SistimPemetaan Sumberdaya Kelautan

Potensi Kelautan di republik ini sungguh sangat berlimpah baik di nearshore maupun di offshore, di mana industri maritim merupakan industri yang sangat menantang (world wide business).
Kawasan laut memiliki dimensi pengembangan yang lebih luas dari daratan karena mempunyai keragaman potensi alam yang dapat dikelola. Beberapa sektor kelautan seperti perikanan, perhubungan laut, pertambangan sudah mulai dikembangkan walaupun masih jauh dari potensi yang ada.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri yang marine-oriented, survei hidrografi mutlak dilakukan dalam tahapan explorasi maupun feasibility study. Survei hidrografi adalah cabang ilmu yang berkepentingan dengan pengukuran dan deskripsi sifat serta bentuk dasar perairan dan dinamika badan air atau dengan kata lain Hidrografi adalah ilmu terapan di dalam melakukan pengukuran dan pendeskripsian objek-objek fisik di bawah laut untuk digunakan dalam navigasi. Informasi yang diperoleh dari kegiatan ini untuk pengelolaan sumberdaya laut dan pembangunan industri kelautan (KK Hidrografi, 2004 ).
Kebutuhan teknologi survei dan pemetaan laut yang modern ini merupakan suatu kebutuhan, apalagi dengan berlakunya UNCLOS 1982 (United Nations Convention on Law of The Sea), Indonesia diakui sebagai negara kepulauan dan perairan yuridiksi Indonesia bertambah luas serta perlu segera dipetakan.
Kompetensi profesi dan Akademisi Hidrografi dikelompokkan menjadi beberapa aplikasi yaitu (IHB, 2001)
1. Nautical Charting ( pemetaan laut )
2. Military
3. Inland Water
4. Coastal Zone management
5. Offshore Seismic
6. Offshore Construction
7. Remote sensing
Tujuan survey hidro-oseanografi diantaranya untuk mendukung pekerjaan :
– Rencana penentuan dan pemasangan jalur kabel dan pipa bawah laut
– Pencarian pesawat dan kapal-kapal yang tenggelam.
– Penentuan algoritma parameter kelautan (TSS, SST, koreksi kolom perairan untuk aplikasi
penginderaan jauh, dll)
– Penentuan pengeboran sumur minyak (well rig)
– Operasi pencarian ranjau dan bahan peledak di bawah laut
– Investigasi pipa dan kabel bawah laut, dll.
Adapun kegiatan survey hidro-oseanografi meliputi :
1. Survey Titik Kontrol Geodetik
Referensi titik kontrol geodesi yang merupakan bagian dari Jaringan Kerangka Kontrol Horizontal Nasional yang terletak di dekat atau di lokasi survei diperlukan untuk penentuan posisi DGPS menggunakan Shorebase Station (Reference Point) dan untuk verifikasi alat DGPS yang akan digunakan untuk survey. Point of Origin untuk kerangka kontrol horizontal tersebut diperoleh dari instansi resmi, seperti Bakosurtanal. Jika diperlukan, penentuan point of origin dapat dilaksanakan sendiri, dengan referensi salah satu titik yang sudah ada, baik dengan mengadakan pengamatan GPS secara relatif maupun secara konvensional dengan melakukan pengukuran traverse. Jika titik referensi tambahan dibutuhkan, maka titik tersebut harus dibangun semi-permanen yang dapat mewakili daerah survei yang telah ditentukan.
Semua ketinggian (elevasi) dan kedalaman air, akan dihubungkan dengan suatu datum yang direferensikan ke Mean Sea Level (MSL) atau Chart Datum(Low Water Spring: LWS), atau datum tertentu yang sudah mendapatkan persetujuan. Semua elevasi dan kedalaman harus dihubungkan dengan benchmark tertentu yang terletak di darat, atau direferensikan kepada elipsoid tertentu yang ditentukan dengan GPS.
2. Sistem Navigasi Survey
Penentuan posisi kapal survei dilaksanakan menggunakan GPS receiver dengan metode Real Time Differential (DGPS) dengan mengikuti prinsip survei yang baik dan menjamin tidak adanya keraguan atas posisi yang dihasilkan. Lintasan kapal survei dipantau setiap saat melalui layar monitor atau diplot pada kertas dari atas anjungan. Sistim komputer navigasi memberikan informasi satelit GPS seperti: nomer satelit yang digunakan, PDOP dan HDOP. Elevation mask setiap satelit diset pada ketinggian minimum 10 derajat. Bila DGPS yang digunakan menggunakan shore base station, satu GPS receiver dipasang di atas kapal survei dan satu lagi di atas titik berkoordinat di darat (shore base station). Selama akuisisi data, koreksi differential dimonitor dari atas kapal pada sistim navigasi.
Sistim komputer navigasi menentukan posisi setiap detik, dan jika perlu, logging data ke hardisk komputer dapat ditentukan setiap 1, 5 atau 10 detik sebagai pilihan.
3. Pengamatan Pasang Surut Laut
Pasang surut muka air laut dipengaruhi gravitasi bulan dan matahari, tetapi lebih dominan grafitasi bulan, massa matahari jauh lebih besar dibandingkan massa bulan, namun karena jarak bulan yang jauh lebih dekat ke bumi di banding matahari, matahari hanya memberikan pengaruh yang lebih kecil, perbandingan grafitasi bulan dan matahari (masing-masing terhadap bumi) adalah sekitar 1 : 0,46.
Untuk keperluan pemetaan darat diperlukan data mean sea level ( msl ) yang merupakan rata – rata pasang surut selama kurun waktu tertentu (18,6 tahun). Untuk keperluan pemetaan laut diperlukan data surut terendah ( untuk keperluan praktis minimal pengamatan selama 1 bulan , untuk keperluan ilmiah bervariasi 1 tahun dan 18,6 tahun)
Pengamatan pasang surut dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan Muka Surutan Peta (Chart Datum), memberikan koreksi untuk reduksi hasil survei Batimetri, juga untuk mendapatkan korelasi data dengan hasil pengamatan arus.
Stasiun pasang surut dipasang di dekat/dalam kedua ujung koridor rencana jalur survey dan masing-masing diamati selama minimal 15 hari terus-menerus dan pengamatan pasang surut dilaksanakan selama pekerjaan survei berlangsung. Secepatnya setelah pemasangan, tide gauge/staff dilakukan pengikatan secara vertikal dengan metode levelling (sipat datar) ke titik kontrol di darat yang terdekat, sebelum pekerjaan survei dilaksanakan dan pada akhir pekerjaan survey dilakukan.
4. Survey Batimetri
Survei batimetrik dimaksudkan untuk mendapatkan data kedalaman dan konfigurasi/ topografi dasar laut, termasuk lokasi dan luasan obyek-obyek yang mungkin membahayakan.
Survei Batimetri dilaksanakan mencakup sepanjang koridor survey dengan lebar bervariasi. Lajur utama harus dijalankan dengan interval 100 meter dan lajur silang (cross line) dengan interval 1.000 meter. Kemudian setelah rencana jalur kabel ditetapkan, koridor baru akan ditetapkan selebar 1.000 meter. Lajur utama dijalankan dengan interval 50 meter dan lajur silang (cross line) dengan interval 500 meter. Peralatan echosounder digunakan untuk mendapatkan data kedalaman optimum mencakup seluruh kedalaman dalam area survei. Agar tujuan ini tercapai, alat echosounder dioperasikan sesuai dengan spesifikasi pabrik. Prosedur standar kalibrasi dilaksanakan dengan melakukan barcheck atau koreksi Sound Velocity Profile (SVP) untuk menentukan transmisi dan kecepatan rambat gelombang suara dalam air laut, dan juga untuk menentukan index error correction. Kalibrasi dilaksanakan minimal sebelum dan setelah dilaksanakan survei pada hari yang sama. Kalibrasi juga selalu dilaksanakan setelah adanya perbaikan apabila terjadi kerusakan alat selama periode survei. Pekerjaan survei Batimetri tidak boleh dilaksanakan pada keadaan ombak dengan ketinggian lebih dari 1,5m bila tanpa heave compensator, atau hingga 2,5m bila menggunakan heave compensator.
5. Survey Side Scan Sonar
Survei investigasi bawah air (side scan sonar) dimaksudkan untuk mendapatkan kenampakan dasar laut, termasuk lokasi dan luasan obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Dual-channel Side Scan Sonar System dengan kemampuan cakupan jarak minimal hingga 75m digunakan untuk mendapatkan data kenampakan dasar-laut (seabed features) di sepanjang koridor yang sama dengan survei Batimetri. Skala penyapuan yang digunakan diatur sedemikian rupa sehingga terjadi overlap minimal 50% untuk area survei yang direncanakan. Lajur-lajur survei side scan sonar dapat dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan survei Batimetri dan/atau disesuaikan dengan kedalaman laut sehingga cakupan minimal tersebut dapat terpenuhi.
Apabila menggunakan towfish yang ditarik, panjang kabel towfish tersedia cukup agar tinggi towfish di atas dasar laut dapat dijaga kira-kira 10% dari lebar cakupan/ penyapuan yang dipilih. Towfish sebaiknya dioperasikan dari winch bermotor lengkap dengan electrical slip rings. Rekaman data sonar dikoreksi untuk tow fish lay back dan slant range. Apabila menggunakan towfish yang dipasang pada lambung kapal (vessel-mounted), sistim dilengkapi dengan heave compensator untuk mereduksi pengaruh gelombang. Sistem yang digunakan mampu menghasilkan clear record dari keadaan dasar laut, identifikasi adanya wrecks, obstacles, debris, sand waves, rock outcrops, mud flows atau slides dan sedimen.
Kemungkinan adanya bahaya atau keadaan dasar laut yang perlu mendapatkan perhatian khusus dilakukan investigasi untuk memperjelas jenis dan ukuran bahaya tersebut. Investigasi tersebut dapat dilaksanakan dengan menjalankan lajur yang lebih rapat pada arah yang berbeda dengan lajur umum yang telah dijalankan sebelumnya. Penentuan posisi menggunakan jarak atau waktu tertentu ditandai pada rekaman sonar. Data jarak antara towfish dan antena GPS, termasuk setiap perubahan jarak ini, harus dicatat secara tertib pada Operator’s Log selama survei berlangsung untuk keperluan pengolahan data lebih lanjut.
7. Survey Sub Bottom Profiler
Tujuan dari Survei Sub-bottom Profiling (SBP) adalah untuk investigasi dan identifikasi lapisan sedimen dekat dengan permukaan dasar-laut (biasanya hingga 10m) dan untuk menentukan informasi penting yang berhubungan dengan stratifikasi dasar laut. Survei SBP dapat dilaksanakan bersamaan dengan survei Batimetri dan Side Scan Sonar.
Survei SBP dilaksanakan mencakup sepanjang koridor survey dengan lebar bervariasi. Lajur utama dijalankan dengan interval 100 meter dan lajur silang (cross line) dengan interval 1.000 meter. Kemudian setelah rencana jalur ditetapkan, lajur utama kembali dijalankan sebanyak 3 lajur dengan interval 50 meter, dimana satu lajur dijalankan tepat di tengah-tengah rencana jalur kabel.
System Parametric Subbottom Profiling (atau system lain yang dapat memberikan data sepadan) digunakan untuk mendapatkan rekaman data permanent secara grafis atas profil dasar laut dan perlapisan di bawahnya dengan penetrasi dan resolusi optimum di seluruh kedalaman sepanjang koridor rencana jalur kabel. Untuk mencapai maksud ini, peralatan dioperasikan sesuai dengan petunjuk pabrik dan diset untuk mendapatkan rekaman data optimum. Sub-bottom profiler memberikan rekaman data secara grafis dengan jelas pada skala dan resolusi yang jelas.
Jarak antara transducer/hydrophone dan antena GPS dicatat secara tertib pada Operator’s Log dan kemudian diperhitungkan pada saat pekerjaan interpretasi.
Survei Sub-bottom Profiling tidak boleh dilaksanakan pada cuaca berombak karena sangat mempengaruhi kualitas data, kecuali apabila menggunakan heave compensator. Kemungkinan terjadinya noise yang bersumber dari mesin atau kapal survei harus diupayakan seminimal mungkin dengan berbagai cara. Panjang kabel seismic source dan hydrophone (bila menggunakan sistem demikian) disediakan cukup sehingga memungkinkan diulur pada jarak yang dapat memberikan rekaman data optimum.
8. Survey Magnetik
Survei magnetik dilaksanakan untuk mendeteksi adanya obyek-obyek metal pada atau dekat permukaan dasar laut yang mungkin akan membahayakan. Bahaya yang dimaksud antara lain berupa : wrecks, sunken buoys, steel cables maupun bahaya lain yang terdapat di area survei yang telah ditentukan.
Survei magnetik disarankan dilaksanakan bersamaan dengan survei Batimetri, dengan interval lajur survei sebagaimana menjalankan lajur-lajur batimetrik. Survei magnetometer tidak disarankan untuk dilaksanakan bersamaan dengan survei Side Scan Sonar karena dikawatirkan terjadi gangguan yang bersumber dari towfish Side Scan Sonar kecuali dapat dibuktikan memang tidak terjadi gangguan. Panjang kabel disediakan cukup agar dapat dioperasikan secara optimum sesuai dengan kedalaman air laut selama pelaksanaan survei. Untuk mendapatkan rekaman (secara grafis atau digital) yang memberikan anomali jelas dan pada skala optimum, sensor unit dipasang sedemikian rupa sehingga berada dalam jangkauan deteksi optimum.
Jika terdapat indikasi adanya obyek metal yang cukup signifikan di suatu area tertentu, maka dilakukan survei investigasi lebih lanjut dengan cara menjalankan lajur survei dengan interval lebih rapat.
9. Pengukuran Arus
Pengamatan arus diperlukan dengan tujuan untuk mendapatkan data arah dan kecepatan arus. Data tersebut akan dikorelasikan dengan data pengamatan pasang surut.
Pengamatan arus dilaksanakan dengan 2 metode yaitu;
2 stasiun tetap yaitu pada perairan dekat kedua pantai di mana landing point akan ditempatkan selama sekurang-kurangnya 30 hari pengukuran pada 3 lapisan kedalaman sebesar 0.2, 0.6 dan 0.8m di bawah permukaan air.
Pengukuran dengan metode transek sepanjang jalur poros rencana survei selama sekurang-kurangnya 25 jam saat periode Spring Tide dengan menggunakan peralatan pengukur arus hidro-akustik.
Pembacaan atau pengumpulan data harus dilaksanakan dengan interval tidak lebih dari 60 menit.
10. Survey Transpor Sedimen
Dinamika badan air dan dasar perairan di wilayah survei dikenal sebagai daerah dengan tingkat dinamisasi dasar perairan yang tinggi. Hal tersebut diperkirakan akibat aktifitas eksploitasi pasir di sekitar area survei. Perubahan kedudukan dasar laut akan berakibat pada perubahan kedudukan kabel yang telah digelar.
Survei distribusi sedimen di sepanjang jalur survey minimum dilakukan di tiga tempat mewakili pantai dan tengah-tengah antara keduanya. Pengukuran dilakukan dalam rentang waktu 30 hari. Peralatan utama berupa sediment trap (jebakan sedimen). Sedimen yang terjebak selanjutnya diukur dan diteliti di laboratorium mengenai total berat, ukuran sedimen (grain size) dan dominasi komposisi sedimen dalam arah dan volume sedimen per satuan waktu. Hasil ini nantinya akan digunakan dalam menentukan model arus untuk membentuk model traspor sedimen yang tepat.
11. Pengadaan Data Gelombang
Pengadaan data gelombang laut dilakukan dengan 2 metode yaitu metode pengukuran langsung dan metode pengadaan data tidak langsung atau data sekunder. Pada metode pengukuran langsung, pengamatan gelombang dilakukan dengan mengamati karakter gelombang pada kedua perairan dekat pantai. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan wave-staff atau peralatan perekam gelombang automatis (self recording).
Metode pengukuran tidak langsung dilakukan dengan pengumpulan data sekunder yang berasal dari dinas meteorologi setempat. Data tersebut dapat digunakan dalam pembangunan model gelombang.
12. Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh dasar laut (seabed sampling) dilaksanakan dengan menggunakan salah satu dari alat berikut: Grab Sampler atau Gravity Corer. Grab/ gravity coring dilaksanakan sepanjang rencana jalur survey hingga kedalaman maksimum 10m dari permukaan dasar laut, dan dengan interval jarak 2,0km atau di lokasi di mana terdapat perubahan litology yang signifikan yang diindikasikan dari hasil survei SSS ataupun survei SBP.
Pengambilan contoh tanah dilakukan dari atas kapal survei dan dilaksanakan setelah adanya hasil interpretasi sementara di atas kapal survei atas hasil survei Side Scan Sonar dan Sub-bottom Profiling.
Setiap pengambilan contoh tanah harus diusahakan agar memperoleh penetrasi optimum. Setiap kali contoh tanah telah diambil harus dicatat dan dideskripsikan secara visual di lapangan tentang: posisi, jenis, ukuran butir, warna, dan lain-lain yang berhubungan.
Pustaka:
Poerbandono & Eka Djunarsjah (2005). Survei Hidrografi. Refika Aditama. Bandung, Indonesia. 166pp.
Djunarsjah, E. (2004), Penggunaan Standar Ketelitian IHO (SP-44) dalam Penetapan Batas Landas Kontinen, Makalah, Lokakarya Sewindu Konvensi Hukum Laut PBB, Yogyakarta.
http://www.indocrews.com

Sumber: http://sumberdayakelautandanperikanan.blogspot.com/2011/07/pemetaan-sumberdaya-kelautan.html

Sumber Daya Perikanan Dan Kelautan

Pemodelan untuk Sumber Daya Perikanan Kelautan

Sumber daya perikanan dan kelautan merupakan sumber daya yang relatif kompleks. Dalam hal lingkungan pengelolaan pun sangat berbeda dari sumber daya terestial lainnya, misalnya pertanian dan perkebunan. Dan sisi sumber daya, stok sumber daya ikan, misalnya, bermigrasi dan bergerak dalam ruang tiga dimensi. Kondisi ini menambah kompleksitas dalam pengelolan, misalnya saja menyangkut pengaturan hak pemilikan atas sumber daya tersebut.
Dimensi kompleksitas dalam pengelolaan sumber daya perikanan juga ditandai dengan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dan risiko pengelolaan yang ditimbulkan. Jumlah stok ikan, misalnya, tidak pasti (sulit diketahui). Selain itu, tidak ada input yang digunakan, seperti halnya pakan dalam budi daya, untuk mengendalikan pertumbuhan ikan. Pengetahuan tentang pertumbuhan ikan, migrasi, dan mortalitas sangat fragmentary.
Karena berbagai fitur di atas, berbagai model untuk sumber daya perikanan kelautan telah dikembangkan sejak lima puluh tahun yang lalu. Dan karena kompleksitas itu pulalah jawaban atas permasalahan dalam pengelolaan sumber daya perikanan harus didekati dengan pemodelan. Dalam beberapa kasus, kesulitan dalam hal penyediaan data menyebabkan model yang dikembangkan untuk perikanan dan kelautan sering bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Namun, belakangan ini, dengan perkembangan teknologi komputasi, pemodelan kuantitatif untuk sumber daya perikanan dan kelautan semakin pesat dan bervariasi. Salah satu model yang paling umum digunakan dan mengalami pengembangan terus-menerus adalah pemodelan bioekonomi melalui model optimal control berbasis prinsip maksimum. Pengembangan model bioekonomi ini merupakan konsekuensi logis dari sifat sumber daya perikanan kelautan yang harus didekati dari sisi biologi dan sisi ekonomi.
Pustaka-Sumber Daya Perikanan Dan Kelautan
Pemodelan sumber daya perikanan dan kelautan untuk analisis kebijakan Oleh Akhmad Fauzi,Suzy Anna

Tentang Direktorat Pesisir dan Lautan

Direktorat Pesisir dan Lautan mempunyai tugas pokok dan fungsi mengelola wilayah pesisir dan memanfaatkan sumberdaya kelautan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan pada saat ini menjadi andalan bagi bangsa Indonesia dalam pemulihan ekonomi. Sesuai dengan era otonomi daerah dan desentralisasi, maka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan akan lebih banyak didelegasikan kepada pemerintah daerah.
Isu dan permasalahan di wilayah pesisir antara lain: konflik pemanfaatan ruang dan kewenangan di wilayah pesisir; mayoritas masyarakat pesisir tergolong miskin, dengan tingkat pendidikan rendah, dan pertumbuhan penduduk tinggi; degradasi ekosistem: terumbu karang berada dalam kondisi sangat buruk dan deforestasi mangrove; pencemaran wilayah pesisir dan laut; penurunan populasi ikan dan punahnya beberapa spesies perikanan.
Berdasarkan isu dan permasalahan serta kondisi wilayah pesisir dan lautan seperti tersebut di atas, pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan berkesinambungan dapat terwujud apabila pengelolaannya dilakukan secara terpadu dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, Direktorat Pesisir dan Lautan, sesuai dengan tugas dan fungsinya, secara bertahap melakukan upaya:
  1. Mitigasi bencana lingkungan,
  2. Mendayagunakan sumberdaya kelautan,
  3. Menanggulangi pencemaran sumberdaya pesisir dan lautan, serta
  4. Merehabilitasi dan mereklamasi wilayah pesisir.
 

http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/ditjen/pl

Tentang Penataan Ruang

Program ini merupakan bagian dari Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditjen KP3K. Programnya berada di seputar pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil secara optimum dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Penataan ruang berusaha menfasilitasi terwujudnya penataan ruang untuk kepentingan dan kepastian hukum bagi pembangunan di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu hal strategis lainnya yang mejadi program penataan ruang adalah memperbaiki sistem pengelolaan pesisir dan lautan untuk keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian sumber daya dan lingkungan. Termasuk mendorong pertumbuhan investasi pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Belum tersedianya tata ruang dan zonasi yang disepakati semua pemangku kepentingan sebagai pedoman untuk mengatur pemanfaatan sumber daya dan ruang secara memadai, turut memperparah kondisi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Beberapa kegiatan perikanan, seperti praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, pengembangan kawasan budidaya yang tidak memperhitungkan tata ruang dengan mengkonversi ekosistem mangrove, penambangan pasir laut, penambangan karang, telah memunculkan degradasi ekosistem pesisir dan laut dan pada gilirannya mengancam kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan. Isu-isu tersebut menjadi perhatian besar program penataan ruang.

http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/ditjen/trlp3k

Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha

Direktorat ini memiliki tugas pokok melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur, dan bimbingan teknis, serta evaluasi di bidang pemberdayaan masyarakat pesisir. Fungsinya antara lain:
  1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pemberdayaan masyarakat pesisir
  2. Penyiapan perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan masyarakat pesisir
  3. Pelaksanaan bimbingan teknis di bidang pemberdayaan masyarakat pesisir
  4. Pelaksanaan evaluasi di bidang pemberdayaan masyarakat pesisir
  5. Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga direktorat.
  

Tentang Pulau-Pulau Kecil

Pulau-pulau kecil merupakan program yang terkait pengembangan, pemberdayaan dan perlindungan terhadap pulau-pulau kecil termasuk pulau terluar di Indonesia dan merupakan bagian dari Direktorat Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil di Ditjen KP3K.
Direktorat ini memiliki sub-direktorat yang seluruhnya berkonsentrasi penuh pada isu pulau-pulau kecil seperti: Sub-Direktorat Identifikasi Pulau-Pulau Kecil, Sub-Direktorat Sarana dan Prasarana Pulau-Pulau Kecil, Sub-Direktorat Pengelolaan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil, Sub-Direktorat Akselerasi dan Akses Investasi dan Sub-Bagian Tata Usaha.
PROGRAM
http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/ditjen/pppk

Tentang Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI)

Konservasi merupakan program yang terkait dengan pengelolaan, serta pengembangan Konservasi Sumber Daya Ikan dan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Program ini merupakan bagian dari Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan di Ditjen KP3K.
Direktorat Konservasi Kawasa dan Jenis Ikan (KKJI) memiliki misi untuk mengembangkan Konservasi Sumber Daya Ikan dan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan pada tingkat ekosistem, jenis dan genetik termasuk mendorong penguatan fungsi otoritas pengelola Konservasi Sumber Daya Ikan.
Departemen ini terdiri dari Sub-Direktorat Identifikasi dan Pemetaan Konservasi; Sub-Direktorat Konservasi Kawasan Perairan dan Taman Nasional Laut; Sub-Direktorat Rehabilitasi Kawasan Konservasi; Sub-Direktorat Konservasi Ikan dan Pemanfaatan kawasan Konservasi; dan Kelompok Jabatan Fungsional.

 

STRATEGI:
  • Pengembangan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan dan Kawasan Konservasi di wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
  • Pengembangan dan Pengelolaan Konservasi Jenis Ikan dan Genetik.
  • Pengembangan Kerjasama dan Kemitraan di bidang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

TUJUAN :

Mengembangkan dan mengelola Konservasi Sumber Daya Ikan dan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk menjamin keberadaan, Ketersediaan dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya bagi kesejahteraan masyarakat.
SASARAN :
  • Tercapainya pengembangan Kawasan Konservasi Perairan dan Kawasan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil seluas 4 juta Ha (total 14 juta Ha pada tahun 2014)
  • Terlaksananya model pengelolaan kawasan konservasi di 4 lokasi.
  • Terlaksananya pengelolaan dan pengembangan konservasi jenis sebanyak 6 jenis (total 10 jenis) pada tahun 2014.
  • Terselenggaranya otoritas pengelolaan CITES Sumber Daya Ikan di Departemen Kelautan dan Perikanan.
  • Terlaksananya pengelolaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem (terumbu karang, mangrove dan padang lamun) di 15 kabupaten dan 8 provinsi.
  • Tersusun dan tersosialisasikanya regulasi, prosedur maupun pedoman terkait konservasi kawasan dan jenis, sebanyak 16 dokumen.
  • Terlaksananya penguatan kelembagaan konservasi di 4 lokasi.
  • Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia pengelola konservasi Sumber Daya Ikan, sebanyak 250 orang.
  • Terciptanya kerjasama pengeloalaan konservasi tingkat nasional, regional dan internasional, 4 paket (SSME, BSSE, CTI dan komite nasional konservasi).
  • Terlaksanannya pemutakhiran data, sistem dan informasi Konservasi Sumber Daya Ikan.
Pengelolaan dan Pengembangan Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Sasaran : Terkelolannya 4.5 juta Ha Kawasan Konservasi Perairan Secara Berkelanjutan dan Penambahan 2 Juta Ha Kawasan Konservasi Peraiaran serta terkelonya 15 Jenis biota perairan yang terancam punah, Langka, Endemik dan dilindungi
Target Konservasi Kawasn 2011 : Pengelolaan kawasan konservasi 2.5 Juta Ha dan penambahan luas 700.000 Ha
Target Konservasi Jenis 2011 : terkelolanya 6 Jenis biota perairan yang terancam punah, langka endemik dan dilindungi
PROGRAM KONSERVASI
http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/ditjen/kkji

Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Dalam visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Blue Revolution Policies, secara khusus Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berada dalam 2 (dua) prioritas dalam Grand Strategy, yakni
  1. Mengelola Sumberdaya Kelautan dan Perikanan secara Berkelanjutan, dan
  2. Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing Berbasis Pengetahuan.
Grand Strategy beserta Sasaran Strategis diatas diterjemahkan ke dalam program dan kegiatan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional II (RPJMN II) 2010-2014.
Terdapat 5 (lima) pilar dalam pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang mendukung kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan. Ke-5 (lima) pilar ini tidak dapat berdiri sendiri, namun merupakan kesatuan yang saling mendukung

http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/profile/arah_kebijakan

Outlook 2011

Tahun 2011 merupakan tahun kedua periode RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Tahap II, untuk itu Ditjen KP3K pada tahun anggaran 2011 ini akan melaksanakan program dan kegiatan yang tercantum pada RENSTRA (Rencana dan Strategi) KP3K Tahun 2010-2014.
Ditjen KP3K memprioritaskan program dan kegiatan untuk mencapai sasaran yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011 khususnya terkait dengan pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil.
KEGIATAN PRIORITAS DALAM MENINGKATKAN PROGRAM KEGIATAN DI LINGKUP DITJEN. KP3K TAHUN 2011
A. PEMBERDAYAAN USAHA GARAM RAKYAT (PUGAR)
PUGAR adalah program pemberdayaan yang difokuskan pada peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan bagi petambak garam
Adapun tujuan Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) Tahun 2011 adalah :

  1. Memberdayakan kelembagaan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat petambak garam untuk pengembangan kegiatan usahanya;
  2. Meningkatkan kemampuan usaha kelompok masyarakat petambak garam;
  3. Meningkatkan akses kelembagaan masyarakat petambak garam kepada sumber permodalan, pemasaran, informasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
  4. Meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat petambak garam;
  5. Terbentuknya sentra-sentra usaha garam rakyat di lokasi sasaran;
  6. Meningkatkan kerjasama kemitraan dengan stakeholders terkait;
  7. Tercapainya Swasembada Garam Nasional dengan target pencapaian swasembada garam konsumsi pada tahun 2012 dan pencapaian swasembada garam industri pada tahun 2015.
B. PENDAYAGUNAAN PULAU-PULAU KECIL
Kegiatan Validasi dan Identifikasi Potensi Pulau-Pulau Kecil

Sebagai kelanjutan Pelaksanaan Inpres 1/2010 di 20 Pulau-pulau Kecil, tahun ini Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil diprioritaskan di 30 Pulau , Kegiatan yang dilakukan meliputi :

  • Identifikasi potensi dan pemetaan pulau-pulau kecil,
  • Penyediaan infrastruktur melalui Dana Alokasi Khusus (DAK),
  • Rehab ekosistem dan mendorong Investasi PPK di di 5 lokasi; P. Nipa, Kota Batam, P. Anak Sambu Kota Batam, P. Tabuhan Kab. Banyuwangi, P. Bawal Kab. Ketapang, P. Miang Besar, Kab. Kutai Timur.
Kegiatan Adopsi Pulau

Kegiatan ini merupakan Inovasi baru 2011, Program adopsi pulau merupakan salah satu program pengembangan pulau-pulau kecil yang melibatkan berbagai stakeholders, diantaranya pemerintah, masyarakat dan swasta. Program ini dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan terbatasnya pendanaan bagi pengembangan masyarakat pulau-pulau kecil. Salah satu langkah pengembangan usaha di pulau-pulau kecil adalah pembangunan yang bersumber dari dana Corporate Social Responsibility (CSR)

C. COREMAP II
Sebagai program yang dirancang secara multiyears, arah program Coremap II tahun 2011 lebih banyak difokuskan untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan tahun lalu guna mencapai target yang sudah disepakati bersama dengan pihak donor. Disamping itu karena tahun 2011 merupakan tahun terakhir pelaksanaan Coremap II, juga akan disusun exit strategy program ke depan guna menjaga keberlanjutan setelah proyek berakhir. Kegiatan lainnya adalah bersifat administrasi dan penyusunan laporan, penyelesaian asset.

D. Rencana Zonasi
Penyusunan Rencana Zonasi Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Pada T.A (Tahun Anggaran) 2011, Arahan Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang LP3K (Laut, pesisir dan pulau-pulau kecil) yang akan dilakukan adalah:

  • RZ (Rencana Zonasi) laut nasional dan perairan yuridiksi di 2 Kawasan ( 1 nasional: Penyempurnaan Substansi TGRLN, 1 yuridiksi: Anambas Natuna);
  • RZ wilayah Jawa : 9 kawasan
  • RZ Sumatera serta Leusser Sunda : 15 kawasan
  • RZ wilayah Kalimantan, maluku, Sulawesi, dan Papua : 16 kawasan
  • RZR (Rencana Zonasi Rinci) Kawasan Teluk Tomini
E. Kegiatan CRV
Sesuai dengan RENSTRA KKP tahun 2010-2014, salah satu sasaran yang ingin dicapai KKP adalah meningkatkan penataan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau- pulau kecil secara berkelanjutan dan mensejahterakan masyarakat. Adapun salah satu yang menjadi indikator pencapaian sasaran ini adalah jumlah kawasan pesisir yang tahan terhadap ancaman kerusakan, memiliki infrastruktur dasar serta jumlah ragam dan volume produk kelautan yang dikembangkan. Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa hal yang perlu dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam memitigasi bencana yang terjadi di pesisir Indonesia yaitu program CRV (Climate Resilient Village) melalui kegiatan baik bersifat soft structure maupun hard structure meliputi:
a. Forum mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim guna meningkatkan pengetahuan dan kepedulian terhadap ketahanan desa pesisir;
b. workshop dalam rangka upaya adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
c. pembinaan dan koordinasi oleh pakar guna efektif dan efisien dalam upaya adaptasi perubahan iklim;
d. implementasi fisik dalam rangka upaya beradaptasi terhadap perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
e. pengembangan kapasitas masyarakat dalam rangka upaya beradaptasi terhadap perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dengan dilaksanakannya kegiatan CRV ini sebagai upaya mitigasi bencana dan adaptasi, diharapkan dapat tercipta kawasan pesisir yang tahan terhadap kerusakan atau bencana. Tahun 2011 ini direncanakan kegiatan CRV ini akan dilaksanakan di Kecamatan Tanjung Pasir Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Sasaran yang ingin dicapai adalah terbinanya desa pesisir sebanyak 11 desa yang akan mendapatkan pengetahuan dan tahan terhadap perubahan iklim yang terjadi.

KP3K. Outlook 2011
http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/profile/outlook2011

LANDASAN KOSEPTUAL DAN MANDAT PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Oleh.Ir.Susman

Kepala Bidang Sumberdaya kelautan dan Perikanan

Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Mukomuko

Kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan bagian integral dari proses pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang kehadiranya sangat diperlukan seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Permasalahan yang paling mengemuka dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan saat ini adalah maraknya praktekpraktek penangkapan ikan secara ilegal (illegal Fishing)yang dilakukan oleh kapalkapal perikanan Indonesia (KII) maupun kapalkapal perikanan asing (KIA), kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan, pemanfaatan sumberdaya ikan melebihi daya dukungnya, destructive fishing, pemanfaatan lingkungan sumberdaya perikanan yang melebihi daya dukungnya, degradasi lingkungan, pemanfaatan lingkungan sumberdaya perikanan dan ekosistem perairan tanpa izin dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta penegakan hukum (law enforcment).
Landasan konstitusional yang menjadi dasar dalam melakukan kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan semakin kuat hal tersebut didasari atas lahirnya beberapa regulasi yang menjadi acuan (guidance) dalam melaksanakan fungsi pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, landasan konstitusional tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang perubahan atas UU NO 31 Tahun 2004 tentang perikanan serta amanat dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerinatahan, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, selain itu perhatian khusus masalah pengawasan juga menjadi amanah dalam kerangka sistem pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Nasional lima tahunan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor : 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Sesuai dengan amanat konstitusional tersebut mengandung makna dan pilar-pilar strategis serta konseptional dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan Indonesia.
Selain itu mandat untuk melakukan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan juga menjadi perhatian dunia internasional yang menyadari akan pentingnya kelestaraian sumberdaya kelautan dan perikanan. Beberapa landasan serta mandat dalam melakukan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang menjadi konsensus (kesepakatan bersama) secara Internasional disemua negara antara lain:
a. United Nations Convention on The Law of The Sea (Unclos) Tahun 1982 bahwa setiap negara pantai wajib melakukan konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati di Laut lepas dan Zona Ekonomi Ekelusif agar tidak di eksploitasi secara berlebihan.
b. Agreement to Promote Compliance with Internastional Conservation and Management Measure By Fishing Vessel on The High Seas (FAO Compliance Agreement, 1993) “ Negara bendera tidak memberikan ijin pada kapal berbendera mereka untuk melakukan penangkapan ikan di Laut lepas jika tidak dapat melakukan pengawasan terhadap aktivitas kapal di Laut Lepas”.
c. Agreement to Implementation of The United Nations Convention on The Law of The Sea of 10 Desember 1982 Relating To The Conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migartory Fish Stocks (Fish Stock Agrement) 1995 “di dalam memenuhi kewajiban mereka bekerjasama melalui organisasi menejemen perikanan regional atau sub regional atau perjanjian, negara diwajibkan menetapkan mekanisme kerjasama yang sesuai pemantauan (Monitoring) pengendalian (controling), pengawasan (Surveillance) dan penegakan hukum (law enforcement).
d. Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF), 1995 “Negara-negara sesuai dengan hukum international, didalam kerangka kerja organisasi atau tatanan pengelolaan subregional, harus bekerjasama menetapkan sistem pemantauan (monitoring), pengendalian (controling),pengawasan (surveillance) dan penegakan (enforcment) berkenanan dengan operasi penangkapan ikan dan kegiatan yang terkait di perairan di luar Yuridiksi Nasional mereka.
e. International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate illegal, unreported and regulated (IUU) Fishing, 2001 “Negara harus melakukan (monitoring), pengendalian (controling),pengawasan (surveillance) secara kompherensif dan efektif, dalam penangkapan ikan sejak permulaannya melalui tempat pendaratan sampai tujuan akhir, termasuk dengan menerapkan setepat mungkin suatu sistem pemantauan kapal perikanan (vessel Monitoring system/VMS).
f. Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region. RPOA adalah regional initiative yang diprakarsai oleh Indonesia-Australia dan disepakati oleh 9 (sembilan) negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Singapura, Brunei Darussalam, dan Timor Leste) plus Australia dan Papua New Guinea. Tujuannya adalah untuk mewujudkan penangkapan ikan yang bertanggung jawab termasuk penanggulangan IUU Fishing di kawasan regional (Laut Cina Selatan, Laut Sulu-Sulawesi dan Laut Arafura). Mandat penanggulangan IUU Fishing tersebut semakin kuat karena Indonesia di tunjuk sebagai sekretariat RPOA tersebut. 
 sumber: Mukhtar,A.Pi

LANDASAN KOSEPTUAL DAN MANDAT PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Oleh.Ir.Susman

Kepala Bidang Sumberdaya kelautan dan Perikanan

Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Mukomuko

Kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan bagian integral dari proses pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang kehadiranya sangat diperlukan seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Permasalahan yang paling mengemuka dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan saat ini adalah maraknya praktekpraktek penangkapan ikan secara ilegal (illegal Fishing)yang dilakukan oleh kapalkapal perikanan Indonesia (KII) maupun kapalkapal perikanan asing (KIA), kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan, pemanfaatan sumberdaya ikan melebihi daya dukungnya, destructive fishing, pemanfaatan lingkungan sumberdaya perikanan yang melebihi daya dukungnya, degradasi lingkungan, pemanfaatan lingkungan sumberdaya perikanan dan ekosistem perairan tanpa izin dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta penegakan hukum (law enforcment).
Landasan konstitusional yang menjadi dasar dalam melakukan kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan semakin kuat hal tersebut didasari atas lahirnya beberapa regulasi yang menjadi acuan (guidance) dalam melaksanakan fungsi pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, landasan konstitusional tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang perubahan atas UU NO 31 Tahun 2004 tentang perikanan serta amanat dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerinatahan, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, selain itu perhatian khusus masalah pengawasan juga menjadi amanah dalam kerangka sistem pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Nasional lima tahunan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor : 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Sesuai dengan amanat konstitusional tersebut mengandung makna dan pilar-pilar strategis serta konseptional dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan Indonesia.
Selain itu mandat untuk melakukan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan juga menjadi perhatian dunia internasional yang menyadari akan pentingnya kelestaraian sumberdaya kelautan dan perikanan. Beberapa landasan serta mandat dalam melakukan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang menjadi konsensus (kesepakatan bersama) secara Internasional disemua negara antara lain:
a. United Nations Convention on The Law of The Sea (Unclos) Tahun 1982 bahwa setiap negara pantai wajib melakukan konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati di Laut lepas dan Zona Ekonomi Ekelusif agar tidak di eksploitasi secara berlebihan.
b. Agreement to Promote Compliance with Internastional Conservation and Management Measure By Fishing Vessel on The High Seas (FAO Compliance Agreement, 1993) “ Negara bendera tidak memberikan ijin pada kapal berbendera mereka untuk melakukan penangkapan ikan di Laut lepas jika tidak dapat melakukan pengawasan terhadap aktivitas kapal di Laut Lepas”.
c. Agreement to Implementation of The United Nations Convention on The Law of The Sea of 10 Desember 1982 Relating To The Conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migartory Fish Stocks (Fish Stock Agrement) 1995 “di dalam memenuhi kewajiban mereka bekerjasama melalui organisasi menejemen perikanan regional atau sub regional atau perjanjian, negara diwajibkan menetapkan mekanisme kerjasama yang sesuai pemantauan (Monitoring) pengendalian (controling), pengawasan (Surveillance) dan penegakan hukum (law enforcement).
d. Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF), 1995 “Negara-negara sesuai dengan hukum international, didalam kerangka kerja organisasi atau tatanan pengelolaan subregional, harus bekerjasama menetapkan sistem pemantauan (monitoring), pengendalian (controling),pengawasan (surveillance) dan penegakan (enforcment) berkenanan dengan operasi penangkapan ikan dan kegiatan yang terkait di perairan di luar Yuridiksi Nasional mereka.
e. International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate illegal, unreported and regulated (IUU) Fishing, 2001 “Negara harus melakukan (monitoring), pengendalian (controling),pengawasan (surveillance) secara kompherensif dan efektif, dalam penangkapan ikan sejak permulaannya melalui tempat pendaratan sampai tujuan akhir, termasuk dengan menerapkan setepat mungkin suatu sistem pemantauan kapal perikanan (vessel Monitoring system/VMS).
f. Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region. RPOA adalah regional initiative yang diprakarsai oleh Indonesia-Australia dan disepakati oleh 9 (sembilan) negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Singapura, Brunei Darussalam, dan Timor Leste) plus Australia dan Papua New Guinea. Tujuannya adalah untuk mewujudkan penangkapan ikan yang bertanggung jawab termasuk penanggulangan IUU Fishing di kawasan regional (Laut Cina Selatan, Laut Sulu-Sulawesi dan Laut Arafura). Mandat penanggulangan IUU Fishing tersebut semakin kuat karena Indonesia di tunjuk sebagai sekretariat RPOA tersebut. 
 sumber: Mukhtar,A.Pi