal meliputi terapi penyakit ginjal, pengobatan penyakit penyerta, penghambatan penurunan fungsi ginjal, pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular, pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal, terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi jika timbul gejala dan tanda uremia
3. Ada tiga jenis diet yang diberikan menurut berat badan (BB) pasien, yaitu diet protein rendah I : 30 gr protein , diet protein rendah II : 35 g protein, dan diet protein rendah III : 40 g protein.
4. Responden merupakan penderita ginjal kronik stadium empat sehingga terapi yang harus dijalani adalah terapi konservatif melalui pengaturan pola makan, pengaturan pola makan atau diet yang diberikan ialah diet protein rendah III (BB responden 66 kg) dengan tujuan memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dengan cara mengurangi beban kerja nephron dan menurunkan kadar ureum darah.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier,Sunita. 2007. Penuntun Diet Edisi Baru.PT Gramedia Pustaka Utama:Jakarta

Harahap, Yusuf S R. Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Penderita Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsup H Adam Malik Medan Terhadap Kebiasaan Minum. Http://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/21439/7/Cover.Pdf. Diakses tanggal 25 maret 2011

Kresnawan ,Triyani.2007. Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati Pada Penyakit Ginjal Kronik.Http://www.gizi.net/makalah/download/diet_rendah_protein nabati.pdf. Diakses tanggal 27 maret 2011

Raka,Widiana.2007. Distribusi Geografis Penyakit Ginjal Kronik Di Bali: Komparasi Formula Cockcroft-Gault Dan Formula Modification Of Diet In Renal Disease. Http://Ejournal.Unud.Ac.Id/Abstrak/2_Edited.Pdf. Diakses tanggal 25 maret 2011

Rindiastuti.Yuyun,2003. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik.Http://yuyunrindi.files.wordpress.com/2008/05/deteksi-dini-dan-pencegahan-penyakit-gagal-ginjal-kronik.pdf. Diakses tanggal 27 maret 2011