Ayam serama: Menangkap untung besar dari budidaya si ayam kerdil (1)

Ayam serama sedang menjadi ayam unggulan. Permintaan ayam asal Malaysia ini melonjak seiring maraknya kontes ayam yang suka berlenggak-lenggok di atas catwalk. Sebulan, pesanan yang datang ke satu pembudidaya bisa mencapai 50 ekor.

Bagi Anda pencinta unggas untuk kontes kecantikan, nama ayam serama mungkin sudah tidak asing lagi. Ayam asal Malaysia ini memang terkenal unik karena memiliki karakter postur yang kerdil. Bahkan, menurut American Poultry Association dan American Bantam Association, ayam serama merupakan jenis ayam terkecil di dunia.

Ukuran tubuh serama dewasa hanya sekepal tangan orang dewasa. Beratnya pun hanya sekitar 300 gram per ekor. Meski bodinya imut, ayam ini suka pamer, dengan membusungkan dada dan berjalan gemulai layaknya di atas catwalk.

Haryono, pembudidaya ayam serama di Bogor, mengatakan, biasanya, sambil berjalan hilir mudik, ayam serama seringkali membusungkan dada dan mengepakkan sayap menunjukkan kehebatannya. Ayam kerdil ini pun gemar sekali menarik kepalanya ke belakang hingga membentuk huruf S.”Inilah yang kemudian menjadi penilaian penting dalam kontes serama di Tanah Air,” ujarnya.

Namun, serama tak selamanya mampu menunjukkan kehebatannya di atas catwalk. Layaknya, manusia, ayam serama pun sering kali mengalami bad mood. Apabila sedang tidak berhasrat tampil, saat kontes dimulai sang ayam hanya berjalan hilir mudik kebingungan sambil menggigiti bulu-bulunya.

Haryono menuturkan, permintaan ayam jenis ini semakin meningkat khususnya sejak kontes-kontes ayam semakin marak mulai 2009. Permintaan tumbuh pesat terutama di Kediri, Jakarta, dan Banyuwangi.

Kontes ayam serama biasanya dibagi dalam enam kelas, yakni kelas pejantan dewasa A (berat 360 gram ke bawah), kelas pejantan dewasa B (361-400 gram), pejantan muda (umur 6-9 bulan), pejantan remaja (3-6 bulan), betina, serta anakan (1-3 bulan).

Semakin kecil ukurannya dan terlihat proporsional, harga ayam serama semakin meroket, bisa Rp 20 juta-Rp 30 juta per ekor. Apalagi, kalau corak bulunya terang, membuat harganya bisa sampai Rp 50 juta per ekor. “Tentu saja, total gelar juara yang pernah dimenangkan juga menjadi nilai tambah,” ungkap Haryono.

Haryono mengaku bisa mendapatkan pemasukan per bulan hingga Rp 125 juta dari hasil penjualan sekitar 35 ekor ayam serama. Ia mematok harga ayam dewasa mulai dari Rp 4 juta hingga Rp 5,5 juta per ekor. “Saya lebih fokus menerima tawaran dari daerah Jabodetabek dan Kediri,” ujarnya.

Alim Sukrisna yang memulai budidaya ayam serama sejak lima bulan lalu mengatakan, saat ini dia bisa menjual 50 ekor serama per bulan. Ia pun meraih pemasukan sekitar Rp 180 juta tiap bulan.

Sedangkan Krisna menjual seekor ayam serama mulai harga Rp 3 juta-Rp 5 juta. “Tergantung kualitas dan postur si ayam,” ujar Krisna yang membudidayakan ayam ini di Magelang. Secara umum, semakin kecil dan proporsional posturnya, semakin mahal harganya. Krisna juga menjual anakan berumur satu hingga dua minggu dengan harga Rp 85.000-Rp 200.000 per ekor.

Menurut Krisna, permintaan ayam serama makin banyak karena kontes ayam lagi booming di negara kita. Permintaan pun kini datang dari luar Jawa, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatra dan Maluku.

(Bersambung)

Sumber : http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1295419864/56839/Ayam-serama-Menangkap-untung-besar-dari-budidaya-si-ayam-kerdil-1

Melongok Investasi Strawberry Organik

Kamis pagi pekan lalu, segerombolan pecinta lingkungan berikut wartawan pun tergoda untuk datang dan berlomba memetik ribuan batang strawberry organik itu yang terhampar di sepetak kebun.

Dan dalam sekejap, tak sebutir buah matang pun yang bersisa dari 3.000 batang strawberry dalam media tanam polibek. Sang pemilik kebun, Posman Surbakti, terharu menyaksikan semua itu, karena orang-orang begitu mengagumi si “mutiara merah“ hasil budidayanya.

Posman memang pantas berbangga hati. Kebun strawberry miliknya di atas sebidang tanah 40 x 20 meter menghasilkan buah unggul dengan produksi optimal. “Strawberi segar yang tumbuh dari kebunnya boleh dibilang layak untuk menembus pasar ekspor,” kata Sofyan Tan, Ketua Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), yang sengaja datang jauh-jauh dari Medan bersama tim ESP-USAID hanya untuk melihat panen strawberry hasil pertanian ekologis itu.

Dia yakin, jika pertanian ekologis strawberry ini dikembangkan dengan serius, akan muncul harapan baru bangkitnya investasi pertanian dan agrowisata di Tanah Karo.

Posman adalah petani yang merintis pertanian strawberry dengan sistem pertanian ekologis di lembah Sibayak. Awalnya, tak banyak petani di Doulu yang meyakini keberhasilan pola pertanian yang diterapkan Posman. Tapi melihat hasilnya yang berbeda jauh dengan pertanian strawberry yang menggunakan pestisida dan pupuk kimia, satu per satu petani di sana mulai memercayainya.

Kini, beberapa petani yang mulai serius menggeluti strawberry organik itu bergabung dalam Cevarina Ekologis, sebuah program pertanian strawberry yang mengusung bahan-bahan alami atau organik sebagai pengganti pestisida dan pupuk kimia.

Strawberry hasil pengembangan organik ini ternyata memang berbeda. Secara kasat mata, strawberry organik warnanya lebih cerah walaupun ukurannya sama dengan strawberry hasil pemupukan dan pestisida kimia. “Rasanya lebih manis, dan tahan sampai empat hari, beda dengan yang pakai kimia, yang hanya tahan tiga hari,” ungkap posman.

Kualitas ini dihargai tinggi oleh pasar, hingga mencapai Rp 40.000 per kilogram, lebih tinggi ketimbang strawberry non organik yang dijual seharga Rp 30.000 per kilogram. Kualitas baik, harga jual tinggi, namun biaya produksi kecil menjadi buah unggul yang kompetitif. Sebuah terobosan bagi pertanian sayur-mayur dan buah-buahan Tanah Karo yang lesu darah akibat melonjaknya harga pestisida dan pupuk kimia.

Ya, kondisi ini memang memperburuk pertanian. Bagaimana tidak, harga jual tidak seimbang dengan biaya produksi yang melonjak. Akibatnya, petani sayuran maupun buah-buahan seringkali merugi.

Dalam kurun satu bulan panen perdana, para petani yang tergabung dalam Cevarina Ekologis itu telah berhasil mengembangkan tanaman strawberry organik lebih dari 20 ribu batang. Dari total tanaman itu, yang sudah panen sebanyak 3.000 batang.

“Kami hanya bisa mencapai keberhasilan panen strawberry dari 3.000 batang itu 60% saja. Hal ini diakibatkan perubahan cuaca yang terjadi,” ujar Posman, yang juga lulusan Universitas Negeri Medan ini. Meskipun hanya bisa mencapai angka 60% pencapaian hasil panen ini, namun mereka sudah untung. Sebab beberapa petani strawberry non ekologis banyak yang gagal panen akibat intensitas hujan yang sangat tinggi di kawasan hulu DAS Deli ini.

Untuk pupuk dan pestisida nabati, digunakan bahan-bahan alami, dengan memanfaatkan bahan alam dan limbah organik yang ada di sekitar. Limbah rumah tangga, kotoran hewan, air kelapa dan air biasa, diramu dalam satu drum. Posman setiap bulannya hanya mengeluarkan Rp 498.000 untuk biaya produksi 5.000 batang strawberry.

“Dengan kondisi perubahan musim ini, pencapaian hasil panen pertanian ekologis strawberry juga berbeda secara mencolok. Di mana, pola perilaku pertanian pestisida kimiawi hanya mampu mencapai hasil 30% dari total produksi. Sedangkan pola pertanian strawberry ekologis masih mampu mencapai hasil produksinya hingga 60%,” jelas Posman.

Dengan 60% kemampuan produksi, keuntungan bersih yang bisa mereka peroleh di awal masa panen 3.000 batang sebesar Rp 1,8 juta. Bila dengan asumsi yang sama, maka panen beberapa minggu mendatang untuk total 5.000 batang strawberry akan mencapai Rp 2,98 juta setiap bulan.

Angka ini didapat bila penjualan produk strawberry bertahan di angka Rp 40.000 per kilogram. Bisa dikalkulasi, berapa besar lagi margin profit jika curah hujan rendah. Tentunya pada musim kemarau.

Ramah Lingkungan

Pemakaian unsur alami pada tanaman strawberry ini secara tidak langsung juga menjaga nilai ekologis terhadap lahan. “Bukan hanya meningkatkan perekonomian petani saja, tapi juga menciptakan kondisi lahan yang terus berkelanjutan,” ujar Sofyan Tan.

Penggunaan pestisida alami (nabati), menurut Posman, hanya berfungsi mengusir hama, bukan mematikan. Hal ini akan menjaga agar hama dan penyakit tidak kebal terhadap obat. Pemakaian pestisida kimia dapat membuat hama kebal, bukannya menyelesaikan masalah, namun pertumbuhan hama justru semakin banyak.

Di sisi lain, penggunaan pupuk kandang sebagai bahan pupuk alami, lanjutnya, secara tidak langsung mengurangi aktivitas pengambilan humus oleh masyarakat di hutan Tahura Bukit Barisan. “Tanaman subur, ekonomi rakyat meningkat, dan hutan terjaga,” ujar Posman lagi.

Tantangan Pemasaran

Gempuran para kapitalis kerap menghancurkan perekonomian petani kecil. Namun di satu sisi kualitas produksi pangan petani pun seringkali kalah bersaing dengan para ‘penguasa pangan’ dunia.

Posman dan Cevarina Ekologis sudah membuktikan bahwa pertanian organik bukan hanya meningkatkan pendapatan petani, tapi juga sebuah investasi besar produk pangan yang siap untuk dilaga dengan produk sejenis di tingkat nasional bahkan internasional.

Menurut Sofyan Tan, petani seperti Posman membutuhkan sertifikat, sebagai bukti bahwa produk yang dihasilkan telah melalui percobaan dan penelitian beberapa pihak terkait. Hasil pertanian yang diproduksi, bebas dan tidak terkontaminasi oleh pupuk dan obat obatan kimia buatan pabrik.

“Oleh karena itu, sekarang kita sedang berusaha untuk membantu petani mendapatkan sertifikasi dari hasil pertanian ekologis, bekerja sama dengan Bioinspecta dari Swiss, dan Lesos dari Jawa Timur, yang merupakan badan yang berhak mengeluarkan sertifikat terhadap produk pertanian yang bebas dari bahan kimia.” tutur Sofyan.

Soal pasar dalam negeri, prospek bisnis strawberry masih berseri. Karena khasiatnya yang beragam untuk kesehatan terutama untuk mencegah kolesterol tinggi, stroke, diabetes, menghaluskan kulit dan memperlambat proses penuaan, strawberry organik selain dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga, juga sangat dibutuhkan oleh industri makanan, obat-obatan dan kecantikan. Nah, kita sudah sedikit melongok investasi strawberry organik, apakah Anda berminat terjun ke bisnis ini?

Sumber : http://bisnisukm.com/melongok-investasi-stroberi-organik.html

Sukses Usaha Di Sektor Agrobisnis Walau Dalam Keterbatasan

Keterbatasan fisik terkadang membuat orang berhenti berkreasi dan beraktifitas produktif. Namun tidak demikian halnya dengan Triyono,lelaki 29 tahun dari Sukoharjo ini justru sukses usaha di sektor Agrobisnis karena keterbatasan fisiknya. Keterbatasan fisiknya sudah pasti menjadi salah satu alasan orang untuk menolaknya ketika melamar pekerjaan di suatu perusahaan. Hal inilah yang mendorong Triyono untuk membuka usaha sendiri di bidang agrobisnis. Selain itu prinsip yang dianutnya: sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain turut memperkuat semangat untuk membuka usaha sendiri.

Pilihan bisnisnya jatuh pada usaha Agrobisnis, selain karena latar belakang pendidikannya adalah jurusan Pertanian dan Peternakan Universitas Negeri Sebelas Maret, ia menganggap usaha di sektor Agrobisnis memiliki peluang yang cukup besar. Dengan bermodalkan Rp 5 juta, ia memulai usaha bebek potong. Ia membeli 500 bebek untuk dia kembang biakkan dan dibesarkan di lahan pekarangan rumah keluarganya.

Ia benar-benar menerapkan ilmu peternakan yang diperoleh di bangku kuliah. Hasilnya tokcer. Banyak pesanan mampir karena kualitas bebek peternakan Tri terbilang unggul. Bebek hasil ternaknya bukan hanya sehat, tetapi juga memiliki berat proposional. Ini yang membuat harga “si kwek-kwek” selalu bagus.

Pelan tapi pasti, selama setahun Tri mampu mengumpulkan modal dari usaha bebek potongnya. Tri memakai tambahan dana itu sebagai usaha jual beli sapi menjelang Idul Adha.

Usaha Agrobisnisnya semakin berkembang , awal 2007 ia memberanikan diri memulai usaha jual beli hewan kurban. Ia mengenang, saat itu menjadi tahun terberat baginya. Selain harus mempersiapkan ujian skripsi, ia juga baru merintis usaha agrobisnis.

Walhasil, saat pagi hingga siang hari ia harus berkutat dengan kuliah. Setelah itu Tri mencurahkan waktunya membeli dan menjual sapi untuk pasokan hari raya kurban.

Seorang diri, ia memasok hewan-hewan tersebut ke beberapa daerah di sekitar Sukoharjo. Masuk keluar pasar setiap hari sudah menjadi kegiatan rutin. “Saya harus berjalan jauh dengan menggunakan kruk, mencari dan membeli sapi yang berkualitas kemudian mengantar sapi-sapi tersebut ke tempat pesanan,” kenang Tri. Tapi, dia pantang menyerah meski beberapa orang kerap menolak bekerja sama dengannya.

Segala usahanya tak sia-sia. Tri lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,2, dan juga meraih untung dari hasil penjualan sapi kurban. Ia memutar kembali keuntungan itu sebagai modal mengembangkan usaha agrobisnis dengan membeli sapi dan ayam.

Menyadari peluang usaha dari agrobisnis cukup besar karena menyangkut kebutuhan primer banyak orang, dengan bermodalkan Rp 20 juta, Tri pun mantap membangun usaha secara serius pada tahun 2008.

Dengan mengibarkan bendera CV Tri Agri Aurum Multifarm, Tri berbisnis peternakan terpadu sapi potong, ayam potong, dan pupuk organik. Meski tak memiliki latar belakang berbisnis, Tri mampu meraih pasar dengan cepat.

Bekal kuliah menjadi nilai plus mengembangbiakkan ternak. Alhasil, pada 2008 dia mampu meraih omzet Rp 50 juta per bulan. Dia juga berhasil membuka lapangan kerja baru di desanya.

Meski tak keluar sebagai pemenang Wirausahawan Mandiri 2010, Triyono tak kecewa. Maklum, sejatinya, melalui ajang bertaraf nasional ini, ia ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa peternakan sangat layak menjadi pilihan anak muda dalam berusaha. Asalkan, dikelola dengan manajemen yang baik.

Bagi Triyono, persoalan menang atau kalah bukanlah tujuannya mengikuti ajang Wirausahawan Mandiri 2010. Ada gol lain yang hendak dituju. Yakni, mengenalkan CV Tri Agri Aurum Multifarm ke seluruh Indonesia.

Tak hanya itu, Triyono juga ingin menunjukkan ke semua orang bahwa agrobisnis bukan hanya usaha yang cocok untuk orang tua, tetapi juga dapat dikelola oleh anak muda seperti dirinya. “Saya ingin usaha agrobisnis yang dikelola anak muda menjadi tren,” ungkap Triyono.

Sejak mengembangkan usaha agrobisnis dengan bendera Tri Agri tiga tahun lalu, omzet Triyono terus menanjak setiap tahun. Jika pada 2008, penghasilannya baru sebesar Rp 500 juta. Pada 2010 lalu pendapatannya melonjak enam kali lipat menjadi Rp 3 miliar.

Kualitas ternak-ternak milik Triyono yang dibudidayakan di peternakan seluas 1 hektar tersebut terbilang unggul ketimbang ternak milik pelaku usaha lain. Meski begitu, bukan berarti Triyono boros dalam membudidayakan semua hewan ternaknya, justru sebaliknya. Tapi, “Bukan berarti saya irit memberi makanan ternak, tapi saya memberi makanan ternak secukupnya,” ujar pria 29 tahun ini.

Hewan ternak yang diberi makan sesuai dengan asupannya dan tepat waktu lebih sehat dibandingkan dengan hewan ternak yang terus-terusan diberi makan. “Kami selalu memberi pakan tanpa campuran bahan kimia, hanya yang ada di lahan kamilah yang dimakan ternak, misalnya, rumput hijau,” kata Triyono.

Cara ini tentu saja dapat menekan biaya operasional. Triyono juga memanfaatkan aneka bumbu dapur, seperti kunyit, jahe, dan lengkuas untuk mengobati ternak-ternaknya yang sakit akibat faktor perubahan cuaca. “Kalau ternak tak nafsu makan, tinggal diberi daun pepaya yang telah ditumbuk halus,” imbuh dia.

Memanfaatkan pakan yang bersumber langsung dari alam tanpa campuran bahan kimia, Triyono mengatakan, juga akan menghasilkan sapi, ayam, dan bebek yang sehat dan bebas dari penyakit. Jadi, manajemen pakan, menurut Triyono, adalah 70 persen kunci dari keberhasilannya.

Namun, pola peternakan yang layak ditiru dari Triyono tak cuma sekadar soal memelihara, membesarkan, dan menjual hewan ternak, tetapi juga mengenai pengolahan limbah ternak.

Triyono—yang kerap memberikan penyuluhan kepada mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Universitas Sebelas Maret Surakarta—memanfaatkan kotoran hewan ternaknya menjadi pupuk kompos, kemudian dijual ke pasar seharga Rp 350 per kilogram.

Dalam sebulan, Triyono dapat mengolah 15 ton kotoran ternak yang disulap menjadi pupuk. Pria yang sempat mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) selama setahun saat usia delapan tahun ini mengatakan, ide mengolah limbah peternakan muncul ketika ia melihat kotoran ternak yang makin menggunung di sekitar lahan peternakannya.

Untuk menjadi pupuk, Triyono mencampur kotoran ternak dengan tanah dan serbuk jerami. Pengerjaannya secara manual. Setelah semua bahan tercampur secara merata, kemudian dibungkus dengan plastik dan siap dijual ke pasar.

Meski usaha agrobisnis seperti peternakan telah mengantarkan sebagian orang bergelimang harta, toh sektor ini belum menjadi pilihan kalangan anak muda. Selain masih dinilai terlalu kolot dan hanya cocok untuk orang tua dan masyarakat pedesaan, agribisnis khususnya peternakan dianggap tidak bergengsi.

Apalagi, Triyono mengatakan, memulai usaha di bidang agrobisnis harus memiliki modal yang besar. Inilah yang membuat para peternak lebih terlihat sebagai pemasok yang hanya mengejar keuntungan semata.

Padahal, menurut Triyono, kalau usaha ini dikelola dengan baik, niscaya beternak bisa setara dengan usaha-usaha bergengsi lainnya, seperti kuliner, industri kreatif, atau jasa.(Galeriukm).

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/