Potensi Sidat Laut Di Bengkulu

Sidat Kita
Sidat Kita
Alam indonesia sungguh sangat kaya, baik perairan air tawar maupun perairan air laut semuanya menghasilkan yang dibutukan oleh manusia, salah satu hasil laut yang saat ini sedang booming adalah ikan sidat yang memang sangat banyak sekali peminatnya. sebagai contoh di Laut Bengkulu, terutama di sekitar kawasan perairan Pulau Enggano, kaya akan ikan sidat (sejenis belut), bahkan menjadi habitat ikan berbadan panjang itu. “Informasi yang saya dapat, nelayan Enggano bisa mendapatkan 6 ton sidat dalam setiap minggu, jika sedang musim,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu, Maman Hermawan di Bengkulu. 
Selama ini, sidat hasil tangkapannelayan hanya dioleh menjadi ikan asin dan dijual di sekitar Provinsi Bengkulu. Padahal itu, merupakan salah satu komiditi ekspor nasional dan banyak diminati terutama pasar di Jepang. “Saya sedang menginventarisir berapa banyak sidat hasil tangkapan nelayan, rencananya kita akan mengupayakan agar bisa diekspor terutama ke Jepang,” katanya. Menurut dia, sidat merupakan jenis ikan berkualitas ekspor namun tidak terlalu laku dipasarkan di dalam negeri. Selain di perairan Enggano, sidat juga banyak terdapat di perairan pantai Kabupaten Kaur. 
Ikan itu hanya terdapat di beberapa perairan di Indonesia, dan Bengkulu merupakan salah satunya. Ikan itu, kata dia, sebenarnya merupakan ikan air tawar tapi bertelur di dasar laut yang dalam. “Di Bengkulu banyak sungai besar yang bermuara ke laut, sehingga ikan sidat pada saat musim bertelur turun ke laut,” katanya. Mengenai budidaya sidat, menurut dia, hingga kini di Indonesia belum ada yang membudidayakan ikan itu. 
Yang ada hanya pembesaran yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat. “Belum ada budidaya, yang ada hanya pembesaran, yakni mengambil bibit sidat dari laut kemudian dibesarkan di penangkaran,” katanya. Maman juga memprogramkan untuk membangun tempat pembesaran ikan sidat di Bengkulu. Terkait dengan rencanan itu pihaknya telah melakukan studi banding ke Karawang.
By. Sidat Kita

Kondisi Sidat Saat Ini Di Indonesia

Sidat Kita

Sidat Kita
“Kami sudah membuat banyak publikasinya dalam jurnal ilmiah internasional. Sayang, di Indonesia tidak banyak yang tertarik.” Banyak yang spontan terkekeh ketika Yulia mengungkapkan belum ada yang pernah bisa menyaksikan bagaimana sidat kawin dan memijahkan telurnya di laut. Seorang teman wartawan berceletuk, “Apa pentingnya menonton ikan kawin?” Tapi Yulia bergeming. 
Wanita bernama lengkap Hagi Yulia Sugeha, yang juga peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melanjutkan, “Sensei saya penasaran sekali ingin bisa melihatnya.” Yulia menerangkan, sidat (Anguilla spp.) tidak sebatas lezat disantap. “Siklus hidupnya juga sangat unik,” katanya. Yulia menjelaskan, sidat hidup di dua alam: ia berpijah di laut, lalu bayi- bayi sidat akan mencari air tawar untuk melanjutkan hidupnya sebelum belasan tahun kemudian–ketika sudah dewasa–kembali lagi ke laut. 
Siklus hidup itu mirip salmon, yang berpijah di perairan tawar dan tumbuh dewasa di laut. Bedanya, kata Yulia, “Kita sudah mengenal dan mengeksploitasi salmon, sedangkan sidat? No body knows.” Nah, rupanya, di sinilah yang terpenting yang membuat Yulia ikut penasaran sama seperti sensei-nya–Katsumi Tsukamoto, profesor di Institut Penelitian Laut Universitas Tokyo. Apalagi belakangan Yulia mengetahui bahwa tujuh dari 18 spesies ikan itu yang pernah dilaporkan endemik perairan tropis.

Yulia jadi sangat tertarik untuk memetakan lokasi-lokasi pemijahan itu khusus untuk perairan tropis di Indonesia. Dia pun sempat berlayar tiga tahun, tapi tidak tuntas karena faktor biaya. Yulia memutuskan sedikit banting setir. Dia memilih pertanyaan yang lebih spesifik dengan kebutuhan dana yang lebih kecil: apakah proses masuknya bayi-bayi sidat itu ke perairan tawar (recruitment) yang terjadi di setiap perairan di Indonesia sama. Hasil penelitiannya yang sudah berjalan tiga tahun dan masih setengah matang—karena dijadwalkan baru selesai tahun depan–itulah yang dipaparkannya kepada wartawan dari berbagai media di kantor LIPI.
Tepat sepuluh tahun lalu, Yulia, yang saat ini berusia 33 tahun, berkenalan dengan sidat. Saat itu Yulia masih asisten dosen di kampusnya, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Tsukamoto datang untuk meneliti sidat di Sulawesi Utara. “Kebetulan lokasinya itu adalah daerah kelahiran saya di Kabupaten Bolaang Mongondow, yakni di muara Sungai Koidar. Saya ditugasi menemani beliau dan timnya,” dia mengenang.

Berawal dari ditanya-tanyai, Yulia akhirnya ditawari terlibat langsung dalam penelitian jenis ikan yang sering disangka ular atau belut itu. Pucuk di cinta, belakangan Yulia malah bisa mengambil master dan doktor lewat proyek itu. Sejak perkenalannya itu, Yulia rajin mengikuti sidat. Dia menangkap di alam dan mengikuti siklus hidupnya. “Kalau larvanya ada di laut, ya nangkap di laut. Juvenile-nya di muara, saya pergi dan nangkap di sana. Yellow eel-nya (sidat muda) ada di sungai, danau, dan rawa, saya pergi ke sana,” urainya panjang lebar.

Sekali sesar, metode transeknya mampu menjala hingga ribuan ekor. Dari jumlah itu, dia mengoleksi seratusan saja. Sisanya dilepas kembali. Langkah selanjutnya adalah identifikasi dan konfirmasi spesies. Pendekatan penghitungan tulang dengan teknik pewarnaan diperbantukan untuk upaya itu. Lepas dari pengamatan morfologi, Yulia juga melangkah lebih jauh kepada uji genetik lewat pemotongan fragmen-fragmen DNA. Dari situ saja, sebenarnya dia sudah bisa menelusuri perbedaan spesies. Tapi, ternyata, banyak didapatkannya potongan-potongan baru berisi kode yang belum pernah dilaporkan. “Ini berpeluang spesies baru,” katanya.

Kode-kode itu sebenarnya bisa dipastikannya lewat uji lanjutan, sequencing. Setengah bersedih, Yulia harus menerima kenyataan bahwa uji itu belum bisa dilakukannya karena lebih mahal ketimbang sebatas pemotongan fragmen DNA. Meski begitu, Yulia mengatakan sudah banyak hasil penelitiannya yang bisa disimpulkan tentang sidat Indonesia. Banyak pula publikasi yang sudah dibuat dan dimuat dalam jurnal ilmiah internasional. “Sayang, di Indonesia tidak banyak yang tertarik,” katanya.

Bukan tanpa alasan Yulia mengeluh. Harga makanan olahannya yang mahal (seporsi kabayaki–makanan olahan dari sidat di Jepang—hampir Rp 400 ribu) mendorong terus berlangsungnya eksploitasi besar-besaran sidat di luar perairan tropis. Padahal, katanya lagi, negara sekaliber Jepang belum berhasil mengembangkan teknik pembiakannya. Di laboratorium, larva sidat hanya bertahan tiga hari, lalu mati. “Otomatis stok benih sidat di alam akan terancam, dan mereka mereka mulai mencarinya ke perairan tropis,” kata Yulia. Dan kita di sini (tropis) bisa tidak menyadarinya sama sekali.
By. Sidat Kita

Prinsip Dasar Budidaya Sidat

Sidat Kita

Sidat Kita
Kehidupan sidat sungguh unik dan menggelitik karena kita bekerja walaupun tidak secara langsung akan menempuh tiga tahap sekaligus yang tentunya mau tidak mau harus belajar dulu, Memang bergelut dgn makhluk hidup itu sedikit aneh .. kita dipaksa menjadi multiuser, multitasking multi-multi  lainnya. 
A. Terutama darimana, bagaimana dan jaminan ketersediaan  kita mendapatkan benih, bibit, stadia muda. (Baik alami maupun buatan).
B. Proses pembesaran dari stadia muda dewasa menuju konsumsi ( SDM, jenis Pakan, Perawatan , sarana dst dst).
C. Pemasaran (Pembayaran, pengepakan, pengiriman dst dst)
Sekedar gambaran saja benih/bibit Sidat menurut dunia persilatan masih melimpah ruah, sekarang bagaimana kita bisa memberikan pencerahan para nelayan untuk mempertahankan kehidupan JungeSidat/Glasseels, elver,fingerling dari lokasi penangkapan ->tempat pengumpulan ( sebelum diambil pembeli/bukan eksportir glasseels).
Benih/bibit Kepiting bakau sdh sangat memprihatikan; sampai thn 80 an Indonesia msh berada dalam 10 besar  exportir kepitng. Sekarang ?????  boro2 50 besar, karena populasi kepiting bakau kita sdh memprihatinkan.  Selayang pandang menurunnya populasi karena rusaknya hutan bakau (krn tambak udang), diburunya kepiting telur, yang paling parah daging benih kepiting (30-60gr) dimanfaatkan sebagai  bahan campuran daging rajungan untuk memenuhi permintaan pembeli. 
Balai yg di Krawang atau balai1 lainnya mulai dengan mengembangkan pembenihan buatan utk Kepiting bakau. Menggalang penanaman hutan mangrove. Terus terang saja dibandingkan sidat jauh lebih menguntungkan “maaf saya tidak ingin jadi provokator, hanya koq sayang tambak2 sepanjang pantura tidur lelap setelah rusaknya udang”. Utk kebutuhan Jakarta produksi2 soka yg ada saja tidak bisa terpenuhi, masa panen yg jauh lebih singkat, tahan penyakit dst dst. 
Ini hanya untuk gambaran saja, bila keberatan dengan postingan dan pendapat ini silakan coment dibawah in, terima kasih dan semoga bermanfaat.
By. Sidat Kita